Perspektif

Salah Kaprah Kita Menyamakan Yahudi dan Zionis

6 Mins read

Awalnya saya begitu terharu menyaksikan Aksi Bela Palestina di Monas beberapa waktu silam. Meski nonton di balik layar, saya merasakan betapa dalamnya dukungan masyarakat Indonesia terhadap Palestina. Para orator seperti Pak Muhadjir Effendy, Pak Anwar Abbas, Bu Puan Maharani, dan Pak Anies Baswedan menyajikan olah vokal yang tidak hanya menggugah kesadaran tapi juga menambah simpati pada kaum terjajah.  

Namun rasa haru itu pun perlahan memudar seketika saat muncul orator terakhir. Saya benar-benar menyayangkan mengapa manusia dengan kapasitas intelektual yang rendah seperti dia bisa muncul dan diberi panggung. Mood saya tetiba berubah dari yang tadinya terharu menjadi terguncang. Suasana yang tadinya begitu syahdu tetiba menjadi sangat… syadis!

Apa yang dia katakan? Saya kutipkan secara verbatim: “Yahudi musuh atau bukan? Siap lawan Yahudi? Siap perangi Yahudi? Siap lawan antek-antek Yahudi? Siap lawan budaya Yahudi? Takbir! Yahudi tidak akan pernah kalah kecuali dengan diperangi, betul?!”

Saya menilai manusia modelan begini selalu menempatkan wacana jihad dalam paradigma perang antar agama. Rasa-rasanya, bila tidak dalam konteks perang antar agama, tidak bernilai jihad. Kurang afdhal rasanya bila menentang kolonialisme tanpa menyinggung agama apa yang dianut para musuh. Akhirnya, Zionisme sebagai ideologi politik penjajah yang seharusnya disalahkan malah melebar secara gegabah ke Yahudi sebagai agama dan etnis.

Pandangan di atas tidak terisolasi dari masyarakat kita. Barangkali ini sudah menjadi pandangan umum. Tidak sedikit dari pendakwah kita menyampaikan hal yang serupa. Misalnya, Doni Riwayanto (mantan simpatisan Hizbut Tahrir?) dalam postingan di instagramnya mengatakan: “bagi muslimin yang berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah, serta mengambil pelajaran dari Sirah Nabawiyah, tidak perlu menutupi kejahatan Yahudi Israel dengan membedakannya terhadap Zionisme”.

Pandangan gegabah juga kerap diperlihatkan para politikus di Barat. Pada tahun 2016, International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA) di Prancis mendefinisikan antisemitisme sebagai “mengingkari hak bangsa Yahudi untuk menentukan nasib sendiri.” Artinya, menurut definisi ini, anti-Zionisme dianggap sebagai bentuk kebencian terhadap Yahudi. Presiden Prancis saat itu, Emmanuel Macron, tampaknya setuju dengan definisi ini.

Mantan Duta Besar PBB Nikki Haley baru-baru ini juga mengklaim bahwa penolakan terhadap ideologi Zionisme dapat dianggap sebagai bentuk antisemitisme. Argumennya adalah bahwa menentang hak eksistensi Negara Israel, yang didasarkan pada prinsip-prinsip Zionisme, dapat dipandang sebagai serangan terhadap hak Yahudi untuk memiliki negara sendiri.

Pernyataan bahwa antisemitisme adalah anti-Zionisme dapat dianggap sebagai upaya Nikki Haley dan IHRA untuk menyampaikan gagasan bahwa orang Yahudi, menurut definisi mereka, secara otomatis diidentifikasi sebagai Zionis. Oleh karena itu, menentang Zionisme dapat diinterpretasikan sebagai menentang Yahudi.

Menurut Ilan Pappe, menyamakan Yahudi dengan Zionis merupakan mitos yang sengaja dibuat oleh para cendekiawan Zionis agar mendapatkan simpati dunia. Dari perspektif Pappe ini saya punya asumsi bahwa menghubungkan anti-Zionisme dengan antisemitisme mungkin digunakan sebagai cara untuk mengingatkan dunia akan kekejaman yang dilakukan oleh Nazi terhadap bangsa Yahudi selama Holokaus. Penyimpangan ini mencerminkan bahwa bangsa Yahudi dianiaya dan dibunuh semata-mata berdasarkan keyakinan atau latar belakang etnis mereka.

Baca Juga  7 Poin Pernyataan Bersama MUI dan Ormas-Ormas Islam untuk Kemerdekaan Palestina

Berdasarkan uraian di atas, saya mendapati adanya “kalimatun sawa” yang menjijikan antara golongan Islam “yang itu” dengan sebagian masyarakat bigot di Barat. Meskipun dikomunikasikan dengan nada yang berbeda, kedua kelompok ini memiliki titik temu dalam pemahaman bahwa menentang Israel atau Zionisme diartikan sebagai berperang melawan Yahudi secara keseluruhan. Bedanya, kelompok Islam menggunakannya dalam konteks jihad, sementara sebagian orang Barat digunakan untuk menggaet simpati dunia dengan mengingat kembali peristiwa Holokaus.

Kesamaan pandangan ini dapat menciptakan ketidakakuratan dan generalisasi yang merugikan. Hal ini juga dapat mempersulit upaya untuk memahami akar permasalahan sebenarnya dalam konflik Israel-Palestina, serta mengakibatkan stereotip dan prasangka yang tidak tepat terhadap seluruh komunitas Yahudi. Kasian mereka.

Tidak Semua Yahudi itu Zionis

Sebagian masyarakat Barat memang perlu diberikan pemahaman bahwa tidak semua orang Yahudi mendukung penjajahan Israel atas Palestina. Tokoh Yahudi paling terkenal yang menolak penjajahan ini ialah Albert Einstein. Pada tahun 1952, Einstein menolak tawaran menjadi Presiden Israel setelah kematian Presiden pertamanya, Chaim Weizmann. Menurutnya, pendirian negara Israel sebagai negara etnis Yahudi hanya akan memunculkan nasionalisme sempit.

Noam Chomsky, Ilan Pappe, Norman Finkelstein, dan Gilad Atzmon adalah individu Yahudi yang memiliki pandangan anti-Zionisme. Motivasi mereka menentang pendirian Israel karena Zionisme sangat dipengaruhi oleh paradigma imperialisme Eropa. Pappe, sebagai contoh, menyebut Zionisme sebagai gerakan kolonial perebut tanah secara permanen (settler colonial movement). Pemahaman ini memotivasi mereka untuk menentang upaya pendirian dan pemeliharaan negara Israel.

Selain individu, ada pula yang secara kolektif. Kelompok Neturei Karta adalah contoh kalangan Yahudi yang memiliki pandangan yang berbeda terkait Israel. Kelompok Yahudi Ortodoks yang berdiri di Yerusalem sejak awal abad ke-19 ini menolak Zionisme dan pendirian Negara Israel. Mereka melihat Zionisme dan pendirian Negara Israel sebagai tindakan anti-mesianis yang melibatkan dosa karena mencoba mengambil penebusan dan memerintah sebelum waktunya tiba.

Ada pula kelompok Yudaisme Haredi. Anggota Haredi biasanya mengenakan pakaian hitam putih bergaya shtetl dengan topi yang khas. Mereka cenderung tinggal di lingkungan yang didominasi oleh keluarga Haredi, di mana pernikahan antaragama hampir tidak terjadi. Yudaisme Haredi dikenal sebagai kelompok yang secara terang-terangan menolak ideologi Zionis.

Data-data di atas sebenarnya sudah mafhum, Anda tinggal googling sendiri. Biar tampak ada sesuatu yang baru, saya akan tampilkan dengan cara yang berbeda. Siap-siap menerima tsunami fakta bahwa anti-Zionisme dan antisemitisme tidak selalu berjalan bersama. Di antara masyarakat Barat terdapat gerakan antisemit yang justru mendukung Zionisme dengan antusias.

Baca Juga  Pilkada dalam Narasi Pro-Perempuan: Betulan Paham atau Genderwashing Semata?

Terdengar aneh, bukan? Anti Yahudi tapi dukung Zionisme! Jadi, sebelum terbentuknya Israel, beberapa pemimpin di Barat yang paling vokal mempromosikan keberadaan negara Yahudi melakukannya karena mereka tidak ingin ada orang Yahudi di negaranya.

Sebagai contoh, Arthur Balfour, yang pada tahun 1917 sebagai Menteri Luar Negeri Inggris menyatakan dukungan untuk pendirian “rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina”. Sebelumnya, Balfour mendukung Undang-Undang Aliens 1905 yang membatasi imigrasi Yahudi ke Inggris.

Pada tahun 1930-an, pemerintah Polandia mengadopsi pendekatan serupa. Partai penguasa di Polandia, yang mengecualikan Yahudi, melatih pejuang Zionis di pangkalan militer Polandia. Mengapa? Karena mereka ingin orang Yahudi Polandia bermigrasi, dan sebuah negara Yahudi akan memberi mereka tempat untuk pergi.

Beberapa pemimpin Eropa yang terlibat dalam antisemitisme, seperti Viktor Orbán dari Hungaria, Heinz-Christian Strache dari partai sayap kanan Austria Freedom, dan Beatrix von Storch dari Alternatif untuk Jerman yang mempromosikan nostalgia untuk Reich Ketiga, juga secara terang-terangan mendukung Zionisme.

Penjelasan di atas barangkali cukup untuk menjelaskan bahwa Anti-Zionis tidak berarti antisemit. Bisa dibilang, narasi yang mendukung Anti-Zionis adalah antisemit merupakan bentuk hipokrit para pemimpin di Barat yang secara diam-diam ingin mengusir Yahudi dari negara mereka.

Persoalan selanjutnya yang mesti dijawab ialah jika membenci Yahudi sebagai agama dan etnis dianggap salah, bagaimana dengan narasi Al Quran yang memposisikan mereka dengan citra yang begitu “negatif”?

Narasi Yahudi dalam Al-Qur’an

Kelompok Islam “yang itu” seringkali menggunakan Al-Qur’an sebagai justifikasi betapa bejatnya orang-orang Yahudi. Menggunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan karakter orang Yahudi tentu sah-sah saja. Bagaimana pun Al-Qur’an merupakan Kitab Suci yang menjadi pedoman bagi kehidupan kita. Namun, ada tiga poin penting yang mesti diperhatikan:

Pertama, penyebutan Yahudi dalam Al-Qur’an menunjukkan perbedaan konteks antara surah-surah Mekkah dan Madinah. Nama-nama seperti “Banū Isrāʾīl,” “al-yahūd/yahūdī,” “hūd,” “alladzīna hādū,” “ahl al-kitāb,” “ahl al-dzikr,” “alladzīna ūtū l-kitāb,” “alladzīna ūritsū/waritsū l-kitāb,” dan “alladzīna yaqraʾūna l-kitāb” muncul dengan pola yang berbeda antara surah-surah tersebut.

Menurut Salime Leyla Gürkan, para mufasir umumnya menyatakan bahwa istilah “Banū Isrāʾīl” yang merujuk pada kelompok sejarah lebih sering muncul dalam surah-surah Mekkah daripada di surah-surah Madinah. Sebaliknya, istilah seperti “al-yahūd/yahūdī”, yang memiliki arti “Yahudi” dalam bahasa Arab modern, “hūd”, “alladzīna ūtū l-kitāb”, dan “ahl al-kitāb” hanya muncul dalam surah-surah Madinah.

Hal di atas mencerminkan bahwa hubungan Muslim dengan komunitas Yahudi dimulai pada periode Madinah, setelah adanya kontak yang lebih dekat. Perbedaan dalam penggunaan istilah ini mencerminkan perkembangan hubungan Islam dengan Yahudi. Di Mekkah, di mana kontak dengan Yahudi terbatas, istilah yang digunakan lebih umum dan mencakup kelompok sejarah. Namun, di Madinah, di mana hubungan lebih intens, istilah yang digunakan menjadi lebih spesifik.

Baca Juga  Ignaz Goldziher: Orientalis Yahudi anti-Zionisme dan Pakar Bahasa Arab

Kedua, selama periode Madinah, hubungan umat Islam dengan Yahudi terjalin secara fluktuatif. Kadang bekerjasama, namun tidak jarang pula terjadi konflik. Di periode inilah Al-Qur’an mulai menggambarkan sifat dan karakter bangsa Yahudi. Hal ini merupakan respon Al-Qur’an terhadap medan yang sedang dihadapi umat Islam.

Dalam Al-Qur’an, bangsa Yahudi digambarkan sebagai kelompok yang memiliki sifat tidak setia terhadap amanah ilahi (QS. Al-Baqarah: 87). Mereka juga digolongkan sebagai bangsa yang penuh dengan kemunafikan (QS. Al-Baqarah: 76). Al-Qur’an juga memaparkan bahwa orang Yahudi minim dalam pemahaman terhadap agama Allah (QS. Al-Baqarah: 100-101). Mereka juga punya karakter sombong (QS. Al-Ma’idah: 18) dan penyebar kebencian (QS. Al-Ma’idah: 64).

Gambaran karakter Yahudi dalam Al-Qur’an merupakan respons langsung terhadap konteks sejarah dan situasi yang dihadapi oleh umat Islam pada masa itu. Menggambarkan karakter Yahudi hari ini dengan menggunakan teks yang turun sekitar 14 abad yang lalu dapat menghasilkan generalisasi yang berbahaya. Hal ini tidak lantas membuat Al-Qur’an menjadi teks yang tidak relevan. Karena itu, kita butuh poin yang ketiga di bawah ini.

Ketiga, kisah-kisah tentang karakter Yahudi dalam Al-Qur’an akan tetap relevan bila ditempatkan sebagai pelajaran moral dan etika. Menyelidiki karakter Yahudi dalam Al-Qur’an bukanlah untuk membuat generalisasi atau stereotip terhadap suatu kelompok, melainkan untuk mengekstrak hikmah moral yang dapat diterapkan oleh seluruh umat Islam bahkan manusia.

Dengan menggunakan pendekatan ini, kita dapat mengangkat nilai-nilai yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut ke tingkat yang lebih abstrak, yaitu sejauh mana manusia dapat menciptakan keadilan, kejujuran, dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, setiap individu atau kelompok yang menunjukkan karakter munafik, penyebar kebencian, dan tidak amanah, wajib kita lawan!

Penutup

Saya kira uraian di atas sudah cukup jelas bahwa apa yang patutnya kita lawan bukanlah Yahudi sebagai agama atau etnis, melainkan Zionisme yang memiliki karakter penjajah. Dengan fokus pada kritik terhadap Zionisme, kita dapat mengarahkan perlawanan terhadap politik dan kebijakan yang dianggap melecehkan kemanusiaan dan keadilan.

Dengan memusatkan perhatian pada penolakan terhadap penjajahan, dukungan kita terhadap Palestina dapat menjadi lebih bertenaga. Fokus ini memungkinkan kita untuk mengevaluasi dan mengkritisi kebijakan penjajahan yang dapat merugikan hak-hak rakyat Palestina, tanpa terjebak dalam stereotip dan generalisasi terhadap kelompok agama atau etnis tertentu.

Editor: Soleh

Avatar
5 posts

About author
Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds