Filsafat dan Islam
Filsafat Islam | Abad ke delapan hingga ke sebelas Masehi, merupakan waktu yang krusial bagi pematangan peradaban intelektual Islam. Ilmu dan agama berinteraksi secara dinamis dengan unsur-unsur politik dan sosial turut mengambil peran.
Posisi yang relatif setara awalnya dimiliki baik oleh ilmu pengetahuan yang diwakili oleh filsafat serta agama yang diwakili para ulama fiqih pada masa-masa pemerintahan Khalifah Umayah hingga Abasyiyah awal. Akan tetapi selepas, Al-Ma’mun keseimbangan itu mulai runtuh.
Ulama mampu meraih hati masyarakat luas, setelah sebelumnya mereka tersisih dari kekuasaan. Filsuf yang elitis dan menikmati terlalu banyak keuntungan karena keberpihakan politik dari penguasa kemudian gagal memberi respon secara efektif.
Mihnah yang pernah dilakukan untuk menindas kaum literalis Islam, kemudian berbalik menyerang para rasionalis. Mu’tazilah sebagai kutub lain dalam pemikiran adalah yang paling pertama hancur, hingga kini keberadaannya sebagai sebuah kolektif sudah sulit ditemukan.
Al-Ghazali dan Serangan Telak
Pukulan telak terakhir dilayangkan oleh Al-Ghazali. Kitab-kitabnya seperti Al-Munqidh, dan Tahafut Al-Falasifah merupakan dua karya yang menghantam filsafat. Masalahnya bukan sekedar ajaran filsafat yang dikritik.
Setiap tokoh-tokoh besar yang melakoni jalan filsafat dikritiknya sebagai zindiq. Mereka sesat dan bahkan kafir karena dua puluh hal, salah satunya yang paling banyak diuraikan dalam Tahafut adalah menyatakan alam sebagai dzat yang sama abadi seperti Tuhan.
Demikian pula dalam Al-Munqidh, Al-Ghazali mengkritik keras filsuf karena memposisikan nalar dan pembuktian demonstratif (utamanya melalui matematika dan logika) sebagai sumber pengetahuan utama.
Menurut Al-Ghazali, rasio manusia rentan akan kekeliruan, bias. Hanya Al-Qur’an yang dibaca dengan intuisi manusia yang bersih lagi suci yang lebih layak menjadi sumber ilmu pengetahuan baginya.
Puncaknya, tidak tanggung-tanggung Al-Ghazali kemudian melarang muslim belajar filsafat. Dikatakan olehnya, bahwa filsafat adalah racun. Dan melarang setiap muslim untuk mengonsumsinya merupakan kewajiban.
Kebangkitan Ilmu Agama
Tentu Al-Ghazali tidak meninggalkan muslim dalam kekosongan. Dalam karya magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, ia menyatakan kembalinya ilmu-ilmu agama sebagai ilmu utama yang harus dipelajari.
Filsafat diharamkan, namun sebagian ilmu praktisnya (seperti matematika dan astronomi) dapat dipelajari. Tentu Al-Ghazali paham bahwa ilmu-ilmu itu sangat membantu kehidupan muslim.
Karya itu pula merangkum berbagai topik-topik luas dalam Islam. Dari iman, fiqih, hingga tasawuf. Sebagian ulama menjuluki Al-Ghazali sebagai ulama besar yang hadir seribu tahun sekali, sang Hujjatul Islam. Kitabnya, Ihya.., dielu-elu sebagai kitab yang… “semisal hilang semua kitab agama, maka Ihya telah mencukupi”.
Tahafut At-Tahafut
Setelah beberapa dasawarsa, seorang ulama yang juga filsuf besar Cordoba memberikan respon kepada Al-Ghazali.
Dalam Tahafut At-Tahafut, Ibnu Rusyd menjawab satu persatu poin-poin kerancuan filsuf menurut Al-Ghazali. Kritik utamanya bahwa Al-Ghazali seperti orang buta yang sedang memanah. Ia menyebut pemikiran filsuf secara umum padahal senyatanya para filsuf tidak menyepakati demikian.
Karenanya Ibnu Rusyd menyimpulkan bahwa kerancuan utama bukan terletak pada filsuf, melainkan pada Al-Ghazali sendiri. Al-Ghazali tidak bisa membedakan mana yang memang pemikiran para filsuf dan mana yang bukan namun pada akhirnya tetap ia yakini demikian.
Ibnu Rusyd kemudian menyatakan bahwa filsafat adalah suatu ilmu yang kompleks dan musti dipelajari secara sistematis. Kegagalan untuk membaca secara holistik akan membuat seseorang tersesat dan tidak memahami pelajaran yang terdapat dalam filsafat.
Paling penting lagi menurut Ibnu Rusyd bahwa tidak semua orang bisa belajar filsafat. Sebagian ada yang dikaruniai dengan akal yang lebih unggul, karenanya belajar filsafat merupakan kewajiban. Sedangkan bagi awam yang berkapasitas rendah, Ibnu Rusyd bersepakat untuk melarang pembelajaran filsafat.
Fashlul Maqal
Selain Tahafut At-Tahafut, Ibnu Rusyd memandang bahwa ia masih perlu untuk menambahkan argumen lain mengenai kebolehan dan bahkan kewajiban belajar filsafat. Untuk itu, dia menulis pula kitab Fashlul Maqal.
Dalam kitab itu Ibnu Rusyd menyatakan bahwa filsafat selayaknya sebuah alat atau senjata. Apabila seseorang menyebabkan musibah bagi yang lain karena alat itu, misalnya seperti membunuh dengan pisau, bukan berarti alat itu kemudian harus dilarang untuk digunakan sama sekali.
Filsafat sebagai sebuah alat harus diposisikan sebagaimana dirinya. Bahwa selama alat itu digunakan oleh orang yang tepat untuk tujuan yang tepat, maka tidak masalah untuk menggunakan alat itu.
Malahan menurut Ibnu Rusyd, filsafat adalah alat analisis yang sangat dibutuhkan muslim untuk semakin memahami Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya. Jika demikian maka, tambahnya, mempelajari filsafat menjadi wajib.
Ibnu Rusyd juga mengkritik pelarangan Al-Ghazali kepada muslim untuk tidak mempelajari filsafat. Menurut Ibnu Rusyd, argumen Al-Ghazali bahwa filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi kehilangan kesalehan dan tenggelam dalam duniawi adalah sesuatu yang kebetulan.
Bagi Ibnu Rusyd, jangankan filsafat dan para filsuf, para ahli fiqih juga banyak yang kemudian menjadi kafir oleh ilmunya. Namun, bukan berarti kemudian fiqih dilarang dipelajari sepenuhnya. Maka tidak melarang bahkan menganjurkan fiqih mustinya juga berlaku pada filsafat.
Kekalahan Filsafat dalam Peradaban Islam
Usaha dari Ibnu Rusyd untuk mempersuasi umat muslim rupanya gagal. Tahafut At-Tahafut tidak mendapat penerimaan yang luas. Sedikit, untuk menghindari dari mengatakan tidak ada sama sekali yang mengulas argumen-argumennya. Menariknya, begitu pula nasib Tahafut Al-Falasifah yang menjadi objek kritik Ibnu Rusyd.
Namun karya Al-Ghazali yang lain, Ihya Ulumuddin malah menjadi karya yang masyhur dikaji. Di situ pula, Al-Ghazali melancarkan penolakan terhadap filsafat, yang meski singkat namun nampaknya lebih banyak berpengaruh kepada kesadaran muslim.
Penjelasan lain menyatakan bahwa secara geografis posisi Ibnu Rusyd di Barat Islam atau Cordoba membuat karyanya lebih banyak berpengaruh kepada dunia Barat Kristen ketimbang Islam.
Pun, secara politis keberpihakan Ibnu Rusyd kepada filsafat ternyata berujung kepada persekusi hingga kematian yang menyedihkan dialaminya. Ia menikmati hari tua di rumah tahanan dan jasadnya kemudian dipindahkan sembari menjadi penyeimbang buku-buku di sisi lain kuda tunggangan.
Al-Ghazali sendiri adalah rektor dari madrasah nizhamiyah yang kelak menjadi blueprint bagi pengembangan secara masif madrasah-madrasah sunni lain bahkan pesantren di dunia modern. Tentu, dalam madrasah-madrasah itu filsafat diposisikan sebagai ilmu yang diharamkan atau paling tidak diabaikan.
Bukti terbaru dari disertasi Eric Chaney di Harvard menunjukkan bahwa sejalan dengan berkembangnya jumlah madrasah-madrasah itu, maka semakin sedikit pula karya-karya filsafat yang diproduksi.
Dalam analisisnya bahkan terdapat korelasi negatif, di mana sementara filsafat meredup, kajian keagamaan meningkat tajam.
Henry Corbin menolak tesis kematian filsafat dalam Islam dengan menyebutkan bahwa filsafat pada akhirnya berhasil di integrasikan di Iran. Di sana, Suhrawardi memproduksi sintesis antara teologi dan filsafat menjadi apa yang disebutnya teosofi.
Namun bagaimanapun juga, kenyataannya pemikiran Suhrawardi lebih banyak berpengaruh di kelompok Syiah. Yang mana kita tahu merupakan Islam minoritas yang cenderung tertutup dari peradaban Islam sunni yang mayoritas. Demikian lah akhir nasib filsafat dalam Islam.
Editor: Yahya FR