IBTimes.ID – Memasuki era reformasi, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Lahirnya ruang keterbukaan yang melebar dan lapangan yang terbuka luas, nampaknya menjadi momentum bagi seluruh organisasi yang ada di Indonesia termasuk organisasi keagamaan.
“Saya kira NU era orde baru dan NU pasca reformasi itu berbeda. Begitupun dengan Muhammadiyah era orde baru dan Muhammadiyah pasca reformasi juga berbeda,” ucap Savic Ali Ketua PBNU dalam acara Diskusi Buku dan Workshop: Literasi Digital Moderasi Beragama pada (22/3/24).
Savic Ali menyampaikan, di saat yang sama, bukan hanya NU dan Muhammadiyah yang mendapatkan momentum dengan runtuhnya kekuasan orde baru yang sangat sentralistik itu. Tetapi juga komunitas-komunitas keagamaan yang lain.
“Saya kira kelompok-kelompok yang kita sebut Salafi, itu juga mendapatkan ruang terbuka yang sangat luas. Sehingga pasca 98, komunitas-komunitas Salafi ini menguak, marak, dan merebak dimana-mana,” ungkapnya.
Bahkan sebagian, tutur Savic Ali, punya aspirasi politik yang mungkin lumayan radikal. Bisa itu terkait dengan negara Islam atau pemberlakuan syariat Islam.
“Saya kira karya Pak Haedar yang berjudul Islam Syariat memotret dengan sangat detail bagaimana perkembangan organisasi-organisasi atau komunitas-komunitas ini pasca reformasi,” ujarnya.
Savic Ali menyebut, dirinya baru menyadari bahwa ternyata dampak dari kertebukaan era reformasi dan munculnya komunitas-komunitas baru bagi Muhammadiyah begitu besar.
“Jadi kalau tumbuhnya komunitas-komunitas Salafi, mungkin kalau NU hanya kehilangan beberapa anggota yang ikut mereka. Tapi kalau Muhammadiyah kehilangan anggota dan asetnya,” paparnya.
“Tadi saya sempat ngobrol-ngobrol dengan Pak Makron, bahwa ternyata ada salah satu basis komunitas Salafi di Cileungsi itu dulunya musholah/masjidnya Muhammadiyah. Jadi terlihat begitu besar dampaknya,” lanjutnya.
Savic Ali menjelaskan, bahwa ruang keterbukaan ini memang memunculkan kontestasi antar komunitas-komunitas baru yang berdampak pada organisasi lama seperti Muhammadiyah dan NU.
“Saya kira Muhammadiyah dengan Pak Haedar Nashir mengambil jalan dan keputusan yang sangat tepat dengan melakukan konsolidasi dan revitalisasi. Saya tidak membayangkan kalau kemudian di Muhammadiyah tidak ada langkah-langkah itu,” imbuhnya.
Adapun di NU, sebut Savic Ali, kami mulai menyadari di awal-awal tahun 2000an bahwa komunitas-komunitas Salafi yang ultra-konservatif maupun yang konservatif tumbuh pesat pasca reformasi.
“Saya pribadi menyaksikan di awal tahun 2000an itu banyak sekali website-website atau blog-blog terutama, itu yang isinya memang perspektif keagamaan yang eksklusif dan konservatif,” paparnya.
Savic Ali mengatakan, waktu itu NU dan Muhammadiyah belum begitu melek dalam urusan online. Sehingga dari situ lah terpikirkan untuk menginisiasi dan membuat website NU Online.
Namun kendati demikian, di Muhammadiyah, bagi Ketua PBNU itu, Haedar Nashir adalah sosok yang mampu menavigasi Muhammadiyah di era keterbukaan baru pada saat itu. Dimana semua itu sangat menentukan laju Muhammadiyah hingga hari ini.
“Saya menganggap bahwa Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi yang memainkan peran penting dalam sejarah demokrasi di Indonesia, bukan hanya dalam konteks sejarah keagamaan,” sebut Savic Ali.
Ia memaparkan bagaimana Muhammadiyah dan NU memiliki peran yang sangat penting dari sebelum kemerdekaan, pasca kemerdekaan, hingga hari ini. Kondisi Indonesia tidak terbayangkan jika tidak ada Muhammadiyah dan NU.
“Saya kira kita harus bersyukur punya NU dan Muhammadiyah dan organisasi-organisasi keagamaan yang lain. Dan kita perlu bersyukur punya sosok Pak Haedar yang memiliki pemikiran dan keteladanan luar biasa bukan hanya untuk Muhammadiyah dan NU, tetapi untuk umat muslim di Indonesia,” tutupnya.
(Soleh)