Tarikh

Politik Identitas di Era Kepemimpinan Adolf Hitler

4 Mins read

Politik identitas sedang menghantui dunia saat ini. Tak salah jika ada ungkapan bahwa “semua politik adalah politik identitas”. Fenomena politik identitas ini tidak saja melanda negara besar yang mengusung sistem demokrasi seperti Amerika Serikat, misalnya. Tetapi juga berlangsung di beberapa belahan negara lainnya seperti Inggris, Belanda, Perancis, Afrika dan Asia. Bahkan fenomena politik identitas ini sudah ada sejak zaman Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler. Di Indonesia fenomena politik identitas dimulai pada tahun 2017 saat diselenggarakan 101 pilkada serentak.

Terkait dengan politik identitas, pilkada Jakarta, yang merupakan pusat ibukota banyak menarik perhatian publik. Terutama disebabkan oleh meningkatnya sentimen etnis dan isu keagamaan. Salah satunya adalah calon gubernur Basuki Cahaya Purnama (Ahok), yang merupakan keturunan etnis Tionghoa diduga menistakan Islam atau menyalahartikan surah al-Maidah ayat (51). Sebagai negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim, tentu sangat marah, terutama bagi gerakan Islam garis kanan.

Melalui jejaring media sosial, isu mengenai penistaan dan etnis ini begitu meluas dan berhasil menyulut gerakan puluhan ribu massa kaum Muslim menuntut Ahok agar diadili. Pada kenyataan gerakan ini ternyata berhasil memobilisasi massa yang dikenal dengan gerakan 212 (Afala, 2020).

Pada masa Adolf Hitler berkuasa, politik identitas kerap digunakan untuk mereka yang berbeda, terutama kaum atau keturunan Yahudi. Melalui propaganda yang menyatakan bahwa kaum Yahudi dianggap sebagai biang keladi kekalahan Jerman pada perang dunia I. Adolf Hitler dengan Nazinya berhasil setidaknya membunuh jutaan kaum Yahudi.

Pengertian Umum Politik Identitas

Politik identitas sendiri merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Agnes Heller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama. Kemunculan politik identitas diawali oleh tumbuhnya kesadaran yang mengidentikkan mereka ke dalam suatu golongan atau etnis tertentu.

Baca Juga  Dukun, Kasyaf, dan Jimat: Cara Kartosuwirjo Kibulin Pengikutnya

Kesadaran ini kemudian memunculkan solidaritas kekelompokkan dan kebangsaan. Politik identitas atau etnis mengacu pada politik “kelompok etnis” dan “minoritas kecil”, sementara penafsiran kelompok etnis bisa mencakup bangsa etnis (ethnic nation) (Abdillah, 2002). Adapun Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan dari anggota-anggota kelompok tertentu karena memiliki kesamaan identitas, baik berdasarkan ras, gender, atau agama.

Sedangkan Donald L. Morowitz, pakar politik dari Universitas Duke, mendefinisikan politik identitas dengan sebuah sikap politik yang memberikan garis tegas untuk menentukan siapa yang akan disetarakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut menurutnya tampak tidak dapat diubah, maka status sebagai bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen (Sulaeman, 2022). Bagi Francis Fukuyama politik identitas mencakup sebagian besar perjuangan politik dunia kontemporer.

***

Atas nama ideologi masing-masing yang disebut dengan “kanan” dan “kiri”, biasanya mengusung atau mengangkat isu-isu politik yang berbeda. Kaum “kanan” biasanya lebih menuntut kebebasan yang lebih luas dalam setiap aspek kehidupan. Sedangkan bagi kaum “kiri” biasanya lebih menekankan kepada isu-isu keadilan dan kesetaraan. Namun pada dekade kedua abad ke-21, spektrum ini menurut Fukuyama tampak luruh. Kelompok “kiri” kurang fokus pada ketimpangan berbagai kelompok.

Sedangkan kelompok “kanan”meredefinisi diri sendiri sebagai kelompok patriotik yang berupaya melindungi identitas nasional tradisional, identitas yang secara eksplisit terhubung dengan ras, etnis, dan agama (Sulaeman, 2022). Dari beberapa pengertian dan definisi yang dijabarkan. Tampak jelas bahwa politik identitas adalah politik perbedaan yang mengacu pada ras, etnis, dan agama. Di era kepemimpinan Hitler, politik identitas dengan pengertian di atas jelas sekali tampak dipermukaan. Hitler dalam beberapa kesempatan dan juga menjadi ideologi partai Nazinya. Telah menjadikan teori rasial sebagai politik perbedaan yang selalu menganggap bahwa ras Aryalah ras yang paling unggul.

Baca Juga  Jilbab dan Cadar: Warisan Tradisi Pra-Islam?

Politik Identitas di Era Adolf Hitler

Jauh sebelum pecahnya perang dunia II dan matinya jutaan kaum Yahudi. Adolf Hitler sejatinya sejak dalam pikiran sudah memiliki ambisi untuk memajukan bangsa Jerman melalui propaganda rasial. Sejak kecil Hitler sudah terdoktrin kuat soal superioritas bangsa Arya, bangsanya orang Jerman, dan juga bagaimana inferiornya atau rendahnya bangsa lain, khususnya Yahudi. Dalam pemikiran Hitler orang Jerman atau yang dianggapnya sebagai ras Arya merupakan orang-orang yang menempati posisi puncak hierarki rasial.

Dengan sembarangan Hitler mengidealkan orang Arya dengan ciri-ciri yang sangat sempurna. Sedangkan orang yang tidak sempurna, termasuk kaum gay, homoseksual, komunis, dan Yahudi dianggap merupakan ras yang terpisah. Meski Hitler mendefinisikan kaum Yahudi berdasarkan ras, bukan agama. Tetap saja di mata Hitler dan Nazinya ras Yahudi dianggap sebagai kaum yang berbahaya. Mereka dituduh mengeksploitasi dan dapat merugikan ras lain (Ushmm, 2022).

Keyakinan inilah yang kemudian dijadikan Hitler sebagai ideologi partai Nazinya. Untuk mengejar ambisinya tersebut. Hitler bahkan sampai mengeluarkan kebijakan yang diberi nama Undang-Undang Ras Nuremberg yang dikeluarkan pada 15 September 1935. Adapun isi undang-undang ini adalah pertama, mengenai pemisahan ras antara Arya dan bangsa lain, khususnya Yahudi. Mereka meyakini bahwa dunia terbagi ke dalam ras-ras berbeda yang tidak memiliki kesetaraan dan martabat.

***

Kedua, adalah mengenai kewarganegaraan. Partai Nazi di dalam beberapa kesempatan selalu menjanjikan bahwa hanya orang Jerman dengan ras Arya murni yang diizinkan memegang kewarganegaraan Jerman. Sedangkan ras yang lain tidak memiliki identitas serta hak politik secara penuh (Ushmm, Undang-Undang Ras Nuremberg, 2022). Melalui kebijakan ini, maka tidak heran jika Hitler dengan Nazinya melakukan pemusnahan atau genosida terhadap jutaan kaum Yahudi. Bahkan yang lebih gilanya lagi, menurut Hitler perang dunia II yang ia mulai merupakan bagian dari teori rasial Nazi.

Baca Juga  Religion, Identity Politics and 2024 Election

Hitler percaya bahwa ras Arya ditakdirkan untuk saling berperang. Bagi mereka, perang merupakan cara ras Arya untuk mendapatkan tanah dan sumber daya. Dengan melihat fenomena politik identitas di Indonesia, bukan tidak mungkin kita dapat terjebak dengan berbagai kepentingan kelompok yang mengatasnamakan agama, ras, atau etnis untuk mencapai tujuan tertentu. Karena bisa saja betul terjadi bahwa politik identitas merupakan cara ampuh untuk mendapatkan sumber daya, terutama soal suara dan dukungan. Sebagaimana yang terjadi pada kasus 212 dan Adolf Hitler.

Apalagi hari ini banyak yang menghubungkan permainan “lato-lato” dengan benturan. Sudah pasti yang dimaksud dengan “benturan” adalah adanya perbedaan dan kepentingan. Sebuah kepentingan yang menggunakan politik perbedaan sebagai kendaraannya dalam mencapai tujuan atau kekuasaan.

Editor: Yahya

Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *