Saya belum membaca buku Virdika Rizky Utama, wartawan Narasi TV tersebut. Dari beberapa resensi yang telah ditulis, termasuk oleh guru Hairus Salim di Mojok setidaknya memberikan peta dan alur bagaimana isi buku Menjerat Gus Dur secara garis besar.
Namun, pertanyaan penting yang dapat diajukan di sini adalah, “Sejauh mana buku tersebut memiliki pengaruh dan dampak kuat di masyarakat?” Maksud masyarakat di sini, juga termasuk elit politik kita. Perihal pertanyaan ini penting diajukan di tengah tipikal media sosial yang sedang tumbuh di Indonesia; memiliki kecepatan, masif, dan sekaligus cepat menghilang.
Gejala Viral
Dalam media sosial, ada istilah ungkapan baru yang menjadi bagian dari gejala konsumsi masyarakat digital, yaitu viral. Dimaksud viral adalah informasi mengenai peristiwa itu tersebar luas dan menjadi perhatian publik untuk dibicarakan sekaligus juga diwacanakan kembali.
Kondisi viral ini seperti virus, ia bisa menjalar sangat cepat dan berdampak kepada orang banyak. Dengan kata lain, viral dan bagaimana rantai informasi itu bergerak cepat dalam media sosial bisa sampai begitu masif hingga mencapai pengguna telepon genggam secara personal.
Di tengah lautan informasi yang terus membludak sampai di layar kaca telepon genggam, kondisi itu tidak bisa bertahan lama. Dengan hanya waktu seminggu peristiwa yang viral tersebut bisa berganti dengan informasi lainnya, memiliki tautan, baik skala lokal, nasional, dan internasional.
Sebaliknya, peristiwa yang viral itu sangat mungkin bertahan apabila ada semacam rekayasa sosial seperti konteks kasus Ahok; ada yang menggerakkan di ranah online dan kemudian bertautan dalam ranah offline melalui aksi demonstrasi. Tentu saja, dalam melakukan itu, tidak sedikit uang yang dikeluarkan.
Nasib Buku Menjerat Gus Dur
Namun, jika hanya dilakukan secara kerelaan individual untuk membicarakan dan menyebarkan informasi mengenai buku itu, saya yakin, ia akan berumur pendek. Kondisi kemudian bisa diperparah dengan diamnya para elit politik yang disebutkan nama-namanya dalam buku tersebut. Tidak terhubungnya buku tersebut dengan talkshow yang selalu menjadi pembicaraan publik seperti Mata Najwa dan ILC juga menambah pendeknya umur isu dalam buku ini.
Di sisi lain, jika pembaca yang mengkonsumsi buku-buku tersebut kebanyakan dari latar belakang NU sendiri, buku tersebut hanya melingkar dalam komunitas yang terbatas di tengah keseragaman ormas dan komunitas lain. Sementara, jika berharap kepada komunitas akademisi, buku tersebut akan bersuara dan diartikulasikan kembali ke medium yang relatif sunyi dari pembaca, seperti jurnal.
Karena itu, membicarakan buku tersebut dari spektrum lebih luas menjadi penting. Di sini, melihat kejatuhan Gus Dur melalui konspirasi terencana dari kacamata NU dan Gusdurian saja tidak cukup membuat buku ini menjadi refleksi bersama. Sebaliknya, buku ini justru harus bisa memperluas audiens bahwa ini semata-mata bukan hanya mengenai Gus Dur sebagai figur yang dihormati dalam internal NU. Melainkan adanya pembajakan demokrasi yang dimainkan oleh para elit politik yang memiliki irisan dengan oligarki.
Di sini, isu-isu hak asasi manusia, pembelaan masyarakat sipil dan minoritas, dan penguatan demokrasi dengan membatasi gerak peranan militer dikebiri seiring dilengserkannya Gus Dur. Dengan kata lain, penjatuhan Gus Dur adalah semacam dalih besar bagaimana transisi demokrasi kita berjalan mundur.
Cara Lain Mengenal Gus Dur
Dengan membuka spektrum luas mengenai buku ini, orang-orang yang tidak memiliki irisan yang kuat dengan Gus Dur dan NU setidaknya memiliki tarikan nafas yang sama. Bahwasanya persoalan pedongkelan Gus Dur adalah bagian sejarah hitam dari agensi politik yang saat ini masih memiliki pengaruh yang kuat.
Cara semacam ini memberikan ruang pewarisan pengetahuan kepada generasi sesudahnya yang lebih melihat diri sendiri dan kebebasan individu. Di mana media sosial adalah ruang berbagi narsisme diri sekaligus kegelisahan atas masa lalu yang tak sepenuhnya menjadi masa lalu.
Cara ini juga menciptakan bagaimana ingatan mengenai Gus Dur untuk tidak bergerak sebagai ingatan kolektif yang komunal. Lebih jauh dari itu, Gus Dur dan nilai advokasiinya mengenai Islam, keindonesiaan, dan demokrasi menjadi ingatan kolektif bersama. Di mana individu memberikan semacam sumbangsih melalui refleksinya mengenai Gus Dur.
Memang, sepeninggalnya Gus Dur ada gerakan Gusdurian yang bergerak secara kultural dan masif di pelbagai daerah. Buku Menjerat Gus Dur ini, bagi saya membuka kemungkinan lebih luas lagi mengenal figur Gus Dur dengan cara yang berbeda.
Editor: Nabhan Mudrik