Tidak benar jika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Buktinya, prinsip pokok syariat Islam atau yang biasa disebut dengan maqashid asy-syari’ah, adalah dalam rangka merengkuh kemaslahatan dan menghalau kemafsadatan (jalbul-mashalih wa dar’ul-mafasid).
Kendati memang benar terdapat perbedaan antara karakteristik HAM dalam Islam dengan HAM versi DUHAM (Universal Declaration of Human Rights). Adapun dalam pandangan Islam, HAM tidak berlaku secara mutlak dan sebebas-bebasnya. Namun, HAM memiliki batasan senyampang tidak bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an dan hadis.
Konsep HAM versi Islam ini bersumber dari akidah yang bersifat transendental. Bukan sekadar hasil konsensus profan sejumlah manusia. Untuk itu, guna lebih memahami bagaimana substansi HAM dalam Islam, Sayyid Sabiq menjabarkannya menjadi enam ragam hak asasi.
Enam Ragam Hak Asasi Menurut Sayyid Sabiq
Pertama, hak atas kelangsungan hidup (haqqul-hayah). Pada dasarnya, hidup manusia merupakan karunia Allah Swt. Sebagaimana termaktub dalam surah Al-Hijr ayat 23 berikut ini,
وَاِنَّا لَنَحْنُ نُحْيٖ وَنُمِيْتُ وَنَحْنُ الْوَارِثُوْنَ
“Dan sungguh, Kamilah yang menghidupkan dan mematikan dan Kami (pulalah) yang mewarisi.” (QS. Al-Hijr: 23)
Ayat ini menegaskan bahwa perkara hidup dan mati manusia termasuk bagian dari kehendak dan kuasa Allah. Karena itu, syariat Islam melarang keras tindakan pembunuhan, baik membunuh orang lain maupun membunuh diri sendiri.
Kepedulian Islam menyangkut hak atas kelangsungan hidup manusia, ditunjukkan dengan adanya hukuman qishash (pembalasan yang setimpal) bagi siapa saja yang sengaja merenggut nyawa orang lain. Sedangkan aksi bunuh diri, menurut syariat Islam, tergolong laku haram dan dosa besar.
Kedua, hak atas perlindungan harta (haqqut-tamalluk). Selain nyawa manusia, harta dan segala hak miliknya juga mendapat jaminan perlindungan oleh Islam. Salah satu wujud perlindungan tersebut tampak melalui penegasan Al-Qur’an, surah An-Nisa’ ayat 29, yakni:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Ayat ini menunjukkan larangan mengusik harta milik orang lain, entah itu milik individu perseorangan ataupun masyarakat secara umum. Apalagi, Rasulullah pernah menyatakan bahwa orang yang mati gara-gara membela harta atau hak kepemilikannya, adalah mati syahid (Lihat pada Sunan at-Tirmidzi, no. hadis 1421; atau pada Subulus-Salam, h. 72, jilid ke-4)
Di sisi lain, orang yang mengambil harta orang lain secara batil atau memperoleh harta kekayaan secara zalim, seperti mencuri atau korupsi, maka syariat Islam mengganjarnya dengan sanksi jinayah berupa potong tangan. Sanksi ini bertujuan supaya orang tidak gampang mencaplok harta milik orang lain.
Islam yang Menjunjung Tinggi Kehormatan Manusia
Ketiga, hak atas harkat dan martabat (haqqu shiyanatil-‘irdh). Di dalam Al-Qur’an, surah Al-Isra’ ayat 70, Allah Swt. mendeklarasikan pemuliaannya terhadap segenap manusia.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra’: 70)
Sebagai konsekuensi logis ayat ini, di bagian lain Al-Qur’an (QS. Al-Hujurat: 11-12), Allah mengingatkan agar tidak saling menghina dan merendahkan kehormatan masing-masing. Dilarang pula berprasangka buruk (su’uzh-zhan) dan bertindak tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain).
Di samping itu, dalam rangka menjaga kehormatan diri manusia, Islam menetapkan hukuman had bagi pelaku zina atau penuduh orang berzina. Selain kedua perbuatan ini juga terbilang dosa besar dalam kacamata agama Islam.
Kemerdekaan dalam Beragama
Keempat, hak atas kemerdekaan (haqqul-hurriyyah). Bukti riil atas hal ini yaitu spirit ajaran Islam yang menghapus praktik perbudakan. Bahkan, Islam pun memberikan kemerdekaan atau kebebasan bagi setiap orang dalam ahwal menentukan agama yang diyakininya. Ahwal ini ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 256.
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Memang Al-Qur’an juga memproklamasikan agama Islam sebagai satu-satunya agama yang direkognisi di sisi Tuhan (innad-diina ‘indallahil-islaam). Akan tetapi, pun Islam tidak membenarkan adanya paksaan untuk menganut agama ini. Justru Islam menghendaki manusia memeluk agama Islam atas kesadaran dan kemauan sendiri.
Ragam HAM dalam Islam sisanya, yaitu hak atas kesetaraan (haqqul-musawah) dan hak atas pendidikan (haqqut-ta’allum). Keenam ragam HAM dalam Islam menurut ulama asal Mesir ini dapat ditelaah lebih lanjut pada buku kesohornya yang berjudul Fiqhus-Sunnah. Persisnya pada halaman 323, jilid ke-2 (terbitan al-Fath li al-I’lam al-‘Arabi, Kairo, Mesir).
Intinya, Islam sejatinya menggaransi hak-hak asasi tersebut berlaku bagi setiap manusia tanpa terkecuali. Sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surah Al-Isra’ ayat 70 di atas. Begitu pula dengan sikap asertif Rasulullah saw. melalui khotbah beliau yang fenomenal saat Haji Wada’.
Tanggapan Konsep HAM dalam Islam yang Kontroversial
Kendati demikian, tidak dipungkiri bahwa konsep HAM dalam Islam cukup kontroversial di mata sebagian kalangan. Terlebih, menyangkut penerapan sanksi jinayah sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sebab, hal tersebut justru diklaim mencederai prinsip HAM itu sendiri.
Padahal, menurut Kiai Afifuddin Muhajir dalam bukunya, Fiqh Tata Negara; Upaya Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam. Bahwa berdasarkan fakta sejarah, hukuman-hukuman jinayah tidak banyak terjadi, malahan jarang sekali diterapkan.
Setidaknya kenyataan tersebut disebabkan oleh dua faktor, yakni prosedur pembuktiannya amat ketat dan berat, serta karena persyaratannya yang mengharuskan tidak ada syubhat (kesangsian) yang melingkupi situasi dan kondisi saat jarimah (tindak kejahatan) tersebut terjadi.
Atas itu, lanjut Kiai Afif, ada yang berpandangan bahwa sebetulnya konsep hukuman jinayah tersebut lebih bernuansa nazhariyyah (teoretis) daripada ‘amaliyyah (praksis). Alhasil, Islam memiliki pandangan tersendiri mengenai HAM dengan patokan tegas berupa Al-Qur’an dan hadis. Tidak berlaku bebas tanpa batas seperti yang dianut oleh Deklarasi Universal HAM PBB.
Walakhir, penulis tutup tulisan ini dengan mengetengahkan firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 216, “…boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui…”
Wallahu a’lam bish-shawab.
Editor: Zahra