Perspektif

Sejarah Haji Indonesia (1): Muhammadiyah Pelopor Perbaikan Haji

3 Mins read

Sejarah orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah al-Mukarramah telah berlangsung semenjak berabad-abad silam. Jalur maritim Kepulauan Nusantara, Teluk Persia dan Laut Merah telah dikenal sejak dahulu kala. Berbagai sumber menyebutkan bahwa sejak dibukanya Terusan Suez tahun 1869, waktu yang ditempuh dalam transportasi laut dari Indonesia ke Jeddah menjadi lebih cepat dan lebih murah serta  relatif menguntungkan dari segi keamanan pelayaran. Sebelum ada kapal uap, perjalanan jemaah haji Indonesia untuk sampai ke Jeddah mengarungi lautan dilakukan dengan kapal layar.

Prof. Dr. Deliar Noer dalam buku Administrasi Islam Di Indonesia (Jakarta: CV. Rajawali, 1983) menyebutkan di antara negeri-negeri bukan Arab, Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jemaah haji. Di masa penjajahan Belanda tahun kemuncak ialah tahun 1926/1927 ketika sekitar 52.000 orang pergi ke Mekkah. Gelar haji dipandang sebagai gelar terhormat dan umumnya mereka memakai jubah atau serban. Nasihat-nasihat para haji diperhatikan oleh masyarakat dan ketaatannya beribadah dijadikan contoh.

Semenjak berkuasanya Gubernur Jenderal Daendels, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan ordonansi (regulasi) mengenai perjalanan haji. Dalam ordonansi haji 1859 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan persyaratan berangkat haji harus mempunyai cukup uang untuk membiayai perjalanan ke Mekkah. Persyaratan itu dibuktikan dengan jaminan dari Bupati bahwa calon haji yang akan memperoleh paspor/pas jalan memiliki uang untuk membiayai perjalanan dan kebutuhan hidup keluarga yang ditinggalkannya. Perkembangan lebih lanjut ordonansi haji menjadi alat pemerintah kolonial untuk memantau aktivitas keagamaan para haji. 

Kenyataannya bahwa ibadah haji memberi pengalaman spiritual luar biasa yang bersifat personal kepada pelakunya. Kalau diamati lebih jauh, ibadah haji mempertebal rasa persaudaraan di antara sesama muslim sebangsa, setahah air dan sedunia. Sejarah mencatat bahwa gerakan pembaharuan dan pemberontakan terhadap penjajahan sebagian besar digerakkan oleh kaum agama terutama dipelopori oleh para haji dan ulama muda yang pulang dari Mekkah. Perjalanan haji ke Mekkah mendorong transformasi sosial dan kesadaran politik-nasionalisme umat Islam Indonesia dalam napas semangat keagamaan.

Baca Juga  Islam Berkemajuan untuk Generasi Milenial: Seruan Sang Muazin Bangsa

Berkumpulnya jemaah haji dari seluruh pelosok dunia Islam di Mekkah dan Padang Arafah dipandang sebagai Kongres Islam Sedunia. Penasihat pemerintah kolonial C. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa musuh pemerintah Belanda bukanlah Islam dalam arti ibadah, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Orientalis dan ilmuwan Belanda itu memberikan saran garis kebijakan politik yang berbeda terhadap umat Islam di Hindia Belanda.    

Muhammadiyah: Perbaikan Perjalanan Haji

Jemaah haji Indonesia di masa lalu pada umumnya orang-orang yang sangat sederhana dan tidak banyak tuntutan. Ketika mau berangkat haji yang terbayang oleh mereka ialah pengorbanan tenaga, pikiran dan harta benda.

Perbaikan perjalanan haji pertama kali diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia melalui Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji diketuai oleh K.H.M. Sudja’ pada 1921. PB Muhammadiyah mengirim utusan ke Arab Saudi dan memberikan saran-saran perbaikan kepada pihak yang berwenang. Bagian Penolong Haji membentuk Komite Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia beranggotakan para ulama dan kaum cendekia. Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi Minangkabau tahun 1930 merekomendasikan agar mengadakan pelayaran sendiri untuk pengangkutan jemaah haji Indonesia.

Mengutip Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Kementerian Agama RI, 1957), selama masa pendudukan Jepang dan masa revolusi kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, tidak ada kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Kendala utamanya adalah tidak ada sarana transportasi massal dan faktor keamanan dalam perjalanan. Rakyat saat itu sedang berjihad melawan Belanda yang hendak kembali menjajah tanah air Indonesia. Ulama besar Hadratussyaikh K.H. Hasjim Asy’ari (Ketua Majelis Syura Masyumi dan pendiri Nahdlatul Ulama) mengeluarkan fatwa tidak wajib haji bagi orang Indonesia saat itu. Kementerian Agama menyiarkan fatwa K.H. Hasyim Asy’ari kepada seluruh penduduk dan umat Islam Indonesia. Penghentian perjalanan haji sekaligus sebagai boikot terhadap Belanda yang saat itu menguasai armada pelayaran yang digunakan untuk mengangkut calon jemaah haji.

Baca Juga  Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?

Dalam masa revolusi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengirim  dua kali misi haji ke Arab Saudi. Misi Haji I tahun 1948 terdiri dari K.H.R. Muhammad Adnan, Ismail Banda, K.H.M. Saleh Suaidy dan H. Syamsir. Misi Haji I merupakan perutusan resmi haji Indonesia yang pertama sesudah Perang Dunia Kedua.Misi Haji II tahun 1949, terdiri dari H. Abd Hamid, M. Noor Ibrahimy. Prof. Ali Hasjmy, Prof. Abdul Kahar Mudzakkir, dan H.Sjamsir. Misi Haji RI mengemban tugas peribadatan dan diplomasi dalam kerangka perjuangan kemerdekaan Indonesia menentang penjajahan.

Pada musim haji tahun 1950 atau setelah pengakuan kedaulatan pemerintah memberangkatkan jemaah haji menggunakan sarana transportasi kapal laut dengan kotum 10.000, sementara yang terisi kurang lebih 9.907 jemaah haji. Pada waktu kapal haji yang pertama “Tarakan” hendak berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim dalam acara pelepasan jemaah haji berpesan kepada kapten kapal, “Saya percayakan keselamatan jemaah haji ini kepada Tuan. Saya harap mereka mendapat pelayanan yang sesuai dengan kehormatannya.” (Bersambung)

Editor: Yusuf

M Fuad Nasar
15 posts

About author
Akitivis zakat. Penulis buku Fiqh Zakat Indonesia yang diterbitkan BAZNAS tahun 2015. Anggota Tim Editor Buku Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra (2015/2016)
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds