Tafsir

Al-Quran untuk Manusia atau Manusia untuk Al-Quran?

4 Mins read

Pada poin ini, penulis akan memaparkan bagaimana “Al-Quran untuk manusia” yakni sebagai pedoman yang terus “hidup” sampai akhir zaman (2:185) dari semenjak diturunkan 14 abad yang lalu sampai sekarang. Untuk menjadikannya sebagai pedoman hidup tentu harus mengetahui bagaimana interaksi teks tersebut dengan konteks yang ditempatinya.

Salah satu cara memahami ajaran Al-Quran ialah meninjau ulang praktik-praktik yang dilakukan oleh generasi awal abad ke-7 kemudian pada saat yang sama memahaminya dengan cara bagaimana ia dipraktikkan pada era terkini ini lazim disebut oleh Abdullah saeed sebagai tafsir kontekstual.

Al-Quran untuk Manusia

Perlu diketahui bahwa setiap teks atau penafsiran terhadap suatu teks, sangat dipengaruhi oleh latar belakang kultur dan anggapan-anggapan yang melatarbelakangi penafsirnya. Artinya, ketika seorang mufassir berhadapan dengan teks suci Al-Quran maka sebenarnya ia sudah memiliki prior text (latar belakang keilmuwan, konteks sosial politik, kepentingan, dan tujuan penfsiran). Dengan demikian, hasil penafsiran setiap orang bisa jadi berbeda terhadap teks Al-Quran karena sebuah penafsiran tidaklah memproduksi makna teks, tetapi juga memproduksi makna baru dari teks.

Pada generasi awal Islam, telah memperlihatkan makna dari “Al-Quran untuk Manusia” sebagai contoh khalifah Umar bin Khattab. Umar memiliki pandangan yang berbeda dengan pemahaman literal/harfiah teks Al-Quran yang dipahami oleh sahabat lainnya yakni mengenai pelaksanaan hukum dalam Al-Quran. Terkait hal ini umar berpendapat bahwa hukuman bagi pencuri yang telah mencapai batasan potong tangan (5:38) ditangguhkan karena pada saat itu di Madinah telah terjadi kelaparan secara meyeluruh, yang dikenal sebgai “tahun kekeringan”.

Abdullah Saeed dalam tulisannya “Reading the Qur’an in the Twenty-first Century A Contextualist Approach“  menjelaskan bahwa dilihat dari literal teksnya hukuman terhadap pelaku pencuri tidak menyatakan bahwa hukuman harus dihentikan karena kondisi ekonomi yang sulit. Namun, Umar berpandangan bahwa karena masalah kelaparan, beberapa orang bisa saja menjadi terpaksa untuk melakukan pencurian karena rasa lapar yang akut. Tentunya apa yang telah dilakukan oleh sang Khalifah Umar tidaklah sesuai dengan bunyi literal ayat.

Baca Juga  Nikah Bukan Solusi Menjadi Kaya!

Problem Poligami

Contoh berikutnya mengenai terkait problem poligami. Secara tekstual ternyata ada ayat yang membolehkan poligami (4:3), akan tetapi dari ayat tersebut melahirkan ragam makna penafsiran. Salah satu tokoh tafsir atau peneliti kontemporer yang berbicara tentang hal ini ialah Fazlur Rahman.

Dalam pandangannya Al-Quran memang secara hukum melegalkan sistem poligami. Namun, Al-Quran juga membatasi maksimal empat dan mensyaratkan harus adil serta mengangkat martabat dan nasib kaum perempuan yang dinikahinya. Yang perlu diingat tegasnya “poligami pada waktu itu berhubungan dan merupakan jawaban atas ketimpangan sosial yang terjadi ketika itu”. Oleh sebab itu, ayat tersebut dapat dikategorikan sebagai ayat yang bersifat kontekstual, tergantung pada problem sosial seperti apa yang terjadi ketika itu.

Fazlur Rahman mengatakan ayat tersebut (4:3) sering ditafsirkan secara parsial. Bahkan tidak jarang disalahpahami sehingga implikasinya seseorang membolehkan poligami dengan sewenang-wenangnya sendiri, tanpa melihat konteks saat turunnya ayat dan tanpa melihat ideal moralnya. Dalam hal ini Fazlur Rahman mengungkapkan bahwa ideal moral dari ayat tentang poligami ialah berbuat adil, penyantunan janda, dan anak-anak yatim, dengan cara menikahi ibu dari anak-anak yatim tersebut.

Jadi, jika dilihat dari penjelasan di atas Fazlur Rahman sedang ingin menekankan bahwa tidaklah semudah apa yang tergambarkan pada literal teks tentang masalah poligami. Sehingga kita dengan seenaknya saja melegalkan praktik poligami itu, melainkan butuh syarat yang berat dan mungkin mustahil dilakukan oleh manusia sebagaimana terkandung di dalam ayat tersebut.

Dari kedua contoh yang saya paparkan diatas sebenarnya tokoh-tokoh tersebut sedang dalam ruang yang disebut kontekstualisasi. Mereka mencoba memecahkan problematika yang sama diruang dan waktu yang berbeda serta dengan cara yang berbeda dari pendahulunya hanya dengan mengambil ideal moral atau maqashid dari teks tersebut.

Apa yang telah mereka lakukan ini tidak lain hanyalah untuk menjadikan Al-Quran itu kontekstual sepanjang masa (shahih li kulli zaman wa makan) dan tidak dalam posisi sedikitpun untuk merendahkan kesucian dan keagungan Al-Quran. Justru ingin menunjukkan bahwa Al-Quran itu memang benar-benar kitab pedoman bagi seluruh makhluk Tuhan.

Baca Juga  Masyarakat Utama: Tafsir Ali Imran 104 dan 110

Manusia untuk Al-Quran

Jika pada pembahasan sebelumnya membahas tentang bagaimana Al-Quran menjadi pedoman bagi manusia (shahih li kulli zaman wa makan) atau kerja kontekstual terhadap ayat-ayat Al-Quran, maka pada poin ini penulis membahas bagaimana manusia itu menjadikan Al-Quran sebagai pedoman, dalam artian mengikuti bunyi dari literal teks tanpa mempertimbangkan secara mendalam ranah konteks.

Sebelumnya kita harus mengetahui bahwa Al-Quran adalah fondasi utama dan terutama bagi umat Islam. Tidak mengakuinya dan lantas meninggalkannya sama artinya dengan meninggalkan Islam. Asumsi dari keyakinan ini tidak bisa diganggu gugat dan telah menjadi dasar keberagaman Islam. Dari sudut pandang ini maka tidak mengherankan apabila kemudian Al-Quran dijadikan argumen pertama dalam upaya sebuah kelompok atau aliran untuk ‘membenarkan pandangannya sendiri’ dan ‘meyalahkan pandangan orang lain’.

Fahmi Salim menyebut bahwa Al-Quran juga adalah teks divine dan autentik berasal dari Allah SWT. Ini adalah kekhususan yang paling utama bagi Al-Quran. Dalam posisi ini –manusia untuk Al-Quran– menurut penulis Al-Quran dijadikan landasan utama dan dalam keadaan yang sama 14 abad yang lalu. Dalam artian, setiap apa yang dibunyikan Al-Quran 14 abad yang lalu maka seperti itulah dunia ini harus berjalan. Manusia tidak mempunyai hak sedikit pun untuk mencampuri urusan Allah dalam memaknainya apalagi untuk membentuk makna baru dari Al-Quran.

Sebagai contoh ada beberapa kelompok yang mewajibkan untuk mengikuti pentunjuk Al-Quran secara harafiah, Fahruddin Faiz dalam karyanya “Hermeneutika al-Qur’an” menjelaskan secara umum aliran ini berpedoman bahwa satu-satunya jalan yang valid untuk mengetahui segala jenis aqidah dan hukum Islam, baik yang pokok maupun  yang bukan. Termasuk dalil-dalil pembuktiannya adalah Al-Quran dan hadis nabi.

Anggapannya adalah manusia dengan akal pikirannya tidak memiliki wewenang untuk mena’wil, menafsirkannya kecuali dalam batas-batas tertentu. Manusia dan akal pikirannya wajib tunduk patuh kepada kedua nash tersebut. Sehingga hanya berfungsi sebagai saksi pembenar dan penjelas saja, tidak dalam posisi menghakimi atau memutuskan.

Baca Juga  Hermeneutik Amina Wadud: Al-Qur'an bukan Kitab Patriarki

Penafsiran Nabi

Asumsinya terus berlanjut, bahwa Nabi saw adalah orang pertama dan paling berwenang untuk menafsirkan al-Qur’an dan dianggap paling otoritatif untuk menjelaskan Al-Quran kepada umatnya. Hal ini dapat dipahami karena amanah untuk menjelaskan Al-Quran ada padanya dan langsung mendapat sertifikat sah dari Allah SWT (al-Qiyamah 75:17-19, an-Nahl 16:44, an-Nahl 16:64).

Memang salah satu keistimewaannya ialah bahwa Rasul ketika menafsirkan Al-Quran selalu dibimbing oleh wahyu terutama terkait dengan syari’at dan hal-hal yang ghaib namun dalam masalah mu’amalah, kebijakan politik dan strategi perang misalnya, maka Nabi saw juga berijtihad. kemudian jika nantinya terdapat kekeliruan dari ijtihad tersebut maka biasanya wahyu akan turun untuk memberikan teguran dan koreksi –kema’shuman– nabi saw.

Oleh karenanya, dapat dipahami sebenarnya Al-Quran yang ada pada saat ini telah sempurna ditafsirkan oleh Nabi saw melalui arahan dari Allah SWT, maka manusia tidak berhak untuk menafsirkannya kembali. Cukup dengan apa yang telah ditafsirkan oleh Nabi saw melalui arahan Allah tersebut demi mencapai kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat. Inilah yang kemudian disebut sebagai manusia untuk Al-Quran, yakni menjalankan setiap liku kehidupan ini dengan semata-mata mengikuti arahan dari Al-Quran tanpa campur tangan manusia. Kemudian asumsi diatas pula yang melahirkan kaum-kaum tekstualis demi menjaga keagungan Al-Quran dan hidup dengan Al-Quran yang sebenarnya bukan dengan Al-Quran yang seharusnya.

***

Berdasarkan dua poin diatas maka telah jelas bagaimana gambaran antara memahami Al-Quran untuk manusia dalam hal ini mewakili golongan kontekstual dan ragamnya kemudian manusia untuk Al-Quran dalam hal ini diwakili oleh golongan tekstual. Hemat penulis, tulisan ini tidaklah berusaha untuk mensekulerkan keduanya, untuk itu, pada perkembangannya aliran penafsiran sangatlah dinamis, tidak menutup kemungkinan terhadap sesuatu yang baru.

Wallahua’lam

Editor: Nabhan

Iftahul Digarizki
8 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *