Tafsir

Kritik Terhadap Said Asymawi Tentang Asbabun Nuzul

4 Mins read

Muhammad Said Asymawi merupakan salah satu tokoh dalam khazanah pemikiran liberal kontemporer. Sejumlah pemikiran dan pandangannya membuat dirinnya kontroversial. Propagandanya atau Ke-ngawuran-nya itu dikumpulkan lalu dibantah oleh Muhammad Imarah lewat satu buku khusus bertajuk Suquth Ghuluw Al-Ilmāniy (Keruntuhan Fanatisme Si Sekuler).

Salah satu pemikirannya yang kontroversial itu tentang asbabun nuzul. Dalam beberapa jumlah kitabnya, sebagaimana pengakuan Muhammad Imarah dan beberapa ulama, ia telah gagal memahami konsep ini. 

Menurut Said Asymawi, asbabun nuzul adalah satu fenomena sejarah yang sudah berlalu karena hukum yang lahir sudah tidak lagi berlaku dalam konteks hari ini.  

Hukum Al-Qur’an dalam Pandangan Said Asymawi

Dalam bukunya Ma’ālim Al-Islām, sebagaimana dikutip Muhammad Imarah, Said Asymawi menyatakan bahwa hukum syariat dalam Al-Qur’an tidaklah mutlak. Tidak mutlak dalam arti penerapannya tidak bisa digeneralisi karena setiap ayat dalam Al-Qur’an berkaitan dengan peristiwa di belakangnya.

Menurut Said Asymawi, asbabun nuzul ini merupakan siyaaq dari sebuah ayat yang tidak boleh dilepaskan dari ayatnya karena harus terus bersama. Pun sejarah telah menutup lembaran kejadian “sebab”  yang diturunkan sebuah hukum sehingga menutup lembaran “akibat” (musabbab-nya) adalah sesuatu yang harus.

Dengan demikian, lembaran akibat sangat berhubungan erat dengan lembaran sebab. Dapat diartikan bahwa sebuah hukum tidak bisa digeneralisir melainkan khusus hanya untuk sebab nuzul saja. (lihat Muhammad Imarah, Suqūth Ghuluw Al-Ilmāniy, hal. 235-236).

Hal yang sama ia sampaikan dalam karyanya berjudul Al-Islām Al-Siyāsiy, bedanya di dalam buku ini menambahkan hal “semacam” celaan kepada para ahli fikih.

Menurutnya, kaidah mayoritas ulama yang berbunyi Al-Ibrah bi Umūmm al-Lafadz lā bikhusūs Al-Sabab. Kaidah itu dianggap sebagai “buat-buatan” para ahli fikih pada masa kegelapan peradaban dan kemunduran akal (fatarāt al-Zhalām al-Hadhāriy wa al-Inhithāt al-Aqliy).

Baca Juga  Menggairahkan Jihad

Dalam kaidah yang dijelaskan di atas bukanlah sebuah kaidah syar’i yang tertera dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Metode inilah yang menjadikan Islam tidak berkembang bahkan mencoreng “ruh” Islam dan juga makna Al-Qur’an (lihat Al-Islām Al-Siyāsiy, hal. 64).

Oleh karena itu, perlunya pemahaman dalam memahami kaidah tersebut.

Ringkasnya, Said Asymawi ingin menyampaikan bahwa  hukum Al-Qur’an tidak bisa digeneralitas dan diberlakukan lagi saat ini karena sebuah ayat harus dikaitkan pada asbabun nuzulnya. Kita ketahui bahwa asbabun nuzul itu sudah tidak ada maka hukumnya tidak ada juga.

Dalam kaidahnya dikatakan sebab akan mengikuti akibatnya. Jika sebabnya sudah tidak ada maka akibatnya dan hukumnya sudah tak berlaku lagi.

Meminjam istilah Salim Abu Ashi, Guru Besar Ulumul Quran dan Tafsir Al-Azhar, Said Asymawi, dan konco-konconya ini hendak mengurung rapat-rapat hukum Al-Qur’an dalam brankas sejarah dan museum Agama.

Menjawab Kekeliruan Said Asymawi

Pertama, perlu disepakati dari awal bahwa asbabun nuzul bukan sebuah konsep illah ma’lul (sebab-akibat).

Thahir Ibnu Asyur seorang mufassir asal Tunisia. Ia mengatakan bahwa sebab nuzul hanyalah sebatas kesinambungan atau keserasian (munāsabāt) antara peristiwa dan ayat yang turun. Sebab nuzul bukanlah sebab secara hakiki sekalipun ia dinamakan sebab maka itu hanyalah sebatas tasāmuh dan tajawwuz.

Mengapa hal ini penting? Sebab sebagaimana yang sudah disinggung di atas, kaidah sebab-akibat selalu meniscayakan keberadaan keduanya.

Jika ada sebab maka ada akibat pun sebaliknya, tetapi asbabun nuzul tidak seperti itu. Ia hanyalah peristiwa yang secara bersamaan Allah swt dibarengi dengan sebuah hukum yang diberlakukan.

Sebab Nuzul bukanlah yang “meng-adakan” (munsyiah) sebuah ayat yang turun dan bukan “menyebabkan” (illah) ayat itu turun, keduanya hanyalah sebuah kesinambungan. (Muhammad Salim Abu Ashi, Asbabun Nuzul, hal. 109-110)

Baca Juga  Nuzulul Qur'an: Tanggal Berapa Al-Qur'an Sebenarnya Diturunkan?

Kedua, ketika Said Asymawi menyatakan bahwa kaidah masyhur dalam asbabun nuzul tidaklah ada dalam Al-Qur’an dan sunnah.

Tapi apakah dia tidak menyadari bahwa penolakannya tersebut tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah? Dikarenakan metodenya yang hanya mengkhususkan hukum pada sebab nuzul sama sekali tidak tertera dalam sumber agama ini.

Justru kita yang harus bertanya balik kepadanya, apa dilakukan oleh sahabat saat mengambil intisari hukum dari sebuah ayat? Apakah mereka mengkhususkan hukum itu pada sababun nuzul atau hukumnya berlaku umum?

Saking geramnya dengan statement milik Said Asymawi, Muhammad Imarah sampai menyodorkan 35 contoh ayat Al-Qur’an. Di dalamnya berbicara tentang hukum yang dihukumi oleh sahabat secara general bukan khusus kepada sebab nuzul.

Dari contoh-contoh itu, Muhammad Imarah melontarkan pertanyaan dengan nada agak tinggi “apakah dari contoh-contoh tersebut bisa dikatakan bahwa hukum hanya berlaku untuk sebab nuzulnya saja?” “silakan jawab sendiri!” ujar Muhammad Imarah.

***

Ketiga, statement Said Asymawi tentang setiap ayat selalu berkaitan dengan peristiwa yang melatarbelakangi ini perlu dikoreksi. Sebab tidak semua ayat dalam Al-Qur’an memiliki peristiwa melatarbelakangi ayat itu diturunkan apalagi mayoritas  ayat dalam Al-Qur’an datang secara langsung (ibtidāan).

Makna Al-Qatthan dalam Mabāhits Ulūmul Qurān-nya berkata justru Al-Qur’an umumnya datang dan hadir secara ibtidaan (langsung) untuk menjelaskan akidah, kewajiban Islam, dan syariah baik dalam ranah publik ataupun domestik. Maka dapat darimanakah Asymawi statement itu?

Keempat, perihal tuduhannya bahwa kaidah ini merupakan rumusannya ahli fikih juga tidak tepat. Dikarenakan ini sebuah tema yang ditulis oleh ulama ushul fikih dan bahasa Arab yang dengannya Al-Qur’an diturunkan.

Jika benar dirumuskan oleh Ahli Fikih, lalu apa salahnya? Sebab tidaklah seorang ahli fikih mengambil kesimpulan hukum kecuali lewat dalalat al-Nushuh Al-Ammah dan juga lewat dari kaidah bahasa Arab yang berlaku.

Baca Juga  Islam Kaffah Bukan Islamisme-Khilafah

***

Orang berakal pun akan mengamini kaidah ini yakni sebuah lafadz akan diberlakukan keumumannya selagi tidak ada yang mengkhususkannya. Apakah jika Presiden mengatakan, semua orang di Indonesia boleh memakai toilet umum dengan gratis.

Artinya, hanya sebagian orang saja yang mendapatkan jatah gratis? Tentu tidak, semuanya berhak mendapatkan hak itu karena lafadznya secara jelas menunjukan sebuah keumuman.

Terakhir, terkait kaidah melihat keumuman lafadz yang dipegang oleh mayoritas ulama sekalipun ada perbedaan dengan sebagian ulama lain yang melihat pada kekhususan sebab. Namun, keduanya sepakat dalam satu hal yang sama yaitu tetap memperlakukan hukum kepada individu diluar sebab nuzul.

Artinya baik pendapat pertama ataupun kedua, mereka semua sepakat bahwa hukum akan diberlakukan jika ada kasusyang sama dengan sebab nuzul. Para  jumhur ulama mengambil hukum itu langsung dari teks (nash), sementara pendapat lainnya mengamabil hukum itu dengan meng-qiyaskan kepada sebab Nuzul.

Ibnu Taimiyyah, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Zarqani berkata, “orang orang yang mengatakan seperti demikian (bahwa hukum ini untuk sebab nuzul saja) tidaklah memaksudkan bahwa hukum ayat itu khusus untuk orang-orang tersebut tidak untuk lainnya. Sebab perkataan seperti ini mustahil terlontar dari mulut seorang Muslim dan juga orang berakal. (lihat Abdul Azhim Al-Zarqani, Manāhil Al-Irfān, hal. 106-107) Apakah Asymawi merupakan orang yang tidak berakal itu? Wallahu a’lam bi al-Shawaab

Editor: Dae Alifia

Bana Fatahillah
2 posts

About author
Alumni Al-Azhar Kairo, Guru di Pondok Pesantren At-Taqwa Depok
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *