IBTimes.ID – Tahun 2025 menjadi penanda penting ketika diplomasi, pendidikan, dan budaya bertemu dalam satu forum untuk merawat masa depan pembelajaran Bahasa Indonesia.
First Australian Congress for Indonesian Language 2025, atau Kongres Australia Pertama untuk Bahasa Indonesia 2025, resmi berlangsung di Australian National University (ANU), Sabtu (Kompas.com/6/12).
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, menegaskan bahwa agenda ini mencatat sejarah baru karena menjadi Kongres Bahasa Indonesia pertama yang digelar di luar negeri dalam 87 tahun terakhir. Sebelumnya, kongres pertama diselenggarakan pada 25–28 Juni 1938 di Solo, Jawa Tengah.
Fajar menjelaskan bahwa Australia dipilih sebagai negara pertama penyelenggaraan kongres di luar negeri karena konsistensinya dalam mempelajari Bahasa Indonesia, baik di sekolah maupun perguruan tinggi.
“Harapannya, Bahasa Indonesia akan tetap relevan bagi warga Australia. Dengan menguasai bahasa ini, Australia dapat mempererat kedekatan sosial, budaya, pendidikan, hingga kerja sama di bidang energi terbarukan,” ujar Fajar saat menyampaikan sambutan di ANU, Canberra.
Bahasa Indonesia dan Peran Global yang Kian Strategis
Secara internasional, posisi Bahasa Indonesia terus menguat. Hal ini semakin terlihat setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidatonya pada kongres UNESCO—menjadi pertama kalinya Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa kerja resmi UNESCO pada 4 November 2025 di Samarkand, Uzbekistan.
Dalam pidatonya, Abdul Mu’ti menekankan bahwa Bahasa Indonesia selama ini berfungsi sebagai perekat di 17.000 pulau, ratusan bahasa daerah, dan lebih dari seribu kelompok etnis. Kini, bahasa ini berkembang menjadi jembatan pengetahuan antarbangsa.
Di Australia, Bahasa Indonesia juga memiliki posisi khas: diajarkan di sekolah, diteliti di universitas besar, dan dipelajari generasi muda yang ingin memahami negara tetangganya.
Tren Menurun, Namun Semangat Tak Padam
Meski demikian, pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia menghadapi tantangan beberapa tahun terakhir. Minat pelajar menurun, program studi berkurang, dan regenerasi tenaga pengajar berjalan lambat.
“Inilah alasan lahirnya kongres ini, untuk mempertemukan kembali para pemangku kepentingan,” ujar Fajar kepada Kompas.com.
Tujuannya jelas: memperkuat pengajaran Bahasa Indonesia sekaligus menegaskan posisinya sebagai simpul diplomasi dua bangsa.
Fajar menyoroti penurunan minat siswa maupun mahasiswa terhadap studi Bahasa Indonesia yang pada akhirnya memicu penutupan sejumlah program di berbagai kampus Australia.
“Ada tren dalam beberapa tahun terakhir, minat mahasiswa Australia belajar bahasa menurun. Akibatnya, program studi Bahasa Indonesia di beberapa kampus ditutup,” katanya.
Ia berharap kongres ini dapat kembali menyalakan minat tersebut.
“Harapannya tumbuh semangat baru bahwa mempelajari Bahasa Indonesia memiliki nilai strategis bagi warga Australia,” lanjutnya.
Dari sisi diplomasi, Fajar menekankan peran bahasa sebagai bagian dari kemitraan strategis Indonesia–Australia.
“Ada Comprehensive Strategic Partnership di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan pertahanan. Kami berharap kegiatan ini mempererat diplomasi kedua negara,” ujarnya.
Duta Besar RI untuk Australia, Siswo Pramono, menambahkan bahwa penurunan minat belajar bahasa bukan sekadar isu akademik, melainkan berhubungan dengan strategi kawasan ke depan.
“Ada dua masalah di Australia: kebutuhan akan Bahasa Indonesia menurun, dan pendanaannya juga tidak tersedia dari pemerintah Australia,” jelas Siswo.
Ia mengatakan pemotongan anggaran kajian Asia turut berdampak pada studi Indonesia. Karena itu, KBRI mendorong kampanye yang lebih intens melalui program Ambassador Goes to School, pertunjukan budaya, hingga kuliah umum.
“Indonesia adalah masa depan dunia. Perekonomiannya diprediksi menjadi yang kelima terbesar dalam lima belas tahun ke depan, dan Australia tentu akan melihat ke arah itu,” katanya.
Tantangan lain datang dari ketersediaan tenaga pengajar. Kepala Pusat Pemberdayaan Bahasa dan Sastra, Iwa Lukmana, mengungkapkan bahwa Australia sedang mengalami krisis guru Bahasa Indonesia.
“Guru-guru di Australia mulai pensiun, sementara belum ada penggantinya. Ini krisis guru,” ungkap Iwa.
Ia menambahkan bahwa persyaratan menjadi guru di Australia cukup ketat sehingga tidak mudah mendatangkan pengajar dari Indonesia. Kondisi ini membuat banyak sekolah dan universitas kesulitan menjaga keberlanjutan program.
Membuka Jalan bagi Masa Depan
Kongres ini diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra bersama Australia–Indonesia Institute (AII). Suasana hangat terasa di antara peserta yang datang dari berbagai wilayah Australia.
Dalam format hybrid, acara ini juga memberi kesempatan bagi para pemerhati bahasa dari Indonesia untuk turut berpartisipasi.
“The first congress. Harapannya ada yang berikutnya. Ini adalah upaya kita menghidupkan kembali semangat berbahasa Indonesia di luar negeri,” ujar Fajar.
Pada akhirnya, kongres ini mengingatkan kembali bahwa merawat bahasa berarti merawat diplomasi.
Dan merawat diplomasi adalah investasi jangka panjang bagi hubungan Indonesia–Australia—hubungan yang terus ditenun melalui kata, makna, dan kerja bersama.
(MS)

