Bermedsos kini hampir menjadi kebutuhan pokok manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Dimulai dari rutinitas memperbarui beranda media sosial, hingga sebagian orang menjadikan bagian dari pekerjaan utama. Perkembangan teknologi, pada satu sisi memudahkan dalam mencari informasi. Namun bila tidak tidak disikapi dengan bijak, hal tersebut justru akan menimbulkan dampak yang buruk.
Kebijakan dalam menggunakan ber-media sosial tak lagi bisa ditawar. Ia merupakan refleksi dari dunia nyata. Bahkan dunia nyata itu sendiri. Bijak dapat berarti mampu melakukan filter atau memilih konten yang baik dan bermanfaat, bersikap santun dalam memberikan komentar, serta menjadi penebar kebaikan dan inspirasi. Singkatnya, diperlukan karakter saleh digital sebagaimana bijak dalam bermedsos.
Permasalahan lebih lanjut cukup kompleks, terdapat suatu ruang kelabu di antara sikap baik dan buruk yang terang secara normatif agama. Seperti halnya dalam media sosial hampir menormalisasi untuk mengumbar keburukan seseorang. Sikap selanjutnya yang berasal dari netizen yang ‘membantu’ menyelesaikan persoalan yang diangkat. Bahkan tak jarang memantik yang berwenang untuk memproses perkara.
Saleh Digital Ciri Orang Bertakwa
Kaitan dengan pentingnya saleh digital tersebut, Nasaruddin Umar dalam buku Kontemplasi Ramadan, mengkategorikan sikap tersebut secara implisit sebagai bagian dari orang-orang yang bertakwa.
Sikap saleh digital dimulai dari suatu kontemplasi atau perenungan dari orang-orang beriman yang menjalankan puasa. Puasa yang dijalankan pada Ramadan ini, tidak saja meniscayakan untuk menahan makan-minum saja, namun juga menahan jari-jemari kita agar bijak dalam menggunakan media sosial.
Penjelasan secara utuh dapat merujuk kepada buku tersebut dengan judul, “Puasa Bicara”. Sejatinya buku tersebut berbicara mengenai puasa yang diulas dengan menarik. Tulisan-tulisan di dalamnya pada mula merupakan kumpulan tulisan-tulisan Nasaruddin Umar yang dipublikasikan dalam berbagai media.
Sajian-sajian di dalamnya di antaranya membahas mengenai; fikih Ramadan yang diulas dengan ringan, dan membahas mengenai persiapan-persiapan ketika menyambut bulan Ramadan. Selain itu, dibahas juga mengenai puasa ditinjau dari berbagai perspektif; puasa dan pengendalian diri, puasa bicara, puasa dan kohesi sosial, disiplin menjauhi keburukan, serta tema-tema menarik lainnya.
Nuansa Sufistik dan Kritik Sosial
Nasaruddin Umar sebagai seorang ulama, guru besar dalam bidang tafsir, imam besar Masjid Istiqlal serta intelektual yang juga konsen pada isu kesetaraan gender. Dalam buku ini, ia membahas (hampir semua) pembahasan dengan menggunakan pendekatan sufistik.
Seperti ketika membahas kata muttaqin dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, ia menggambarkan sebagai sosok yang memiliki mata cinta terhadap makhluk-Nya, serta memiliki sikap takut dan segan kepada Allah.
Ia juga memahami puasa sebagai bentuk peneladanan Allah, “Tuhan memberi makan tetapi tidak makan (QS. Al-An’am: 14). Tuhan tidak memiliki teman seksual (QS. Al-An’am: 101). Diharapkan pada diri yang berpuasa senantiasa mengendalikan diri dari sifat-sifat tercela. Sebaliknya, mereka dianjurkan untuk mengembangkan sifat-sifat utama.” (hlm. 27)
Kaitan dengan kiat bersikap bijak bermedia sosial, Nasaruddin Umar mengingatkan pentingnya pengendalian diri yang dilatih melalui berpuasa. Bahaya yang ditimbulkan dari mulut di antaranya membicarakan aib orang lain, berbohong, mengumpat, menyindir, memfitnah, berkata kotor dan keji, guyon berlebihan, menyebar berita hoax, dan lain-lain.
Dengan demikian lebih lanjut ia menjelaskan, “termasuk bicara di sini ialah menggunakan pena, computer, body language, dan alat komunikasi lainnya yang menyampaikan pesan berlebihan, seperti halnya dalam bentuk lisan tadi.”
Senada dengan pesan di atas, ia mengaitkan pesan penting di atas dengan beberapa ayat al-Qur’an, seperti dalam Surat al-Hujurat ayat 12 mengenai bahaya prasangka dan larangan mencari kesalahan orang lain. Selain itu ia juga mengutip Surat al-Ahzab ayat 70 mengenai anjuran untuk selalu berkata benar.
Tak lupa pula ia mengutip hadis Nabi Saw. seperti dalam riwayat Abu Hurairah, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata benar atau diam.” (HR. Bukhari).
Kesan Buku
Pada akhirnya, buku Kontemplasi Ramadan karya Nasaruddin Umar menjadi buku yang sangat baik. Tidak rigid berbicara normatif seputar puasa, namun juga berpadu dengan pesan-pesan reflektif penulisnya sehingga aktual pada masa kini.
Beberapa di antaranya bahkan sarat kritik sosial. Seperti dalam kaitan dengan media sosial, ia resah dengan penggunaan bahasa sebagian kalangan masyarakat yang seakan tak memiliki etika. Ia katakan, “Padahal, bangsa kita katanya bangsa yang santun dan beradab. Orang yang menggunakan bahasa santun malah sering disebut bahasa pencitraan, dan penilaian dengan konotasi negatif lainnya.”
Dengan demikian, ulasan yang kaya akan ilustrasi menjadi nilai lebih buku ini, tak lain memberikan stimulus kepada pembaca agar juga merenung, yang juga menjadi sebentuk ibadah pada bulan suci ini guna meraih perubahan hidup menuju yang lebih baik dan berkemajuan dengan kesalehan sosial dan digital. Wallahu A’lam.
Daftar Buku
Judul Buku : Kontemplasi Ramadan
Penulis : Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.
Editor : Jaja Zarkasyi, Ade Sukanti
Penerbit : Amzah
Tahun Terbit : 2020
Tebal Halaman : x + 198 halaman; 21 cm
Editor: Soleh