Fikih

Hukum Islam Itu Menggembirakan!

3 Mins read

Sebagian orang berpandangan bahwa hukum Islam itu hukum yang kejam, hukum Islam itu hukum yang bertentangan dengan HAM dan lebih kasarnya lagi hukum Islam itu sangat tidak manusiawi. Ya wajar saja mereka mengatakan seperti itu karena tidak pernah mengkaji secara langsung bagaimana hukum Islam itu dibangun. Mereka hanya melihat hukum Islam dari sisi pidana, yang dalam istilah hukum Islam kita kenal dengan Jinayah (Pidana Islam).

Semua hukum baik hukum agama maupun hukum dunia kalau sudah masuk wilayah pidana dan ketika hanya dipandang dari sisi eksekusinya, memang terlihat agak kejam. Ya namanya eksekusi hukuman. Padahal hukum Islam tidak hanya membicarakan soal Jinayah, masih banyak ruang lingkup yang semuanya tidak luput dari aturan hukum Islam yang kita kenal dengan fikih, baik itu hukum Ibadah, Muamalah, Siyasah, dan lain lain. Karena begitu banyaknya kitab yang membicarakan fikih, maka kitab fikih menjadi kitab terbanyak daripada kitab kitab yang lain.

Allah SWT sebagai Syari’ (yang menetapkan syariat) tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Akan tetapi hukum dan aturan itu diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa tujuan syariat adalah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan ketentuan syariat. Karena hukum Islam itu “Menggembirakan”.

***

Dalam hadis riwayat dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa)

Ia berkata: Ketika kami sedang duduk di hadapan Nabi saw, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki, lalu berkata: Hai Rasulullah, celakalah aku.

Beliau berkata: Apa yang menimpamu?

Ia berkata: Aku mengumpuli istriku di bulan Ramadan sedang aku berpuasa.

Maka bersabdalah Rasulullah saw: Apakah engkau dapat menemukan budak yang engkau merdekakan

Ia menjawab: Tidak.

Nabi bersabda: Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab: Tidak.

Nabi bersabda: Mampukah engkau memberi makan enam puluh orang miskin?

Ia menjawab: Tidak.

Abu Hurairah berkata: Orang itu berdiam di hadapan Nabi saw.

Ketika kami dalam situasi yang demikian, ada seseorang yang memberikan sekeranjang kurma (keranjang adalah takaran), Nabi saw bertanya: Di mana orang yang bertanya tadi? Orang itu menyahut: Aku (di sini).

Maka bersabdalah beliau: Ambillah ini dan sedekahkanlah.

Ia berkata: Apakah aku sedekahkan kepada orang yang lebih miskin daripada aku, hai Rasulullah.

Demi Allah, tidak ada di antara kedua benteng-kedua bukit hitam kota Madinah ini keluarga yang lebih miskin daripada keluargaku.

Maka tertawalah Rasulullah saw hingga nampak gigi taringnya, kemudian bersabda: Berikanlah makanan itu kepada keluargamu.” [HR. Al Bukhari).

***

Hadis di atas menerangkan bahwa hukum berhubungan suami istri di siang hari saat bulan Ramadan adalah dosa besar dan dapat membatalkan puasa, selain itu juga terdapat ‘uqubah bagi yang melanggar syariat.

Baca Juga  Hukum Makan Bekicot atau Siput dalam Islam

Hadis tersebut adalah bukti bahwa hukum Islam itu tidak kaku dan tidak keji. Hukum Islam itu sangat manusiawi dan hukum Islam itu ternyata “Menggembirakan”. Sesuai pesan Nabi dalam hadis riwayat Imam Bukhari berbunyi “Yassiru Wala Tu’assiru, Wa Bassyiru Wala Tunaffiru, yang artinya “Buatlah mudah, jangan membuat susah, buatlah orang-orang bergembira, jangan membuat orang berpaling muka.

Di sinilah letak kerahmatan hukum Islam, bahwa hukum Islam itu sekali lagi “Menggembirakan” yang seharusnya orang tersebut dihukumi untuk memerdekakan budak karena tidak mampu maka diganti untuk berpuasa dua bulan berturut turut, karena tidak mampu maka diganti dengan memberi makan 60 orang miskin, karena masih tidak mampu lagi maka diganti dengan sedekah semampunya. Keringanan tersebut bukan semerta merta berubah sesuka hati, namun harus terdapat Illat /sebab sebab khusus yang membuat hukum harus berubah dan perubahan tersebut atas sesuai dengan syariat.

Mengapa Hukum Islam itu Menggembirakan?

Karena pertama, hukum Islam itu menegakkan kemaslahatan. Yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini adalah kemaslahatan yang hakiki, artinya ia tidak hanya membawa kemaslahatan manusia di dunia tetapi juga kemaslahatan di akhirat. Karena begitu pentingnya prinsip menegakkan kemaslahatan terdapat adagium terkenal, dimana terdapat maslahat di sana terdapat syariah. Kemaslahatan yang dibawa juga bermaksud untuk menghindari kerusakan atau menolak kemudharatan.

Kedua adalah menegakkan keadilan. Keadilan dalam hukum Islam tidak hanya adil dalam menyangkut urusan diantara sesama muslim tetapi juga menyangkut hubungan dengan pihak non muslim. Tujuan ditegakkan keadilan dalam hukum Islam sangatlah luhur karena menyangkut beberapa aspek kehidupan manusia, baik adil di bidang hukum, peradilan dan persaksian serta adil dalam bermuamalah dengan pihak lain mengingat setiap orang mempunyai hak yang sama.

Baca Juga  Dekonstruksi Hukum untuk Keadilan Gender

Ketiga, tidak menyulitkan. Hukum Islam adalah hukum yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia. Ia adalah hukum yang tidak sulit, Allah menghendaki kemudahan bagi umat manusia tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Hukum Islam datang untuk membimbing manusia kepada kebahagiaan, keselamatan dan kemudahan dan tidak membuat manusia celaka.

Keempat, meringankan beban. Dalam surat al-Maidah ayat 101 menunjukkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan dalam syariat tidak perlu dipertikaikan tentang ketentuan hukumnya, hal itu karena rahmat Allah untuk tidak memperbanyak beban kepada umat manusia.

Banyak contoh kegembiraan dalam hukum Islam. Kita boleh tidak berpuasa Ramadan apabila dalam keadaan sakit, bepergian, bekerja keras dan puasa tersebut dapat diganti dengan puasa di luar bulan Ramadan. Kita bisa membayangkan betapa kejamnya hukum Islam apabila orang sakit, bepergian, pekerja keras namun harus wajib berpuasa.

***

Contoh lain adalah keringan bertayamum. Kita boleh berwudu dengan tidak menggunakan air apabila kita tidak menemukan air atau tidak boleh terkena air, hal ini dapat diganti bertayamum dengan debu.  Di sinilah letak salah satu kegembiraan dalam hukum Islam karena dengan debu kita mudah mendapatkan di manapun kita berada sehingga debu tersebut menjadi alternatif yang tidak memberatkan manusia. Contoh lain lagi yaitu dapat mengganti shalat Jum’at dengan shalat duhur apabila situasi dan kondisi seperti wabah COVID-19 mengancam keselamatan jiwa seseorang.

Dan masih banyak contoh-contoh keringanan agar kita tetap selamat dalam menjalankan ibadah dan merasakan kegembiraan dalam hukum Islam.

Editor: Yahya FR

Avatar
4 posts

About author
Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, dan Cendekiawan Muda Muhammadiyah Malang.
Articles
Related posts
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…
Fikih

Apa Hukumnya Membaca Basmalah Saat Melakukan Maksiat?

2 Mins read
Bagi umat muslim membaca basmalah merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan segala aktivitas. Mulai dari hal kecil hingga hal besar sangat…
Fikih

Bagaimana Hukum Mengqadha' Salat Wajib?

4 Mins read
Dalam menjalani hidup tak lepas dari lika liku kehidupan. Ekonomi surut, lapangan pekerjaan yang sulit, dan beberapa hal lainnya yang menyebabkan seseorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *