Tafsir

Sehat dan ‘Afiat Menurut Al-Qur’an

4 Mins read

Corona Virus Disease (COVID-19) membuat semua orang aware dengan kesehatan. Tentang kesehatan dikaitkan dengan COVID-19 ini, telah dibahas di berbagai forum Webinar (seminar berbasis web—online) mulai dari konsep kesehatan, protokol kesehatan, cara hidup sehat, bahaya covid, pencegahan penyebarannya, hingga paranoia tentang COVID-19 ini, dan lain semacamnya.

Meski terminologi sehat berasal dari bahasa Arab, kata ini tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Ini menampilkan spekulasi umum bahwa apakah Al-Qur’an tidak konsen dengan persoalan kesehatan. Kalau terminologi sehat itu tidak ada, dalam bentuk apa Al-Qur’an bicara tentang kesehatan?

Tulisan berikut merupakan pointers yang pernah saya sampaikan dalam Webinar bersama Mahasiswa Pascasarjana UNISA (Universitas Aisyiyah) Yogyakarta beberapa waktu lalu. Yang membahas tentang epistemologi kesehatan. Acara yang cukup mendadak, tetapi tidak bisa saya tolak. Karena saya didaulat menggantikan Mas Kiai Agus Purwanto yang sedang gerah untuk membicarakan sudut pandang Al-Qur’an tentang kesehatan. Demikian yang dimintakan oleh sahabat saya Zain Maulana (kader-alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah—IMM Yogyakarta yang baru menyelesaikan PhD-nya di the University of Leeds, England), atas pesan istrinya.

Makna Sehat dan ‘Afiat

Shihhatun, secara bahasa bermakna benar atau sehat dan selamat. Dalam tradisi bahasa Arab, biasanya kata shihhatun digabungkan dengan istilah ‘afiatun yang memiliki makna serupa, yakni sehat dan selamat.

Secara spesifik keduanya memiliki perbedaan makna. Shihhatun lebih terkait dengan kesehatan dan keselamatan dari ketidakberesan akal dan konsepsi. Sedangkan,‘afiatun dari mental dan karakter kepribadian.

Berikut beberapa definisi tentang sehat dan ‘afiat dari kamus;

Sehat mempunyai makna sebagai berikut; kesehatan dan keselamatan; terhindar dan selamat dari marabahaya penyakit; tiadanya miskonsepsi dalam pemikiran karena bukti mampu dihadirkan dalam sebuah pernyataan atau informasi; pemikiran yang koheren atau koresponden; serta penjelasan yang jelas dan mudah dimengerti.

Sedangkan ‘afiat memiliki definisi sebagai berikut: sehat dan selamat karena terhindar dari bala; rezeki kebaikan (tidak mesti berbentuk materi) yang dianugerahkan Allah kepada seseorang; orang yang memiliki banyak tamu serta memiliki tradisi suka menjamu tamu; dan kesehatan prima karena terhindar dari kejelekan, keburukan, kemudian memperoleh keselamatan dari penyakit.

Baca Juga  Bacalah dengan Nama Tuhanmu: Refleksi dan Manifestasi

Al-Qur’an Tidak Membicarakan Kesehatan

Al-Qur’an memiliki cara berpikir dan definisi kesehatan konseptual tersendiri yang bisa dinilai lebih fokus kepada inti persoalan kesehatan. Al-Qur’an dalam membicarakan kesehatan lebih fokus untuk mengidentifikasi penyakit dan penyembuhannya. Al-Qur’an melangkah lebih terdepan daripada hanya membicarakan konsep kesehatan.

Jadi, dengan membicarakan penyakit dan penyembuhannya, otomatis lahirlah konsep kesehatan beserta implementasi penyembuhannya. Logika ini penting diurai, karena dalam ilmu pervirusan misalnya, kita terlalu fokus pada konsep sehat. Tetapi tidak berusaha mengidentifikasi penyakit dan mencari vaksinnya, tentu kesehatan tidak akan terpenuhi.

Terminologi penyakit di Al-Qur’an disebut banyak sekali. Rerata lokusnya ada di hati. Apa dan bagaimana Al-Qur’an mengidentifikasi dan menguraikan suatu penyakit itu terjadi.

Sehat dan ‘Afiat menurut Al-Qur’an

Berikut saya kutipkan beberapa ayat Al-Qur’an. Pertama, QS. Al-Baqarah: 6-10. Menurut ayat di surat tersebut, penyakit terjadi karena tidak berfungsinya media ilmu pengetahuan (hati, pendengaran, dan penglihatan tertutup). Tidak percaya kebenaran pengetahuan (dan Yang Maha Benar), selalu pesimis pada masa depan (akhirat), tidak mempunyai kepekaan, karena seringkali menghina kebenaran dan Yang Maha Benar serta orang yang mengikuti kebenaran, serta selalu melakukan kebohongan. QS. Al-Taubah: 125 dan QS. Al-Maidah: 90 mengungkapkan bahwa penyakit terjadi karena kekotoran perbuatan (rijsun) serta karena makan-minum yang kotor dan tidak halal.

Penyakit yang lokusnya ada pada hati di atas, berakibat kepada lahirnya jahlun (kebodohan). Sebagai dampak penyakit, lokus jahlun menyebar tidak hanya pada hati, tetapi juga pada akal. Berikut adalah uraian Al-Qur’an tentang jahlun sebagai dampak dari penyakit.

QS. Al-An’am: 111 menjelaskan bahwa kebodohan terjadi karena seseorang tidak sensitif dan tidak peduli terhadap bukti. Sering melakukan miskonsepsi terhadap sesuatu atau informasi yang didengar, ditangkap, dan dipikirkannya.

Baca Juga  Genealogi Karya Tafsir Al-Qur’an di Indonesia

Menurut QS. Al’A’raf: 138 kebodohan juga terjadi karena sikap tidak kritis terhadap budaya masa lalu yang bodoh dan sama sekali tidak relevan. Arogansi dan sombong, diuraikan dalam deskripsi QS. Hud: 29, dapat dinilai sebagai pangkal kebodohan juga.

Sebab, orang dengan karakter arogan dan sombong, biasanya tidak jernih dalam melihat persoalan. Ketidakjernihan dalam melihat persoalan inilah yang disebut sebagai kebodohan. Kebodohan model ini, bila dipelihara terus-menerus dan terbiasa dikerjakan, akan melahirkan suatu pandangan yang tidak benar, selalu ngawur, inkonsisten, dan tidak terbukti sebagai kenyataan (halu).

Tindakan bodoh yang tidak berbasis pada pandangan yang benar ini, menurut QS. Ali Imran: 154, akan melahirkan kebodohan epistemik. Yaitu; kebodohan yang lahir karena pengetahuan kosong, atau ada pengetahuan yang tidak dijadikan basis penilaian, atau ada pengetahuan tetapi menggunakannya dengan tujuan tidak benar. Pangkal kebodohan kata QS. Al-Ahqaf: 23 adalah ketika kita menolak kebenaran tauhid. Tauhid dalam pengertian kebenaran dan kebajikan yang dihayati sebagai tujuan akhir.

Konsep Kesembuhan (Syifa’)

Al-Qur’an menyajikan konsep syifa’ (kesembuhan). Lokus syifa’ menurut Al-Qur’an adalah tubuh, shudur, akal, dan hati. Terlihat Al-Qur’an secara komprehensif ingin menawarkan konsep penyembuhan setelah mengurai pangkal penyakit itu apa dan bagaimana.

QS. Al-Taubah: 14 & Al-Syu’ara: 80 menjelaskan bahwa kesembuhan dapat dicapai dengan sikap optimis. Yaitu, sikap yakin sembuh. Dalam bahasa yang diurai oleh ayat-ayat tersebut,  bahwa kesembuhan hakiki itu dapat terjadi karena seseorang beriman kepada Allah Yang Maha Menyembuhkan. Boleh dikatakan di sini, bahwa iman dapat meningkatkan imun. Dengan kata lain, sikap optimis, bahagia, selalu berpandangan positif dapat membantu kesembuhan lebih cepat, bahkan terhindar segera dari penyakit yang diderita.

Sementara itu QS. Yunus: 57; Al-Isra’: 82; dan Fushilat: 44 menguraikan bahwa kesembuhan dapat dicapai karena seseorang mau belajar. Dengan belajar, seseorang dapat menemukan obat atau vaksin yang dibutuhkan. Dalam bahasa Al-Qur’an, untuk mencapai kesembuhan, seseorang harus selalu dekat dengan Al-Qur’an. Yakni melakukan tilawah, qira’ah, tahfizh, tafhim, dan taf’il terhadap Al-Qur’an. Sebagai bentuk doa membangun narasi optimisme, pembelajaran, dan pemahaman sebagai bentuk sikap pro-sains bukan anti-sains. Serta implementasi pengetahuan sebagai bentuk praksis kesehatan secara holistik.

Baca Juga  Makna Rambut Uban dalam Al-Qur'an dan Tiga Tafsir

Al-Qur’an tidak melupakan tubuh dalam upaya penyembuhan. Tubuh harus prima, mendapatkan asupan makanan bergizi, dan perbaikan sel rusak dengan pola makan dan istirahat yang baik. Oleh karena itu, salah satu konsep penyembuhan yang ditawarkan Al-Qur’an adalah simbol makanan baik, yaitu madu. Menurut QS. Al-Nahl: 69, kesembuhan terjadi dengan media minum madu.

Yang patut menjadi catatan di sini adalah bahwa penyakit dan kesembuhan itu terjadi karena pola pikir, pola makan, dan menejemen hidup. Pola pikir yang sehat, pro-kebenaran, taat pada pembuktian dan Yang Maha Benar, berdampak kepada kesembuhan. Pola makan yang bagus, bergizi, tidak berlebihan dan halal akan menyehatkan tubuh. Menejemen hidup yang selalu positif, teratur dengan pola yang sehat, selalu optimis tentu merupakan pangkal kesehatan.

Konsep Progresif Al-Qur’an

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa kesehatan seseorang itu terjamin selalu melekat padanya, karena ia mempraksiskan epistemology of virtues. Yaitu pengetahuan yang ditindak-lanjuti dengan kebajikan. Di antaranya; takwa terkait dengan kebajikan lainnya, yaitu: tawakal (pasrah dalam optimism), qana’ah (menerima dengan lapang dada), ikhlas (murni untuk Allah Yang Maha Bajik), sedekah (peka dan peduli), istighfar (suka mengevaluasi diri/instrospeksi), dan rahmah (kasih sayang terhadap sesama).

Dapat pula dikatakan bahwa amaliah di luar epistemology of virtues akan berdampak menjadi penyakit. Demikianlah, Al-Qur’an tidak membicarakan konsep kesehatan yang hanya bersifat wacana saja, melainkan lebih progresif yaitu mengeksplorasi macam-macam penyakit, gejala, dampak dan akibatnya. Kemudian ditindak-lanjuti dengan apa dan bagaimana cara penyembuhannya.

Sebuah konsep progresif yang khas Al-Qur’an: fokus pada konseptualisasi yang relevan untuk langkah-langkah praksis berikutnya yang pastinya mashlahat untuk seluruh umat manusia. Wallahu a’lam.

Editor: Yahya FR
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds