Perspektif

Sejarah Kelam Politisasi Agama Islam

4 Mins read

Dengan predikat sebagai negara paling religius yang disematkan oleh Pew Research Center (2020), adalah maklum mendapati hilal tahun politik kita di Indonesia selalu ditandai dengan maraknya politisasi agama. Agaknya para politisi mengerti betul itu, dengan kondisi Indonesia hari ini, agama tak ubahnya pundi-pundi suara, semakin citra dan simbol agama melekat di diri mereka, semakin banyak suara yang mereka bisa dulang di hari pencoblosan.

Politisasi agama itu, pada gilirannya punya andil yang besar mensakralisasi politik di pikiran masyarakat kita yang religius bukan kepalang. Alhasil, tahun politik tak ubahnya seperti seremonial agama, kertas- kertas suara jadi identik dengan lembaran kitab suci yang dipercaya bakal membawa mukjizat perubahan, sebagaimana mereka yang balihonya baris- berbaris di sepanjang jalan, kemudian didaulat tak ubahnya seperti juru penyelamat di akhir zaman, padahal cuma lima tahunan. 

Calonnya sama-sama muslim, dengan pemilih yang juga muslim, namun tatkala sampai di surat suara, mengapa mendadak ada yang dianggap dan menganggap diri paling mewakili Islam. Itulah buah dari kesakralan politik. Garis yang tegas antara politik dan agama mulai memburam, politik dianggap agama, agama adalah politik, kebingungan semacam itulah yang sulit diurai di kepala masyarakat kita saat ini.

Muhammad Emara: Melacak Akar Sakralisasi Politik

Adalah Muhammad Emara, seorang anggota badan ulama besar al-Azhar, yang lewat penelitiannya, al- Daulah al-Islāmiyyah baina al-Ilmāniyyah wa al-Sulthah al- Dīniyyah (1988) coba mengurai kebingungan itu, dengan mula-mula melacak akar historis fenomena sakralisasi politik yang diistilahkannya dengan politik mengatasnamakan Tuhan (bismillah).

Ternyata akar historisnya bisa dijejak dari peradaban Mesir kuno, yang mana dengan dalih hubungan spesial dengan para dewa, para Fir’aun yang berkuasa memaksa rakyat membangun kuburan-kuburan yang kemudian kita kenal sebagai Piramida, yang dipercaya bakal menjamin jiwa-jiwa mereka para penguasa tetap tenang saat dibangkitkan setelah mati nanti. Rakyatnya mungkin percaya tidak percaya, namun karena ini perintah langsung dari perwakilan dewa, apalah daya.

Baca Juga  Untuk Para Khatib, Mari Berbenah

Fenomena yang sama terjadi di Persia, saat para Kisra, dengan dalih hubungan spesial mereka dengan Ahuramazda yaitu Tuhan tertinggi dalam kepercayaan Zoroaster, mengaku berhak memiliki otoritas menyuruh atau pun melarang. Maka undang-undang yang mereka berlakukan sesakral hukum langit, melanggarnya adalah melawan Tuhan. Politik mengatasnamakan Tuhan inilah juga yang pada akhirnya membuat selalim apapun, dan serusak apapun laku mereka para Kisra, mereka selalu punya legitimasi untuk berbuat apa saja.

Tidak jauh berbeda dengan Mesir Kuno, Eropa pada abad pertengahan juga mengalami hal yang sama tatkala Romawi resmi menjadikan Kristen sebagai agama resmi kekaisaran, para kaisar mendapat legitimasi dari paus, sebagaimana sebaliknya para paus mendapat legitimasi dari kaisar untuk memonopoli pemahaman keagamaan bahkan pemahaman tentang ilmu pengetahuan. 

Masyarakat Eropa membayar harga yang mahal disebabkan perselingkuhan agama dan politik tersebut. Penindasan demi penindasan diberlakukan hingga menyulut dendam. Hingga pada zaman kebangkitan, pencerahan, dan abad modern, era tersebut secara latah disebut oleh mereka sebagai abad kegelapan.

***

Kita mungkin memandang fakta- fakta sejarah tersebut begitu asing, tapi Emara melanjutkan ceritanya tentang seorang Muāwiyah bin Abī Sufyān, ya sahabat besar itu, yang pernah dikecam sebab memandang harta rakyat adalah harta Allah, dan karena ia seorang khalifatullah, ia merasa berhak menggunakan harta negara sekehendaknya. Muawiyah merepresentasikan dirinya sebagai wakil Tuhan untuk melegitimasi kepentingan politiknya. 

Hal serupa juga dapat ditemukan dalam persekusi yang dawam terhadap tokoh-tokoh intelektual semisal Ibn Rusyd, tatkala filsafatnya diharamkan, buku- bukunya dibakar, sampai akhirnya diasingkan ke sebuah antah barantah bernama Lucena di Cordoba yang dihuni banyak Yahudi. Semua tidak lebih disebabkan oleh politisasi agama penguasa di zamannya melalui legitimasi para ahli fiqih yang memonopoli tafsir keagamaan lewat kekuasaan.

Baca Juga  Genghis Khan's Guide To Travel Excellence

Kritik untuk Kaum Islamis

Maka lewat cacat sejarah itu, Emara ingin meluruskan kembali posisi Islam sebagai agama dan relasinya dengan politik. Kritiknya utama sekali tertuju pada kaum islamis, yang memperjuangkan berdirinya negara Islam, yang seringkali jatuh dalam praktik politisasi agama yaitu bentuk malu- malu dari praktik politik mengatasnamakan Tuhan, demi meraup suara. 

Rasanya pemaparannya yang berikut ini semakin relevan di tengah kondisi masyarakat kita yang tengah dimabuk tahun politik. Berangkat dari sumber-sumber primer teologi Islam, pertama- tama Emara ingin kita tahu bahwa politik (siyāsah), kepemimpinan (imāmah)khilāfah dan istilah lain semisalnya bukanlah unsur fundamental dalam agama. Politik hanyalah perkara cabang (furu’) dalam Islam, maka tidak semestinya digebyah-uyah berlebihan.

Pandangan ini, menurutnya dikonfirmasi oleh semua aliran pemikiran Islam yang utama, kecuali Syi’ah yang menjadikan imāmah bagian dari rukun. Maka, Muktazilah berpendapat bahwa khaliīfah atau Imām dipilih untuk kemaslahatan duniawi bukan agama. Masih senanda, Asy’ariyyah juga memandang bahwa otoritas politik, negara dan pemerintahan bukan bagian fundamental agama, ia berpulang pada kemaslahatan umum.

*** 

Sedangkan Khawārij memandang bahwa imāmah referensinya adalah nalar (ra’y) bukan dari Al-Qur’an dan Sunnah. Begitu pun Salafiyyah, ashāb al-hadīts, yang membedakan syariah dan politik. Syariah adalah tujuan, sedangkan politik adalah jalan, cara, dan wasilah. Maka selama sampai pada tujuan syariatnya, yaitu terciptanya keadilan dan kemaslahatan bersama, apapun dan bagaimanpun politik seorang politisi, apapun sistem dan kebijakannya mestilah dititi. 

Dari sinilah juga, Emara mengkritik nalar Islamis yang terlalu berlebihan menaruh perhatian pada formalisasi syariat. Terfokus pada bentuk kongkrit, bukan semangat yang menjiwai syariat itu sendiri sebagai tujuan. Maka sebagai pamungkas, Emara pun menulis, bahwa politik dalam Islam sejatinya adalah apa saja yang merupakan bagian dari perbuatan- perbuatan yang dengannya manusia jadi lebih dekat pada kebaikan (shalāh) dan lebih jauh dari kerusakan (fasād), apapun itu tanpa perlu lebel islami yang mengatasnamainya.

Baca Juga  Di Tangan Buzzer, Agama Hanya Jadi Masalah!

Pada tahun 2020 lalu Dr. Mohamed Emara meninggal dunia, dan salah satu peninggalannya yang paling berharga boleh jadi adalah pesan politiknya yang tersirat dalam bukunya yang berjumlah 236 halaman itu. Yaitu untuk tidak tertipu dengan mereka para politisi yang ‘berbismillah’ dalam politiknya, namun sejatinya politiknya hanyalah atas nama kemaslahatan diri dan segelintir kelompoknya, yang lebih mendekatkan kita pada kerusakan, dan semakin membuat kita jauh dari kebaikan.

*Artikel ini merupakan hasil kerjasama antara IBTimes.ID & INFID

Editor: Yahya FR

Faris Ibrahim
13 posts

About author
Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir I Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds