Nafsiyah

Karya Sastra Ulama (1): Sastra Tak Sekadar Hiburan

4 Mins read

Puisi Gus Mus Dijadikan Doa

Pembacaan doa oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, adalah bagian yang sangat menarik perhatian dalam acara Peringatan Kemerdekaan RI ke-76 tahun ini di Istana Negara.

Setelah acara baca doa selesai, saya mengirim pesan ke beberapa kawan. “Bagus sekali teks doa kali ini. Siapa ya yang menuliskannya?”. Beberapa teman menjawab, “Sebentar. Ditanyain dulu, ya.” Kemudian saya lanjutkan: “Saya merasa sangat akrab dengan gaya bahasa di dalam teks tersebut. Saya jadi teringat puisi-puisi Gus Mus [KH Mustofa Bisri]. Penulis teks doa itu, agaknya, penggemar berat Gus Mus.”

Sembari menunggu informasi dari teman, saya men-transkrip pembacaan doa tersebut, dan kemudian saya salin-tempel teks transkrip itu ke mesin pencarian. “Jangan-jangan memang puisi Gus Mus,” pikir saya tak terlalu yakin.

Namun, sungguh tak disangka-sangka, saya menemukan sebuah tulisan dari sebuah media, yang diunggah persis di hari kemerdekaan tahun lalu, berjudul “Teks Doa Syukur Kemerdekaan dari Gus Mus untuk Bangsa Indonesia.” Fakta mencengangkan: teks doa yang dibacakan Menteri Agama tersebut memang puisi karya Gus Mus sendiri!

Sebagai penggemar karya Gus Mus, fakta tersebut merupakan sebuah kebahagiaan tak terkira. Bagaimana tidak, karya dari penyair kebanggaan kita dibacakan sebagai doa bersama di hari peringatan kemerdekaan.

Meskipun begitu, di saat yang sama, saya harus menertawakan diri saya sendiri. Selama ini, bila ada yang bertanya siapa saja penyair yang menginsipirasi karya-karya saya, maka tak luput saya menyebut nama Gus Mus.

Bahkan saya acap kali menyatakan kepada teman-teman bahwa saya selalu menyimak karya-karya Gus Mus. Tapi kali ini, kenyataannya, masih ada karya Gus Mus yang belum saya baca.

Baca Juga  Karya Sastra Ulama (2): Kenapa Ulama Perlu Menulis Karya Sastra?

Pilihan Menteri Agama untuk menjadikan puisi sebagai teks doa bersama merupakan kejutan yang berharga. Secara umum, tindakan menteri tersebut tak hanya berguna bagi perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat sastra, tetapi juga secara khusus untuk para kader organisasi Islam itu sendiri.

Respon yang Bermunculan

Ketika beberapa media memuat berita teks puisi Gus Mus yang dijadikan sebagai teks doa, berbagai respons pun bermunculan. Tentu saja tak sedikit apresiasi yang diberikan, di antaranya dari kalangan intelektual.

Namun cukup banyak juga ditemukan beberapa komentar sinis dan itu sangat menarik untuk disimak, seperti: “Kok Menteri Agama bukannya berdoa dan malah asyik membaca puisi?” Dan juga begini: “Emang boleh ya puisi dijadiin sebagai doa?”.

Dari dua contoh pertanyaan tersebut kita bisa menemukan satu kekeliruan yang sama: sastra diyakini tidak layak berada di tempat yang sama dengan doa yang digunakan sebagai peranti untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta.

Langgengnya nalar berpikir seperti itu tak terlepas dari kondisi umum dalam masyarakat saat ini yang masih memosisikan sastra sebagai “hiburan” belaka, bahkan puisi tak jarang hanya diasosiakan sebagai “curhat” belaka.

Sehingga, wajar saja ketika ada puisi yang dijadikan teks doa, ada masyarakat kita yang menunjukkan keheranan yang teramat-sangat.

Sastra Tidak Sebatas Hiburan

Saya tidak menampik kenyataan bahwa banyak karya sastra bisa menjadi hiburan. Namun, masalahnya, sastra tidak sebatas hiburan saja. Di zaman yang berbeda-beda, dalam berbagai peristiwa yang terus berubah, sastra mempunyai kontribusinya sendiri dalam dalam usaha manusia mencapai hal terbaik dari zamannya, salah satunya dalam gerakan perjuangan.

Di masa perjuangan kemerdekaan dahulu, sudah begitu banyak karya sastra, termasuk puisi tentunya, yang berjasa dalam membentuk imaji kebangsaan kita sebagai bangsa merdeka. Kaum perempuan pun tak pernah ketinggalan untuk menggunakan sastra sebagai sarana untuk mengusung gagasan tentang kesetaraan dan hak-hak perempuan lainnya. Begitu juga kaum buruh, melalui karya sastra, mereka dapat memperluaskan wilayah perjuangannya untuk menyadarkan masyarakat perihal penindasan, kesengsaraan, dan ketidakadilan sosial.

Baca Juga  Berbagi untuk Kemanusiaan

Berdasarkan beberapa contoh di atas saja, pemosisian sastra sebagai hiburan belaka jelas-jelas telah mereduksi fungsi krusial sastra bagi proses penciptaan kesadaran tertentu bagi umat manusia.

Sastra (sebagaimana seni umumnya) dengan taraf yang berbeda-beda senantiasa punya sisi hiburannya. Namun begitu, aspek hiburan itu hanya semacam “kulit luar” saja. Sebagai suatu seni yang menggunakan bahasa sebagai medium utamanya, seorang sastrawan menggunakan keterampilan berbahasa sebaik dan maksimal mungkin untuk membangun lapisan-lapisan lain di dalam karyanya.

***

Bila aspek hiburan hanyalah lapisan kulit luar, maka di lapisan-lapisan berikutnya terdapat mulai dari sesuatu yang sering disebut sebagai pesan moral hingga muatan ideologi; mulai dari cerminan realitas yang sering tampak gamblang dalam karya hingga kandungan psikologis yang melesap di dalamnya; mulai dari dimensi sejarah yang dibawanya hingga visi-visi kemanusiaan, spiritualitas, serta muatan falsafah yang diusungnya; mulai dari hal-hal yang gampang dicerna dengan sekali baca hingga aspek-aspek yang membutuhkan ketajaman pikiran untuk memahaminya; dan seterusnya.

Di zaman penjajahan hingga sekarang, kita bisa menemukan berbagai catatan tentang aksi pelarangan karya sastra terutama oleh rezim yang berkuasa. Tentu saja sungguh sangat konyol bila penguasa melakukan pelarangan (bahkan dalam banyak kasus, penulisnya turut dipenjara, disiksa, hingga dibunuh) pada suatu hasil kreativitas manusia yang cuma berfungsi sebagai hiburan belaka.

Dan sungguh mustahil bila penguasa melabeli suatu karya sastra sebagai “bacaan berbahaya” hanya karena karya itu membuat masyarakat terhibur. Yang terjadi malah sebaliknya, suatu rezim yang anti-demokrasi dan anti-intelektual justru selalu mewaspadai karya sastra. Rezim-rezim seperti itu sangat sadar bahwa lapisan-lapisan aspek yang disebutkan di atas tadi dapat mengubah kesadaran masyarakat ke arah yang tidak dikehendaki oleh rezim itu sendiri.

Baca Juga  Empat Penyebab Intoleransi kepada Minoritas

Sejarah sudah mencatat bahwa setiap rezim punya agendanya masing-masing dan di setiap rezim selalu ada karya sastra yang diciptakan. Selain ada karya yang secara lantang mengganggu rezim, tentu saja juga ada karya yang terang-terangan atau diam-diam mendukung nilai-nilai yang disokong rezim.

Dengan kata lain, tidak ada karya sastra di dunia ini—apa pun genrenya—yang sekadar mengandung nilai hiburan. Baik menganggu, menyokong, atau mengabaikan rezim, pada prinsipnya karya sastra dengan suatu dan lain cara akan selalu mengandung muatan-muatan yang turut membangun imajinasi hingga kesadaran pembacanya ke arah-arah tertentu.

Dalam hal ini, karena daya gugah yang selalu terkandung dalam lapisan-lapisan yang dijabarkan tadi, sastra selalu menjalankan fungsi ganda: ia bisa menjadi “ancaman” sekaligus jadi “sokongan” di saat yang sama. Tergantung dari mana memandangnya.

Editor: Yahya FR

Avatar
5 posts

About author
Heru Joni Putra lahir 13 Oktober 1990 di Payakumbuh, Sumatra Barat. Lulusan Sastra Inggris FIB Universitas Andalas dan Cultural Studies FIB Universitas Indonesia. Buku pertamanya berjudul Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (2017) beroleh penghargaan sebagai Buku Sastra Terbaik versi Majalah TEMPO 2018 serta Wisran Hadi Award 2019 dan telah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh George A Fowler dengan judul Will Badrul Mustafa Never Die: Verse from the Front (2020). Tahun 2019 ia mengikuti Residensi Penulis di Bristol (UK) atas dukungan Komite Buku Nasional. Buku terbarunya berjudul Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka (2021). Ia kini tinggal dan bekerja di Jogjakarta serta bisa dihubungi via IG @heru.joniputra |
Articles
Related posts
Nafsiyah

Islam: Melebur dalam Seni dan Budaya Indonesia

4 Mins read
Islam Budaya | Indonesia dengan puluhan ribu pulau dari Sabang sampai Merauke memiliki beragam budaya dan adat istiadat. Keragaman budaya itu menghasilkan…
Nafsiyah

Empat Penyebab Intoleransi kepada Minoritas

3 Mins read
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia sering kali dilanda oleh berbagai macam fenomena keagamaan, terutama pada umat Muslim. Intoleransi dan diskriminasi golongan tertentu…
Nafsiyah

Potret Pembelajaran Islam di Rusia

1 Mins read
Dilansir dari World Population Review, jumlah pemeluk agama Islam di muka bumi ini pada tahun 2020 yakni sebanyak 1,91 miliar orang. Dengan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds