Tajdida

Menakar Kembali Gerakan Feminis dalam Masyarakat

3 Mins read

Beberapa hari lalu terdapat pemberitaan menggaduhkan atas tulisan di website Magdalene yang mengatakan bahwa prostitusi lebih bermartabat daripada istri yang tunduk pada nilai-nilai keluarga. Tulisan tersebut mendapat banyak respon baik tokoh agama atau institusi seperti AILA. Respon-respon tersebut menyayangkan sikap penulis yang menganggap bahwa pekerjaan seorang pelacur lebih berdaulat bila dibandingkan dengan pekerjaan seorang ibu yang harus mengurus suami beserta rumah tangga.

Bila ditilik lebih jauh, tulisan dan platform media yang menayangkannya menggambarkan cara pandang penulis yang berdasarkan pada paham kebebasan seksual yaitu hubungan seksual menjadi sah hanya melalui hubungan konsensus; hanya melalui persetujuan kedua belah pihak.

Dalam hal ini, pelacur disorot lebih berdaulat karena dia berkuasa memilih siapa saja yang berhak untuk berhubungan dengannya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan nilai masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim sekaligus juga membenarkan tindakan hubungan seksual sebelum menikah.

Tulisan tersebut bertepatan juga dengan berita dunia internasional yaitu seorang wanita bernama Silvia Romanov, tawanan ekstremis muslim Shabab asal Itali yang diberikan bantuan oleh pemerintah untuk bebas, malah berbalik memeluk agama Islam. Hal ini menimbulkan kemarahan sejumlah warga Italia di sosial media karena wanita tersebut dianggap pengkhianat yang mendukung musuh negaranya. Silvia mengatakan kepada reporter bahwa dia secara bebas memeluk agama Islam tanpa tekanan pihak manapun dan dia setia mengikuti kata hatinya.

Tulisan prostitusi lebih berdaulat di Magdalene dan berita Silvia Romanof dapat menggambarkan cara pandang alam feminis beserta pandangan masyarakat barat terhadap muslim dalam peta global. Dalam buku Katrin Bandel berjudul Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, isu-isu gender dapat berujung buah simalakama bila diterapkan dalam negara berkembang.

Baca Juga  Perayaan Sekaten, Titik Temu antara Budaya Jawa dan Islam di Yogya

Hal ini tidak dapat dipisahkan dari isu gender yang tidak melihat kontekstualisasi di mana budaya dan agama dipertimbangkan. Juga pandangan masyarakat Barat yang menganggap negara berkembang adalah warga kelas dua, primitif, dan selayaknya perlu dibantu.

Feminis dan Budaya Patriarki dalam Keluarga

Dalam tulisan Prostitusi Lebih Berdaulat Dibanding Seorang Ibu tersebut, si penulis memarginalkan nilai-nilai keluarga. Penting diketahui bahwa feminis beranggapan keluarga adalah sumber institusi yang melanggengkan budaya patriarki. Patriarki adalah isu sentral yang dibawa oleh feminis.

Patriarki bermakna dominasi laki-laki terhadap perempuan yang berujung pada penindasan dan ketidakadilan. Cara pandang tulisan tersebut dalam penggunaan patriarki ke dalam institusi keluarga, tentu saja keliru karena tidak melihat kontekstualisasi di mana keluarga itu memiliki peran-peran dan juga penerapan cara pandang tersebut digeneralisasi secara universal.

Budaya patriarki perlu dilihat dalam berbagai faktor, seperti faktor ekonomi. Misalnya saja pembagian budaya industri kerja yang memiliki jam tetap sehingga keluarga tersebut harus berbagi peran. Seringkali wanita memilih peran-peran domestik dalam keluarga karena budaya kerja yang sangat maskulin atau memang wanita tersebut mengutamakan pengasuhan dan pemeliharaan keluarga.

Dalam beberapa kasus, bila kedua orangtua bekerja atau seorang yang hidup sendiri namun tidak punya waktu untuk dirinya, umumnya akan menggunakan jasa Pelayan Rumah Tangga (PRT) yang notabenenya juga adalah seorang perempuan. Kesuksesan seseorang berada di ruang publik akhirnya tidak bisa lepas juga dari bantuan “warga kelas dua” seperti pembantu rumah tangga.

Posisi Seorang Muslimah dalam Peta Global

Pada kasus Silvia Romanof, kasus ini bersinggungan dengan paham Eropasentris bahwa agama Islam, muslimah beserta jilbabnya, adalah kaum tertindas di muka bumi. Paham ini sangat kuat bercokol pada orang Eropa. Di beberapa negara Eropa, jilbab masih dilarang pemakaiannya di muka publik.

Baca Juga  Tiga Cara Membangun Kerukunan Beragama di Sekolah

Pengunaan jilbab juga dalam benak eropa tertentu masih dipandang sebagai diskriminasi terhadap perempuan. Dalam buku Katrin yang menceritakan pengalaman mualaf Jerman, tertulis bahwa muslimah yang ada di sana mendapat diskriminasi setelah memeluk Islam dan menggunakan jilbab. Menurut Katrin, masyarakat Eropa cenderung menganggap umat muslim cenderung bodoh, miskin, dan tertindas.

Silvia Romanof dikecam negaranya karena malah memeluk Islam. Karena agama Islam dianggap sebagai agama yang penuh kekerasan dan menindas wanita. Romanof tidak dipandang lagi sebagai seorang Eropa yang punya kebebasan dalam memeluk agamanya. Dan tidak dipandang sebagai manusia penuh yang memiliki perjalanan spiritualnya. Dia sudah menjadi warga kelas dua dibenak warga negaranya sendiri dalam peta global.

***

Berkaca dari dua kasus tersebut, kajian gender perlu ditakar ulang kembali oleh masyarakat dunia berkembang. Patriarki berupa dominasi laki-laki atas perempuan harus dilihat dari berbagai faktor. Seperti faktor ekonomi, budaya, dan agama. Dalam beberapa kasus, memang ada perempuan yang secara sukarela berada di rumah tidak bekerja atau memang ekonomi keluarga yang hanya bisa menumpukan pendidikan pada satu anak laki-laki yang mengharuskan juga untuk merawat keluarganya kelak.

Dominasi laki-laki juga harus dilihat juga dengan perspektif tanggung jawab terhadap perempuan. Harapan keluarga, agama, dan budaya, mesti ikut dipertimbangkan. Bukan dijadikan sebagai faktor halangan (Katrin, 2016).

Selama ini, agama dan budaya kerap dijadikan objek pertentangan yang merenggut kebebasan wanita dan membuat wanita tertindas. Persepektif gender harus juga melibatkan kacamata budaya yang berasal dari nilai-nilai masyarakat itu sendiri dan konteks yang juga berasal dari pengalaman wanita yang hidup dalam budaya tersebut.

Suatu masyarakat memiliki nilai tersendiri yang harus dilihat dengan sudut pandang masyarakat yang bersangkutan bukan sudut pandang yang berasal dari luar. Budaya, agama, dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, harus ikut dipertimbangkan bukan untuk dipertentangkan.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Salafi di Akar Rumput
Editor: Yahya FR
Avatar
3 posts

About author
Alumnus Psikologi UGM 2017
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *