Di awal sejarah pembentukan Muhammadiyah, mereka telah menegaskan dirinya sebagai organisasi Islam yang terbuka. Sebelum Muhammadiyah berdiri pun, Kiai Haji Ahmad Dahlan selaku pendiri memiliki pemikiran yang inklusif dalam menanggapi berbagai macam isu yang beredar dalam kaum kebangsaan pada masa itu. Kiai Haji Ahmad Dahlan pun tidak canggung saat memutuskan bergabung dengan Budi Utomo, sebuah perkumpulan kaum bangsawan Jawa dan peawai negeri pada masa itu, sebagaimana beliau pun ikut serta dalam Sarekat islam maupun Jam’atul Khair.
Bahkan Budi Utomo yang ikut membantu Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Kiai Haji Ahmad Dahlan bekerja sama pula dengan dokter Soetomo dan dokter-dokter Belanda lainnya untuk mengoperasikan rumah sakit dan klinik yang dimiliki Muhammadiyah di masa awal. Ide-ide pembaharuan Kiai Dahlan di masa awal pun mengadopsi dari apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Eropa seperti pendirian panti asuhan, panti jompo dan rumah sakit.
Dalam dokumentasi sejarah Muhammadiyah, saat membahas siapa yang berhak menjadi sekutu Muhammadiyah, Muhammadiyah menegaskan bahwa organisasi ini siap bekerja sama dengan siapa saja. Siapa pun bisa menjadi donator Muhammadiyah, tiada dipandang agamanya maupun suku bangsanya (Statuten dan Algeemenehuishoudelij Reglement dalam Mulkhan, 2010 : XXXI).
Sejarah Muhammadiyah dengan Berbagai Golongan
Mulkhan lebih jauh mengetengahkan sebuah dokumen yang diterbitkan oleh PP Muhammadiyah tahun 1977 yang menyatakan bahwa anggota Muhammadiyah terdiri dari beragam kalangan seperti kalangan priyayi, kalangan nasionalis, kalangan Cina, golongan miskin, buruh batik, pekerja sosial yang dengan bergabung bersama Muhammadiyah terangkat derajatnya.
Tokoh awal dalam sejarah Muhammadiyah yang memiliki pemikiran terbuka untuk mengintensifkan hubungan dengan etnis Tionghoa adalah Kiai Haji Ibrahim, ketua Hoofdbeestuur Muhammadiyah pengganti Kiai Haji Ahmad Dahlan. Haji Abdul Karim Oey mencatat dalam autobiografinya bahwa Kiai Ibrahim memberinya mandat untuk berdakwah kepada golongan etnis Tionghoa. Kiai Ibrahim melihat potensi besar yang ada dalam etnis Tionghoa.
Potensi itu terletak pada potensi ekonomi dan potensi sumber daya manusia yang jika dimanfaatkan untuk Islam akan menjadi sebuah kekuatan dahsyat. Namun Kiai Ibrahim pun sadar, untuk mendekati etnis Tionghoa harus dilakukan oleh orang Tionghoa sendiri karena resistensi mereka terhadap orang yang berada di luar suku mereka.
Secara nasional, Muhammadiyah dalam catatan sejarahnya telah melakukan kerja sama yang baik dengan etnis Tionghoa. Kwartananda (2010) mencatat bahwa terjadi hubungan yang baik antara Muhammadiyah dan etnis Tionghoa di Yogyakarta pada masa kolonial.
Muhammadiyah sering mendapatkan bantuan dana dari orang Tionghoa di Ngabean, daerah di mana Muhammadiyah bermarkas huru-hara yang terjadi di Kudus tahun 1918 membuat Muhammadiyah menjalin kerjasama dengan organisasi Tionghoa di Yogyakarta dan Insulinde, perkumpulan multiras di bawah pimpinan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Perkumpulan tersebut didirikan untuk membentuk suatu front bersama demi memajukan hubungan baik di antara ras. Selain itu, terbitan tahunan berupa Almanak Muhammadiyah banyak diisi iklan yang dipasang oleh pengusaha Tionghoa dari berbagai tempat.
Komite Pencegah Penghinaan, Kolaborasi Muhammadiyah dengan Etnis Tionghoa
Pada tahun 1925 terjadi suatu persekutuan antara Muhammadiyah dengan Tionghoa Yogyakarta melawan penerbit Belanda, Buning (Alfian, 1989: 206-07). Dalam salah satu terbitannya, Buning memuat “Serat Darmogandul” yang isinya di satu pihak menghina Islam dengan menuduh Islam menghancurkan eksistensi Majapahit dan memunculkan kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Sedangkan di sisi lainnya menjelekkan Tionghoa, karena ibu dari Raden Patah, raja pertama Demak, adalah ‘Putri Cina’ Secara tidak langsung orang Tionghoa dituduh ikut berperan menghancurkan Majapahit.
Seorang Tionghoa melapor soal terbitan ini ke tokoh Muhammadiyah, yang lalu membawanya ke Kongres Muhammadiyah, di Yogyakarta. Akhirnya disepakati kedua belah pihak mendirikan “Comite Penjegah Penghinaan”, di bawah pimpinan H. Soedja dan seorang Tionghoa. Penerbit Buning akhirnya meminta maaf dan menarik terbitan yang kontroversial tersebut. Di akhir dekade 1920-an, dalam rangka menyebarkan dakwah di kalangan Tionghoa, muncul ide dari Muhammadiyah untuk membuat sekolah dasar Tionghoa berdasarkan Islam (HCS met de Koran). Namun oleh karena berbagai kendala, proyek ini tidak pernah terwujud.
Orang Tionghoa sebagai penyumbang dana dan sebagai donator dalam kegiatan-kegiatan amal yang dilakukan oleh Muhammadiyah telah berlangsung lama. Weng memberikan alasan bahwa terdapat hubungan yang saling menguntungkan dalam sejarah Muhammadiyah dan hubungannya dengan etnis Tionghoa dari relasi tersebut. Muhammadiyah mendapatkan kucuran dana untuk memuluskan gerakan amalnya sedangkan di satu sisi etnis Tionghoa mendapatkan keamanan dari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan (Weng, 2019).
Hubungan timbal balik ini berlangsung hingga sekarang, seperti bantuan dari Bank Sinar Mas untuk pembangunan madrasah Mualimin Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa Sinar Mas milik Eka Tjipta Lesmana, pengusaha keturunan Tionghoa. Selain hubungan antara lembaga dan lembaga, hubungan antara individu dan lembaga serta hubungan antara individu dengan individu pun masih terus berjalan dengan baik. Walau demikian, hubungan tersebut senantiasa dihantui dengan kecurigaan-kecurigaan akibat kepentingan politik dan persaingan ekonomi.
Relasi tersebut seperti contoh adalah hubungan antara Buya Hamka dan beberapa orang dari etnis Tionghoa. Hamka sempat mengangkat anak yang baru masuk Islam dan diberi nama Jusuf Hamka. Selain itu pada kurun 1970an – 1980an, Hamka sangat dekat dengan PITI, organisasi Islam Tionghoa di mana gelombang masuk Islam etnis Tionghoa pada periode ini sedang pasang naik.
Hubungan saling dukung dan saling membantu Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya seperti NU di era reformasi nampak pada pemberdayaan Masjid Cheng Hoo. Beberapa tokoh Muhammadiyah seperti ketua PWM Jawa Timur Dr K.H. Saad Ibrahim, MA dan Prof. Dr Syafiq Mughni tercatat sebagai Dewan Pelindung dan Pembina Masjid Cheng Hoo Surabaya.
Tidak hanya menjalin relasi, beberapa dari tokoh Tionghoa bergabung dengan Muhammadiyah. Beberapa tokoh tersebut seperti Abdullah Tjan selaku inisiator gerakan Muhammadiyah di Maluku dan Abdul Karinm Oey di Bengkulu, bahkan ketika menjadi ketua cabang Muhammadiyah Kaur, beliau menarik seorang anak Tionghoa bernama Tjong A Tjin yang menjadi aktivis Hizbul Wathon lalu melanjutkan studinya ke Sumatera Thawalib, Padang. Jejak Oey dilanjutkan oleh anak kandungnya Ali Karim Oey yang sempat menjadi anggota majelis ekonomi PP Muhammadiyah dan sampai saat ini aktif mengembangkan Yayasan Haji Abdul Karim Oey dan fokus pada pemberdayaan Tionghoa Muslim.