Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan mengakhiri Ramadan. Setidaknya ada tiga pendekatan dalam memahami kata “rukyat” sebagai metode untuk menentukan awal bulan kamariah, khususnya Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Ketiga pendekatan dimaksud adalah ru’yat bi al-Aini, ru’yat bi al-Ilmi, dan ru’yat bi al-Qalbi.
Dalam praktiknya, ru’yat bi al-Aini sudah tidak murni sebagaimana praktik zaman Nabi Saw. Kelompok ini sudah menggunakan instrumen astronomi Islam yang canggih dan kriteria tertentu untuk menerima keabsahan hasil rukyatul hilal. Begitu pula batas geografis keberlakuan hasil rukyatul hilal. Sementara itu, pengamal ru’yat bi al-Ilmi menjadikan ilmu astronomi Islam sebagai penentu dalam mengawali bulan-bulan kamariah berlandaskan spirit al-Quran dan Hadis. Kelompok ini mencoba memadukan pesan nas dan perkembangan sains modern.
Model ini bisa membuat sistem kalender Islam yang mapan sehingga dapat dijadikan rujukan dalam penjadwalan berbagai kegiatan keagamaan dan kenegaraan, sedangkan pengamal ru’yat bi al-Qalbi menjadikan “suara hati” dan pengalaman spiritual sebagai penentu untuk mengakhiri Ramadan. Salah satu contohnya adalah fenomena Mbah Benu yang viral karena langsung telepon kepada Allah Swt untuk memperoleh informasi kapan mengakhiri puasa Ramadan 1445 H.
***
Pada level ASEAN, negara-negara yang tergabung dalam MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapore) juga terjadi perbedaan dalam penentuan Awal Syawal 1445 H. Singapore, Malaysia, dan Indonesia menetapkan awal Syawal 1445 H jatuh pada hari Rabu 10 April 2024, sedangkan Brunei Darussalam menetapkan awal Syawal 1445 H jatuh pada hari Kamis 11 April 2024 karena pada hari Selasa 9 April 2024 bertepatan 29 Ramadan 1445 H tim rukyatul hilal tidak berhasil melihat hilal. Oleh karena itu, umur bulan Ramadan digenapkan menjadi 30 hari.
Kasus semacam ini bukanlah hal pertama terjadi. Awalnya Brunei Darussalam menggunakan Pelabuhan Ratu Sukabumi sebagai bagian satu matlak dan mengirim utusan melakukan rukyat. Namun praktiknya seringkali laporan hingga Isyak belum diterima oleh pihak Brunei Darussalam. Setelah itu dievaluasi dan sekitar tahun 2003 Brunei Darussalam memutuskan tidak menjadikan lagi Pelabuhan Ratu sebagai bagian satu matlak.
Jika ditelusuri lebih jauh, maka ditemukan implementasi kriteria Visibilitas Hilal MABIMS antar anggota berbeda-beda. Pada era Visibilitas Hilal 2,3,8 Singapore dan Malaysia termasuk pengguna visibilitas hilal substantif. Di sisi lain, Indonesia dan Brunei Darussalam lebih bersifat formal-prosedural. Pada era Neo-Visibilitas Hilal 3,6.4 Singapore merupakan satu-satunya negara pengguna Visibilitas Hilal substantif, kemudian diikuti Malaysia yang diperkuat dalam pedoman yang menyebutkan, “Jika hilal tidak dapat dicerap pada hari ke 29hb karena awan, jerebu, dan lainnya NAMUN sekiranya dalam hitungan falak, hilal telah melepasi kriteria minimum yang ditetapkan ahli falak dan mufti, maka secara lazimnya esok hari akan ditetapkan sebagai awal bulan baru”.
Indonesia dan Brunei Darussalam masih tetap bersifat formal-prosedural. Kasus penentuan awal Syawal 1445 H sebetulnya sama dengan kasus awal Syawal 1435 H. Pada saat itu, secara teori telah memenuhi kriteria Visibilitas Hilal yang disepakati. Namun dalam praktiknya hanya wilayah Indonesia yang berhasil melihat hilal, yaitu Pelabuhan Ratu Sukabumi dan Bukit Condrodipo Gresik.
Hal ini sebagaimana termuat dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 130 Tahun 2014. Akibatnya Brunei Darussalam berbeda dalam memulai Idul Fitri 1435 H dengan anggota MABIMS lainnya.
***
Begitu halnya penentuan awal Syawal 1445, di Indonesia, ada 20 orang dari berbagai wilayah yang menyatakan melihat hilal sebagaimana termuat dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 380 Tahun 2024. Salah satu saksi termuat dalam KMA tersebut adalah Tim BMKG Manado yang melaporkan berhasil melihat hilal disertai foto citra hilal. Sementara itu Tim Rukyatul Hilal Brunei Darussalam melakukan rukyat di lima lokasi, yaitu Menara Bangunan Ibu Pejabat DST, Taman Rekreasi Tanjung Batu, Daerah Brunei dan Muara; Bukit Agok-Jerudong; Bangunan Hilal Bukit Ambog-Tutong; dan Bangunan Hilal Bukit Lumut-Belait. Kesemuanya tidak berhasil melihat hilal sehingga usia bulan Ramadan 1445 H disempurnakan 30 hari dan Awal Syawal 1445 H jatuh pada hari Kamis 11 April 2024.
Kasus-kasus di atas menggambarkan kriteria tunggal tidak menjamin terjadinya kebersamaan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan. Hal ini terjadi karena penekanannya hanya mencari titik temu antara hisab dan rukyat bukan berupaya mewujudkan kalender Islam pemersatu.
Jika pola pikir titik-temu hisab rukyat terus dikembangkan tanpa berupaya membangun konsep kalender Islam yang mapan, maka kebersamaan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan bersifat utopis. Apalagi Neo-Visibilitas Hilal MABIMS masih banyak menyisakan persoalan terutama bagi Indonesia dan Brunei Darussalam. Disinilah para elite dan pihak-pihak terkait memiliki tanggung jawab melakukan kajian ulang sejauh mana prospek Neo-Visibilitas Hilal MABIMS dengan mempertimbangkan kemaslahatan bersama dengan tetap berpegang teguh saling menghormati dan tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.
***
Selanjutnya penentuan awal Syawal 1445 di tingkat global juga terjadi perbedaan. Menurut laporan Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP), ada 2 negara yang menetapkan awal Syawal 1445 H jatuh pada hari Selasa 9 April 2024, yaitu Mali dan Niger. Ada 30 negara yang menetapkan awal Syawal 1445 H jatuh pada hari Rabu 10 April 2024, antara lain Algeria, Bahrain, Cameeroon, Ghana, Indonesia, Iran, Irak, Kuwait, Libanon, Libya, Malaysia, Mesir, Mauritania, Maroko, Nigeria, Oman, Pakistan, Palestina, Qatar, Saudi Arabia, Senegal, Sudan, Syria, Tunisia, Turkey, Uni Emirat Arab, United Kingdom, dan Yaman.
Ada pula 2 negara yang menetapkan awal Syawal 1445 H jatuh pada hari Kamis 11 April 2024, yaitu Banglades dan Brunei Darussalam. Selain Banglades dan Brunei Darussalam, sebagian komunitas muslim di Australia yang terhimpun dalam “Moonsighting Australia” dikoordinir oleh Shabbir Ahmed juga berlebaran pada hari Kamis 11 April 2024.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa problem mendasar baik nasional, regional, maupun global adalah bahwa hasil rukyat bersifat lokal dan kaverannya terbatas sehingga tidak menjangkau seluruh wilayah. Dengan demikian, tidak bisa mewujudkan kalender Islam yang mapan. Kesemuanya adalah produk ijtihad untuk mengimplementasikan pesan nas baik al-Qur’an maupun hadis.
Untuk itu, langkah awal untuk mewujudkan kebersamaan adalah perubahan pola pikir dari normatif-tekstual menuju substantif-kontekstual. Mengapa dalam ibadah-ibadah lain yang bersifat “Taabbudi” dalam bingkai rukun Islam, seperti zakat dan haji banyak dilakukan ijtihad-progresif untuk menjawab tantangan zaman? Sementara dalam kasus “rukyat bi al-Aini” terkesan “Tsawabit” dan tidak bisa tergantikan. Disinilah pemahaman yang komprehensif lintas disiplin sangat diperlukan agar kebersamaan dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan dapat diwujudkan.
Editor: Soleh