Tafsir

Sejarah dan Karakteristik Tafsir Aliran Fikih

4 Mins read

Ilmu tafsir dalam perkembangannya tidak akan lepas dari perkembangan dan menyebarnya Islam ke pelbagai wilayah negara setelah pembukaan, hal tersebut secara otomatis berimplikasi pada masuknya orang-orang a’jam (non Arab) ke dalam agama Islam, sehingga mempengaruhi dalam berbagai hal seperti bahasa, dialek, mazhab, serta akidah.

Selain itu, juga banyak kaum musyrik yang dulunya penyembah berhala, kaum Majusi, kaum Nasrani, dan ahli kitab yang masuk Islam. Oleh karenanya, sangat berpengaruh terhadap penafsiran Al-Qur’an, sehingga sumber-sumber penafsiran sangat banyak, metode-metodenya juga bervariasi.

Bahkan dijumpai pula sumber yang baru serta metode yang bermacam-macam. Ditambah munculnya akidah-akidah yang menyimpang seperti Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Sufi, dan sebagainya. Maka dari itu, tidak dapat dielakan bahwa metode dan tujuan para mufassir juga berbeda-berbeda.

Seperti fokus pada kajian tafsirnya yang disesuaikan dengan bidang keahlian seorang mufassir dan lain-lain. Selain itu, dengan berkembangnya berbagai macam ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam, terutama pada periode pertengahan yang berhubungan langsung dengan ilmu keislaman seperti ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan sastra, serta ilmu filsafat.

Ditambah dengan adanya orang-orang tertentu di antara para peminat studi masing-masing disiplin ilmu tersebut yang mencoba menggunakan basis pengetahuannya sebagai kerangka pemahaman Al-Qur’an.

Bahkan ada beberapa di antaranya yang secara sengaja mencari dasar untuk melegitimasi teori-teorinya dari Al-Qur’an. Maka muncullah apa yang kemudian disebut dengan Tafsir Fiqhi, Tafsir Iqtiqadi, Tafsir Sufi, Tafsir Ilmi, dan Tafsir Falsafi.

Pada artikel ini, akan dijelaskan lebih spesifik mengenai aliran tafsir. Khususnya pada aliran tafsir bernuansa hukum (fikih), baik dari segi pengertian, sejarah munculnya, hingga karakteristik penafsirannya.

Pengertian Tafsir Fikih

Secara bahasa, kata tafsir, menurut Ahmad Ibnu Faris di dalam bukunya al-Maqayis fi al Lughah bahwa tafsir adalah kata-kata yang terdiri dari ketiga huruf fa-sin-ra’ mengandung makna keterbukaan dan kejelasan. Dari sini, kata fasara  serupa dengan safara.

Hanya saja yang pertama mengandung arti menampakkan makna yang dapat terjangkau oleh akal, sedang yang kedua, yakni safara, menampakkan hal-hal yang bersifat material dan indriawi.

Baca Juga  Mencari Pendapat Mu’tamad: dari Mazhab Menuju Ijtihad Jama'i

Sedangkan fikih menurut al-Asfahani adalah sesuatu yang menghubungkan kepada ilmu yang tersembunyi (ghaib) dengan ilmu yang nyata (syahid), yaitu lebih khusus kepada pengetahuan.

Adapun tafsir fikih secara istilah menurut Khalil Muhyi al-Din al-Misi dalam mukadimah kitab Jami’ li Ahkam al-Qur’an adalah menetapkan hukum-hukum syariat dari ayat-ayat Al-Qur’an, dan dengan tidak bermaksud meninggalkan semua makna yang bermanfaat dari Al-Qur’an.

Sejarah Muncul dan Berkembangnya Tafsir Aliran Fikih

Sejarah munculnya tafsir bercorak fikih tidak lepas dari kelahiran tafsir itu sendiri. Hal tersebut sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tafsir maupun tafsir bercorak fikih keduanya lahir secara bersamaan.

Dengan demikian, lahir dan munculnya tafsir beraliran atau bercorak fikih sudah dimulai sejak masa Rasulullah Saw. Mengingat beliaulah seorang mufassir pertama dalam sejarah perkembangan tafsir.

Abdullah Abu al-Su’ud Badr menambahkan setelah wafatnya Rasulullah khususnya di zaman para sahabat, penafsiran Al-Qur’an didominasi oleh corak penafsiran fikih. Hal tersebut dapat dilihat dari fuqaha para sahabat sendiri seperti Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Talib, dan lain-lain.

Menurut Abu al-Su’ud hal tersebut sangatlah logis, mengingat kebutuhan zaman saat itu menuntut untuk membentuk gerakan menafsirkan Al-Qur’an dengan corak fikih. Bahkan menurut Manna al-Qattan setelah Rasulullah wafat para fuqaha dari kalangan sahabat mengendalikan umat di bawah kepemimpinan Khulafa’ Rasyidin.

Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka dalam mengistinbatkan hukum-hukum syara’-nya.

Mereka pun sepakat akan hal tersebut, dan jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi dalam memahami sesuatu lafaz.

Meskipun demikian, dengan sedikitnya perbedaan panafsiran di kalangan para sahabat tersebut merupakan awal dari suatu perbedaan pendapat di bidang fikih dalam memahami ayat-ayat hukum. Kemudian, tibalah di masa empat imam mazhab fikih seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal yang penganutnya masih terlihat hingga sekarang.

Baca Juga  Tahlilan itu Bagian dari Tradisi, bukan Syariat Islam
***

Ketika daerah-daerah kekuasaan Islam semakin meluas, banyak pertanyaan menyangkut berbagai persoalan baru meminta kepastian hukum yang tidak ada preseden (contoh) sebelumnya. Dalam keadaan ini, setiap imam mazhab berusaha mencari jawaban dari Al-Qur’an, sunah, dan sumber-sumber lain yang sesuai kaidah universal.

Kadang di antara mereka terdapat kesepakatan ijtihad, terkadang pula perbedaan pendapat. Namun, perbedaan itu tidak menyebabkan fanatisme mazhab. Mereka masih menerima kemungkinan adanya pendapat yang benar dari imam yang lain. Setelah masa imam mazhab datanglah masa taklid dan fanatisme madzhab.

Pada masa ini aktivitas para pengikut imam mazhab hanya terfokus pada penjelasan dan pembelaan mazhab mereka sekalipun harus membawa ayat-ayat Al-Qur’an kepada maknanya yang lemah dan jauh.

Akibatnya, muncullah tafsir fikih yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an kepada pemahaman fiqhiyah.

Karakteristik Tafsir Aliran Fikih

Aliran Tafsir fikih jika dipetakan dalam sejarah perkembangannya terutama dalam ranah penafsiran Al-Qur’an Ia tergolong pada era pertengahan atau era ulama tafsir muta’akhirin atau masuk pada era afirmatif yang berbasis pada nalar idelogis.

Di mana, karakteristik umum penafsiran pada era ini lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, mazhab, atau ideologi keilmuan tertentu, sehingga Al-Qur’an sering kali diperlakukan sekedar sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tersebut.

Hal tersebut dapat dibuktikan dari salah satu tokoh mufassir aliran fikih yaitu al-Jassas yang fanatik dan mendukung mazhab fikihnya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Seperti menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 232:

وَاِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ اَنْ يَّنْكِحْنَ اَزْوَاجَهُنَّ…..

Pada ayat ini, dilihat dari berbagai seginya, al-Jassas menjadikannya sebagai dalil bahwasanya bagi perempuan yang telah jatuh talaq dan telah telah habis masa iddahnya  dan hendak melangsungkan akad nikah, maka tidak mensyaratkan adanya wali juga izin darinya. Dalam hal ini al-Jassas mengggunakan ayat tersebut sebagai dalil untuk memperkuat mazhab hanafiyahnya.

Baca Juga  Imam Ahmad bin Hanbal: Tokoh Pendiri Mazhab Hambali
***

Selain itu, karakteristik yang lain daripada aliran tafsir fikih ini adalah sebagai berikut:

Pertama, jika dilihat dari segi sumber penafsirannya, sumber yang dipakai pada aliran tafsir fikih ini adalah menggunaan tafsir bi al-ma’sur (tafsir bi riwayah), hal tersebut dapat di lacak dan dicari dari beberapa karya mufassir terkenal dalam aliran fikih seperti: al-Jassas, ibn al-‘Arabi, al-Qurtubi, dan Ilkiya al-Harrasi.

Kedua, jika dilihat dari segi metode penafsirannya, metode penafsiran yang dipakai oleh mufassir aliran fikih ini adalah al-tahlily, yaitu menafsirkan Al-Qur’an sesuai urutan mushaf dalam Al-Qur’an, baik dari ayat-ayatnya yang berurutan, satu surah penuh, atau keseluruhan dari ayat Al-Qur’an.

Hal tersebut sebagaimana dapat dilihat dari empat karya mufassir aliran fikih kenamaan sebut saja, al-Jassas, ibn al-‘Arabi, al-Qurtubi, dan Ilkiya al-Harrasi.

Ketiga, jika dilihat dari sistematika penyusunan tafsirnya, sistematika yang digunakan oleh para mufassir aliran fikih ini adalah menggunakan sistematika tartib al-mushafi. Yaitu yang penyusunannya sesuai berdasarkan urutan surah dan ayat mushaf Al-Qur’an seperti sekarang ini, atau biasa disebut dengan mushaf ustmani.

Editor: Yahya FR

Ahmad Agus Salim
24 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds