Penentuan hilal Ramadhan maupun Idul Fitri dan Idul Adha menggunakan metode hisabmerupakan tradisi praktik keagamaan peninggalan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri dan President pertama Hoofdbestuur(HB) Muhammadiyah. Penggunaan metode hisab dalam penentuan awal bulan di kalangan Muhammadiyah merupakan tradisi yang diwariskan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Pada masanya, praktik semacam ini merupakan ’kebaruan’ (tajdid) karena merupakan umat Islam di Yogyakarta masih berpegang pada kalender Jawa (Aboge).
Sumber Junus Salam (2009) pernah mengungkap peristiwa penting yang berkaitan dengan proses interaksi antara K.H. Ahmad Dahlan dengan kekuasaan Kraton Yogyakarta dalam rangka mengenalkan paradigma baru praktik keagamaan pada waktu itu. Sebagai seorang abdi dalem, K.H. Ahmad Dahlan tentu tidak memiliki otoritas untuk mengubah tradisi keagamaan yang sudah melekat dalam kultur Kraton Yogyakarta. Tetapi pada akhirnya, gagasan K.H. Ahmad Dahlan dapat ditolerir oleh sang raja (Sultan), sekalipun tidak mampu mempengaruhi tradisi di kalangan internal Kraton Yogyakarta.
Peristiwa ini terjadi ketika jabatan HoofdpenghuluKraton Yogyakarta dipegang oleh K.H. Muhammad Kamaludiningrat (K.H. Sangidu), tepatnya pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono (HB) VII. K.H. Ahmad Dahlan diterima pihak Kraton lewat perantara Hoofdpenghulu. Dengan penuh hormat mengikuti prosedur kraton, K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan pandangannya tentang perhitungan hilal Syawwal yang menurut metode ilmu hisab berbeda dengan perhitungan kalender Aboge.
Namun, ada yang aneh dengan suasana tempat di mana K.H. Ahmad Dahlan diterima oleh Sultan HB VII. Ruangan tampak gelap gulita. Tetapi suara sang Sultan terdengar jelas sekali. Sehingga K.H. Ahmad Dahlan pun tidak kikuk, tidak grogi, karena ia menyampaikan pandangannya dalam kondisi ruangan gelap gulita. Selesai K.H. Ahmad Dahlan berargumentasi, lampu ruangan dinyalakan sehingga terang benderang. Betapa terkejut K.H. Ahmad Dahlan karena di ruangan tersebut Sultan HB VII beserta seluruh jajarannya tampak lengkap menyaksikan dengan seksama kehadiran tokoh Muhammadiyah ini.
Suatu kebijaksanaan yang di luar dugaan K.H. Ahmad Dahlan karena pada waktu itu Sultan HB VII memutuskan: ”Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi menurut hitungan Aboge” (Junus Salam, 2009: 156-157).
Kebijakan Sultan HB VII inilah yang menjadi satu argumen kuat bahwa gerakan pembaruan keagamaan Muhammadiyah tidak mampu menyentuh struktur tradisi Kraton Yogyakarta hingga kini. Sebab, Muhammadiyah memang dibolehkan menyelenggarakan Shalat Idul Fitri lebih dahulu, bahkan diizinkan menggunakan fasilitas Masjid Agung Yogyakarta untuk menggelar Shalat Id. Sementara pihak Kraton tetap berpegang pada kalender Abogeyang berbeda dalam penentuan awal Syawwal.
K.H. Ahmad Dahlan memang dikenal menguasai Ilmu Falak (Astronomi) ketika mengusung gerakan pembaruan Islam di Kauman, Yogyakarta, pada awal abad ke-20. Penguasaan terhadap Ilmu Falak jelas memiliki korelasi dengan metode hisab dalam penentuan awal bulan.
Sumber Junus Salam (2009: 59-60) menyebutkan bahwa K.H. Ahmad Dahlan belajar Ilmu Falak (Astronomi) dan juga Ilmu Bumi kepada Raden Haji Dahlan(Semarang) dan Syekh Jamil Jambek(Bukittinggi).Raden Haji Dahlan adalah putra Kiai Tremas (Pacitan), menantu Kiai Saleh Darat (Semarang). Dia pakar Ilmu Falak yang tersohor di tanah Jawa. Sedangkan Syekh Jamil Jambek adalah ulama kelahiran Bukittinggi. Dia termasuk salah seorang murid Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawiyketika belajar di Makkah. Djamil Djambek memiliki wawasan yang luas tentang bagaimana sikapnya dalam menghadapi kemajuan zaman. Kemampuan spesifik yang dimiliki Djamil Djambek adalah di bidang Ilmu Falak (Astronomi).
Selain Raden Haji Dahlan di Semarang dan Syekh Djamil Jambek di Minangkabau, ulama pakar Ilmu Falak yang cukup tersohor di nusantara pada waktu itu adalah Sayid Usman al-Habsyidi Batavia. K.H. Ahmad Dahlan yang berprofesi sebagai pedagang kain sering bepergian ke Batavia (Jakarta). Dalam sebuah kesempatan, K.H. Ahmad Dahlan pernah bertemu dengan Sayid Usman al-Habsyi untuk belajar mengasah kemampuan Ilmu Falaknya.
Dengan cara demikian, matanglah kemampuan Ilmu Falak K.H. Ahmad Dahlan sewaktu menggunakan metode hisab dalam penentuan hilal Syawwal yang hasilnya berbeda dengan kalender Aboge.
Saya orang jurusan sejarah, pada zaman KH. Ahmad Dahlan masih menggunakan rukyat (bukan hisab), sementara keraton menggunakan hisab kalender Aboge. Bahkan waktu itu, KH. Ahmad Dahlan yang memperkenalkan metode rukyat melalui Kyai Sangidu, penghulu keraton Yogyakarta sekaligus juga murid pertamanya. Sistem hisab di Muhammadiyah itu pertamakali diperkenalkan oleh ulama-ulama Minangkabau: Syaikh Jamil Jambek dan Haji Rasul ayah Hamka. Lha wong Keputusan Majelis Tarjih di Yogyakarta tahun 1930 saja masih memakai rukyat dan hisab hanya sekedar pendukung. Mungkin data-data sejarahnya, perlu menggunakan rujukan dokumen yang lebih lawas.