Kata Bali saya rasa sudah sangat familiar di telinga pembaca sekalian. Selain karna destinasi wisatanya yang sangat mendunia, Bali punya sejarah panjang mengenai terbentuknya, asal muasal agama Hindu, penyatuannya dengan NKRI, sejarah masuknya agama Islam dan masih banyak sejarah lainnya.
Dalam tulisan ini saya ingin sedikit memberi tahu pembaca mengenai proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Bali. Minimnya toleransi antar umat beragama di Indonesia juga turut menjadi motivasi saya dalam menulis artikel ini.
Sepertinya kita harus belajar banyak dari persaudaraan umat beragama di Bali yang nantinya saya harap dapat meredam konflik-konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia.
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
Mengenai sejarah masuknya Islam di Bali, masing-masing wilayah memiliki sejarahnya sendiri. Hampir di setiap kabupaten di Bali memiliki ciri khas dalam sejarah masuknya Islam di wilayah tersebut. Untuk itu saya akan menjelaskan secara garis besar saja.
Salah satu dari banyaknya cara Islam masuk ke pulau dewata ialah lewat perantara pengawal. Di beberapa kabupaten seperti Buleleng, Klungkung, dan Tabanan. Kisah ini diceritakan di beberapa hikayat dan peninggalan-peninggalan kerajaan.
Klungkung merupakan daerah pertama yang dimasuki orang Islam berdasarkan sejarah yang ada. Islam masuk ke Klungkung pada abad ke-XVI melalui para pengawal yang mendampingi raja Dalem Ketut Ngelesir untuk kemBali ke tanah Bali selepas hadir dalam acara konferensi yang diadakan Hayam Wuruk (raja Majapahit). Menurut sejarah, pasukan pegawal itu berjumlah 40 orang yang kemudian berperan sebagai abdi dalem di kerajaan Gelgel.
Di Bali, mayoritas kampung-kampung Islam banyak ditemukan di daerah dekat pesisir, yang dalam sejarah Islam di Bali hal ini hadir dari perdangangan dan pelayaran kapal-kapal perang Islam.
Di daerah Jembrana misalnya, asal muasal umat Islam di sana adalah tentara kerajaan bugis yang lari dari penguasaan kompeni belanda. Pemimpin armada yaitu Syarif Abdullah memutuskan untuk bekerja sama dengan raja Jembrana. Raja yang saat itu melihat penjajah belanda sudah memasuki Blambangan (jawa timur) memiliki kekhawatiran sehingga permintaan itupun disetujui oleh raja.
Dari sini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dahulu Islam masuk sebagai Islam yang damai, artinya mereka tidak saedikitpun menampakkan wajah-wajah ekspansi. Ini terbukti dari bergabungnya bekas pengawal dari Majapahit menjadi abdi dalem dalam kerajaan Gelgel, hubungan umat Islam dan kerajaan-kerajaan Hindu saat itu adalah kooperatif, artinya umat Islam saat itu membantu berkembang dan mempertahankan kerajaan dari koloni.
Konsep Menyameselam
Saya sebagai warga Bali asli seringkali mendengar perkatan ini, dalam bahasa Bali Menyameselam berasal dari 2 kata yaitu menyame dan selam. Menyame dalam bahasa Bali artinya bersaudara dan selam adalah sebutan masyarakat Bali kepada umat Islam. Jadi arti dari menyameselam adalah bersaudara dengan orang Islam.
Konsep ini lahir dari sikap umat muslim yang di atas sudah saya jelaskan. Pendekatan kooperatif yang ditonjolkan telah membuat masyarakat Hindu saat itu mempercayai Islam sebagai saudara yang harus dipenuhi hak-haknya sebagaimana saudara kandung.
Islam dapat hidup di Bali tanpa intimidasi dan kekerasan dari mayoritas. Masing-masing agama tidak menunjukkan sifat superior dari masing-masing, melainkan sifat persaudaraan yang saling menguntunggakn layaknya saudara.
Mengapa Umat Islam Tak Mendirikan Kerajaan Sendiri?
Mungkin timbul pertanyaan di kalangan pembaca, kenapa kemudian komunitas Islam di Bali tidak membentuk kerajaan sendiri sebagaimana yang telah terjadi pada kerajaan-kerajaan Islam di jawa dahulu?
Singkatnya, saat itu telah ada percobaan pengislaman dari seorang utusan Mekah. Rencana itupun gagal karna memang pengaruh Hindu saat itu sangat kuat di Bali, belajar dari hal itu para komunitas Islam di Bali memilih untuk hidup berdampingan tanpa mengambil posisi strategis dalam politik di Bali.
Strategi di atas berhasil menjaga eksistensi umat muslim di Bali, yang jika pada awalnya umat Islam memilih mendirikan kerajaan, maka perkembangan umat Islam tidak akan terjadi seperti sekarang.
Taktik yang dilakukan ulama dan pendakwah saat itu sudah sangat tepat, berdakwah dengan jalan kedamaian tanpa menimbulkan konflik sama sekali.
Inilah yang saya rasa harus menjadi pedoman para dai di Indonesia bahwa dakwah bukan hanya dilakukan dengan retorika akan tetapi dengan sifat yang kita munculkan pada masyarakat.
Kala itu, masyarakat Bali melihat bahwa umat Islam yang notabene bukan pribumi Bali rela berjuang mati-matian demi melawan penjajah. Pandangan yang positif inilah yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan umat Islam. Bahkan ada beberapa orang yang masuk Islam saat itu. Teladan yang diberikan umat Islam saat itu menyadarkan masyarakat bahwa umat Islam adalah saudara yang harus dujaga sebaik mungkin.
Kesimpulan
Keputusan yang diambil para ulama dan para muslim pendatang saat itu telah mengajarkan kepada kita bahwa cara berdakwah tidak harus dalam bentuk penguasaan akan tetapi bisa dalam bentuk support terhadap penguasa saat itu.
Namun tetap ranah membantunya tidak mencampuri urusan akidah. Sikap yang cinta damai itu nyatanya lebih efisien dalam berdakwah dari pada membuat kerajaan dengan kondisi Bali saat itu.
Dalam perjalanannya, kita juga bisa mengambil hikmah bahwa toleransi yang baik melahirkan kondisi yang baik pula, umat Islam diuntungkan karna sifat mereka yang kooperatif itu. Umat Hindu yang merasa diuntungkan akhirnya memberikan keuntungan kepada umat Islam berupa tanah dan tempat ibadah
Mereka juga mengajarkan bahwa dakwah bukanlah hal yang instan untuk dilakukan, secara perlahan-lahan perkembangan Islam di Bali mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan perhari ini. Dakwah-dakwah damai saya kira dapat mengokohkan perkembangan umat Islam di Bali. Umat Islam juga harus seantiasa menjaga tali persaudaraan yang sudah dibangun sejak lama oleh para leluhur dahulu yang senantiasa harus dijaga.
Editor: Yahya FR