Perspektif

Salah Kaprah Memaknai Datangnya Rezeki

4 Mins read

Usaha tak akan pernah mengkhianati hasil“, begitulah pandangan hidup yang digenggam erat seseorang—yang mungkin belum menyadari—ia salah kaprah saat memaknai datangnya rezeki.

Karena dibutakan ambisi duniawi, ia sampai lupa, “kuasa” atas sebuah usaha, sejatinya hanya milik Sang Pencipta, termasuk saat memberikan rezeki kepada setiap makhluk-Nya.

Pandangan hidup tersebut bagai pisau bermata dua. Satu sisi, ia selalu berjuang dalam menjalani hidup, terlebih pada konteks pekerjaan (positif). Sedangkan di sisi lain, jika sudah berusaha semaksimal mungkin, artinya sudah menunaikan kewajibannya, ada sesuatu yang secara mutlak (rezeki) akan menghampirinya, tetapi ia tak mencermati kuasa-Nya dalam mengatur semesta (negatif).

Lantas, terbesit sebuah pertanyaan: sekuat, sekeras, bahkan setangguh apapun kita berusaha menjemput rezeki-Nya, namun jika rezeki yang diberikan itu hanya “cukup” alias tak semua usahanya membuahkan hasil, bahkan melebihi dari yang ia harapkan, bukankah manusia hanya bisa menerimanya? Ia tak punya kuasa mengintervensi takdir yang telah tertulis di kitab lauhul mahfudz?

Sebelum lebih jauh, mari kita samakan dulu persepsi tentang rezeki, kemudian mendiskusikan contoh salah kaprah saat memaknai datangnya rezeki.

Konsep Rezeki

Seperti yang dicatat Fajriani, Solahudin, dan Bafadhol dalam Konsep Rezeki Menurut Al-Sa’di (2019), di mana mereka mengutip Lisan Al-Arab Ibnu al-Mandhur, rezeki merupakan sebuah kata yang punya dua makna.

Pertama, yang bersifat zhahirah (terlihat), seperti makanan pokok, misalnya. Kedua, yang bersifat bathiniyah (tak terlihat) bagi jiwa dan hati, berbentuk ilmu, pengetahuan, atau kesehatan, contohnya. Artinya, rezeki bisa berbentuk fisik atau tidak.

Adapun ulama Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri berpendapat dalam kitab tafsirnya, yakni Ibnu Katsir, bahwa Allah telah mengabarkan, Dialah yang menjamin rezeki bagi setiap makhluk.

Baca Juga  Knowledge Management sebagai Peningkatan Kompetensi SDM

Dari makhluk yang kecil hingga yang besar di bumi ini, hidup di laut atau darat, Allah bahkan mengetahui semua tempat tinggal dan penyimpangan yang dilakukan oleh makhluknya.

Sementara ulama Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di pun berpendapat senada. Semua makhluk yang ada di muka bumi ini telah dijamin rezekinya oleh Allah, dan Dialah-lah yang berkendak atas kecukupan rezeki makhluknya.

Sementara konsep rezeki terakhir yang saya kutip, berasal dari kelompok qadariyah. Sebuah kelompok yang muncul tidak semata karena dinamika pemikiran dalam Islam, melainkan juga disebabkan gejolak politik pada masa Dinasti Umayyah I (661-750 M).

Mereka berpendapat, manusia memiliki kebebasan dalam menentukan atau memilih perjalanan hidupnya. Manusia punya kekuatan dan kebebasan dalam menentukan dan mewujudkan perbuatannya.

Qadariyah juga setuju, bahwa manusia itu bebas dalam menentukan hidupnya dengan sebebas-bebasnya demi dapat mewujudkan keinginannya. Dan menurut kaumnya, manusialah yang menentukan datangnya rezeki masing-masing.

Berapa pendapat ulama sebelumnya tentang rezeki pastinya sudah kita pahami, sehingga tak perlu diulas lebih dalam. Jadi, tulisan ini akan berfokus pada konsep rezeki yang terakhir, yakni manusialah yang menentukan rezekinya masing-masing.

Salah Kaprah Memaknai Datangnya Rezeki

Sebagai contoh, anggaplah saya memproduksi tulisan dengan berpegang teguh pada pandangan hidup “usaha tak akan pernah mengkhianati hasil”. Karena saya mentah-mentah mengiyakan, saya kemudian membuat target. Dalam sehari, harus ada sepuluh tulisan yang lolos seleksi.

Sepuluh tulisan yang lolos seleksi itu bisa memenuhi kebutuhan saya untuk bertahan hidup. Selama sebulan penuh, saya harus bisa mempertahankan produktivitas itu. Jika tidak, kebutuhan dasar saya tak akan terpenuhi.

Asumsikan, sebulan pertama, yang saya rencanakan terwujud. Target saya tercapai. Kebutuhan dasar saya terpenuhi. Tapi, sebagai manusia biasa, hawa nafsu saya celakanya tersulut—ingin lebih lagi dan lagi.

Baca Juga  Merayakan Kemerdekaan, Mari Jaga 3 Nikmat Besar Ini

Saya lalu membuat target baru: dalam sehari, setidaknya harus ada lima belas tulisan yang lolos seleksi.

Pagi, siang, hingga malam, saya berusaha semaksimal mungkin. Mengerahkan segala daya upaya yang saya miliki. Saking dibutakannya ambisi duniawi, saya menghiraukan kehadiran keluarga dan sanak saudara. Yang ada di pikiran saya hanya mencapai target dan terus memompa ambisi yang kian menggebu.

Suatu waktu, Sang Pencipta—katakanlah—berkehendak hanya meloloskan satu tulisan dari lima belas tulisan yang saya buat. Hal ini berlangsung secara terus-menerus, berbulan-bulan, meski saya terus berusaha.

***

Hingga pada titik tertentu, saya merasa lelah. Psikologi saya terpukul. Kesehatan fisik saya menurun. Pikiran saya terkuras. Saya jatuh sakit. Karena keadaan itu, kebutuhan saya jadi tak lagi terpenuhi.

Tak ada angin tak ada hujan, sontak terlintas pertanyaan: “Sudah sekian usaha yang dilakukan, mengapa hasil yang saya terima tak sebanding? Bukankah manusialah yang menentukan rezekinya masing-masing karena usahanya?”. Saya dengan lancang mempertanyakan asma-Nya yang Maha Pemurah lagi Penyayang.

Saya merenung, mencerna makna tersirat atas kehendak yang diberikan oleh-Nya. Kembali mempertanyakan pandangan hidup yang selama ini saya genggam erat. “Apa benar, usaha akan senantiasa tak pernah mengkhianati hasil?”.

Hingga kemudian, asumsikan lagi, fase kehidupan yang berada di titik terendah itu menyadarkan saya. Saya ternyata lupa, manusia pada dasarnya hanya bisa berusaha, sementara hasil: Dia-lah yang memutuskan. Dia-lah yang punya kuasa atas segala tindak-tanduk makhluknya di dunia. Termasuk tadi: memberikan rezeki.

Lalu apa arti dari semua itu? Ya, Anda benar. Ambisi untuk urusan yang bersifat duniawi, haruslah secukupnya. Tak kurang, tak lebih. Garis hidup kita, bahkan sebelum dilahirkan ke dunia, sudah ditentukan sebelumnya. Termasuk seperti apa, dan seberapa banyak rezeki yang kita peroleh. Jadi terdengar klise jika manusialah yang menentukan rezekinya masing-masing, meskipun dengan usaha sekeras-kerasnya.

Baca Juga  Benarkah Jumlah Rezeki Sudah Ditentukan?

Contoh di atas tak bermaksud menjerumuskan Anda pada pandangan fatalis, tetapi hanya menyarankan untuk melakukan sesuatu sesuai porsi. Tetap berusaha setiap harinya, namun tidak berlebihan. Apalagi sampai menghiraukan lingkungan sekitar, sementara kita bukankah makhluk sosial?

Penutup

Kembali ke pertanyaan awal:

Sekuat, sekeras, bahkan setangguh apapun kita berusaha menjemput rezeki-Nya, namun jika rezeki yang diberikan itu hanya “cukup” alias tak semua usahanya membuahkan hasil, bahkan melebihi dari yang ia harapkan, bukankah manusia hanya bisa menerimanya? Ia tak punya kuasa mengintervensi takdir yang telah tertulis di kitab lauhul mahfudz?

Persoalan ini bukanlah hal baru. Namun selalu menarik untuk kita diskusikan. Bahkan, problema ini sebenarnya beririsan dengan apa yang pernah disampaikan Rasullah:

“Barangsiapa yang menjadikan ambisinya semata-mata untuk meraih akhirat, maka Allah akan mencukupi kebutuhan dunianya. Namun, barangsiapa yang berambisi meraih dunianya bermacam-macam, Allah tak akan peduli dengan yang ia inginkan. Orang itu justru akan menemui kehancurannya sendiri” (HR Ibnu Majah dari Abdullah bin Mas’ud).

Alangkah beruntungnya jika sebelum mengalami, kita sudah bisa mawas diri. Sebab, mengapa harus mengalaminya terlebih dulu, jika dengan mempelajarinya saja agar tak terjerumus ke dalam ambisi duniawi, kita bisa memetik hikmahnya untuk kemudian menerapkannya? Wallahualam.

Editor: Yahya FR

Aan Afriangga
2 posts

About author
Sarjana Ilmu Komunikasinya (S.I.Kom), Konsentrasi Jurnalistik, Universitas Mpu Tantular, Jakarta. Berminat pada kajian-kajian seputar media, agama, budaya, sejarah, antropologi, ekonomi gig, lingkungan, serta HAM.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds