Beberapa kali saya melihat video viral di media sosial. Baik itu di Facebook, Tiktok, dan Instagram. Video yang saya lihat menunjukkan sekelompok orang yang sedang melaksanakan salat jamaah di dalam gerbong kereta listrik, di tengah kerumunan penumpang lain yang sedang berdiri di dalam kereta. Besar kemungkinan video tersebut berada dalam rangkaian gerbon KRL Jabodetabek.
Video tersebut mendapat pujian yang meriah dari warganet, banyak sekali yang memberikan pujian dan sanjungan atas ketaatan ibadah yang telah dilaksanakan.
Tetapi pertanyaanya, apa memang seperti itu Islam mengajarkan ummatnya untuk beribadah, kok susah sekali, bahkan sampai harus mengganggu penumpang lain di dalam kereta, yang belom tentu semuanya beragama Islam.
Salat di Kereta: Semangat Beribadah Itu Baik, Tapi Caranya Harus Benar
Rutinitas Ibadah adalah kebutuhan pokok bagi setiap manusia beriman untuk senantiasa menjaga kesehatan spiritualnya, dengan menjaga hubungan yang baik (ibadah) dengan Pencipta. Tetapi setiap ibadah yang dilaksanakan harus sesuai tuntunan yang benar, bukan asal semangat saja.
Pertama, yang harus dipahami adalah kaidah pokok dalam ibadah: “al-aslu fil ‘ibadah at-tahrim” hukum asal ibadah adalah dilarang (haram), “illa ma warada as-syari’ tasyri’ihi” kecuali ada dasar hukum yang memerintahkanya. Kaidah ini menunjukkan argumen yang saklek, bahwa beribadah tidak bisa sembarangan, dan asal semangat saja.
Kedua, Islam adalah agama yang mudah, maka jangan dipersulit. Setiap ibadah sudah ada tuntunanya. Sebagaimana kaidah hukum Fiqih berbunyi “al-masyaqqatu tajlib at-taisir” setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Dalam berbagai ayat al-quran bahkan juga dijelaskan “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS 2:185)”, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS 2:286)”, dan dalam ayat dijelaskan dengan gamblang “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS 22:78)”, “Maka bertakwalah kepada Allah sesuai kesanggupanmu” (QS 64:16).
Pada konteks ibadah salat dalam kondisi perjalanan (musafir) Islam telah menjelaskan cara dan tuntunanya. Pembahasan ini sebenarnya membutuhkan waktu dan ruang yang panjang. Namun dalam artikel ini saya ingin menjelaskan secara singkat sebagai berikut:
Musafir Tidak Harus Salat Tepat Waktu, Bisa di Qasar dan Jamak
Yang dimaksut musafir di sini adalah dalam transportasi umum (kereta, bis kota, pesawat dll), bukan kendaraan pribadi yang bisa berhenti kapan saja. Ulama menjelaskan ketika seseorang berada dalam kendaraan umum maka ia bisa melaksanakan salat sebelum naik kendaraan atau setelah sampai, tidak harus saat azan waktu salat langsung melaksanakan salat, asalkan waktu salat masih cukup.
Namun dalam kondisi perjalanan panjang yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan salat pada waktunya, maka bisa menjamak salat. Seperti ketika berangkat bepergian saat waktu zuhur, namun dikhawatirkan akan tiba ketika waktu asar, maka sebaiknya menjamak salat pada waktu zuhur (jamak taqdim), atau bisa juga menjamak salat pada waktu asar (jamak ta’khir).
Dalam kondisi perjalanan, seorang musafir bahkan dianjurkan untuk melaksanakan ibadah salat secara qasar (mempersingkat rakaat salat), empat rakaat menjadi dua. Kecuali salat subuh dan magrib tidak bisa diqasar. Mayoritas ulama berpendapat bahwa salat qasar bisa dilaksanakan dengan syarat seorang musafir belom sampai di rumah atau tempat asalnya.
Bahkan mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa hukum salat qasar bagi musafir adalah sangat dianjurkan (sunnah muakkad) dengan dasar Nabi SAW selalu mengqasar salat ketika dalam perjalanan (‘Umdatul Ahkam, hadis 137-138).
Jamak dan qasar memang bukan satu paket keringanan dalam ibadah salat bagi seorang musafir, karena dalam pembahasan jamak salat bagi seorang musafir hukumnya “boleh” saja (jaiz) atas dasar hadis Nabi yang menjelaskan bahwa ketika dalam perjalanan Nabi pernah menjamak salat dan pernah tidak menjamaknya.
Musafir dalam Kendaraan Bisa Salat dengan Duduk
Dalam kondisi perjalanan menggunakan moda transportasi umum dengan jarak dan waktu yang lebih panjang, yang tidak memungkinkan untuk menjamak salat, seperti halnya dalam kereta antar provinsi atau pesawat penerbangan internasional, musafir bisa tetap salat tepat waktu dengan duduk dalam kendaraan. Kecuali telah disediakan tempat salat khusus dalam transportasi umum tersebut.
Dalam kondisi tidak ada tempat salat (musala) dalam kendaraan umum tersebut, seorang musafir bisa melaksanakan salat dengan duduk di tempatnya masing-masing. Hal ini didasarkan kepada hadis nabi yang pernah melaksanakan salat sambil duduk di atas hewan tungganganya (HR Bukhari No 1033).
Meskipun dalam kendaraan, salat diusahakan tetap menghadap ke kiblat, namun ketika dalam keadaan salat dan kendaraan berputar, salat tetap dilanjutkan dengan mengikuti arah kendaraan bergerak.
Salat lima waktu memang hukumnya wajib bagi setiap muslim, dan tidak boleh ditinggalkan. Namun perlu juga dipahami tata cara pelaksanaanya pada berbagai kondisi dan keadaan manusia dalam menjalani kehidupan dunia. Yang terpenting yang wajib jangan sampai ditinggalkan. Wallahu a’lam.
Editor: Yahya
Setahu saya, perjalanan KRL tidak mencapai masafatul-qasr
Judu: Tanda Umat Belum Benar-Benar Memahami Agama –> tendensius dan tidak menghargai fiqih perbedaan. Justru penulis artikel ini yang perlu dipertanyakan Pemahaman Agamanya ketika menulis ini karena menganggap keyakinan pahamnya sendiri yang paling benar sementara di sisi lain banyak pendapat yang berbeda. Wallahu a’lam.