Perspektif

Sekolah Muhammadiyah Dimasuki Ideologi Lain?

3 Mins read

Kira-kira apa yang terjadi jika sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah dimasuki bahkan diobok-obok oleh ideologi dari gerakan lain? Dalam pandangan saya setidaknya ada dua hal penting yang akan memudar dari lembaga pendidikan Muhammadiyah jika itu terjadi, yaitu semangat progresifitas lembaga dan watak kolegialisme.

Muhammadiyah merupakan satu dari organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Mustahil untuk menampik itu. Anggota Muhammadiyah tersebar di seluruh penjuru negeri hingga ke benua Eropa, Amerika, Afrika dan Asia. Pun demikian dengan melimpahnya omset kekayaan yang dimilikinya, Muhammadiyah sering dibandingkan dengan negara dimana ia bernaung.

Hingga timbul pernyataan dari Bahtiar Effendy dalam buku Ijtihad Politik Muhammadiyah : Politik Sebagai Amal Usaha yang ditulis oleh Ahmad Nurmadi dan Zuly Qadir bahwa dalam konteks kepemilikan amal usahanya, Muhammadiyah layaknya negara di dalam negara.

Tercatat menurut muhammadiyah.or.id hingga kini Amal Usaha Muhammadiyah (selanjutnya disingkat AUM), antara lain:  4.623 TK/TPQ, 2.604 SD/MI, 1.772SMP/MTs, 1.143 SMA/SMK/MA, 67 Pondok Pesantren, 172 Perguruan Tinggi, 457 pusat-pusat kesehatan seperti poliklinik dan rumah sakit, 318 panti asuhan, 54 panti jompo, 52 rehabilitasi cacat, 71 SLB, 6.118 masjid, 5.080 Mushola, 20.945.504 m tanah dan 565 baitul mal wat tamwil serta lembaga mikro lainnya.

Ada guyonan lawas dari tokoh Nahdhatul Ulama (NU), KH Hasyim Muzadi ketika berceramah, “Kalau masjid NU di masuki orang Muhammadiyah yang hilang hanya beduk dan qunutnya tetapi kalau masjid NU dimasuki selain Muhammadiyah (tidak saya sebutkan identitasnya) yang hilang bukan hanya beduk dan qunut, masjid pun juga ikut hilang.” Guyonan itu sebetulnya menyiratkan makna mendalam tentang pentingnya menjaga ideologi suatu gerakan, lebih spesifik tentu gerakan Muhammadiyah.

Baca Juga  Makan-Makan di Rumah Keluarga Mayit, Bagaimana Hadisnya?

Mengancam Semangat Progresifitas Lembaga

Progresif adalah kunci utama lembaga pendidikan Muhammadiyah bisa berlari dan bertahan sejauh ini. Istilah ini lebih dikenal dengan “berkemajuan”. Secara bahasa keduanya memiliki kesamaan makna, yakni sebuah ungkapan untuk menggambarkan betapa Muhammadiyah itu selalu berpikir melampaui zaman.

Seperti yang dilakukan Kyai Dahlan ketika awal pendirian persyarikatan, betapa progresifnya nalar dan gerakan beliau. Dalam istilah populer, Muhammadiyah memperoleh kemenangan dialogis. Artinya di awal dicaci tetapi dikemudian hari semua orang berbondong-bondong mengikuti dan meniru.

Fakta itu tentu tidak bisa kita elakan sebab kenyataannya sejauh ini Amal Usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan masih berada digarda terdepan secara kuantitas. Lebih banyak dari lembaga pendidikan milik NU atau ormas lainnya, bahkan dengan sekolah negeri sekalipun.

Namun api ‘berkemajuan atau progresif’ itu terancam padam ketika AUM dipimpin oleh seseorang yang tidak jelas sanad kaderisasinya. Bahkan ada yang secara terang mengatakan bahwa dirinya bukan kader Muhammadiyah. Hanya saja tetap dipercaya untuk memimpin sekolah Muhammadiyah. Realita ini seolah benar tetapi sesungguhnya memilukan.

Bagaimana bisa persyarikatan sebesar Muhammadiyah tidak mampu melahirkan kader yang siap memimpin? Apa yang dilakukan oleh ortom-ortom dari pusat hingga cabang selama ini?Atau jangan-jangan para pimpinan Muhammadiyah sendiri tidak mempercayai kualitas dan kapabilitas para kader. Padahal mereka terlahir dari proses panjang dan berliku di tingkat ortom.

Saya berfikir apa musti dibubarkan saja ortom-ortom Muhammadiyah karena dianggap gagal melahirkan kader-kader unggul. Atau malah sebaliknya, bapak-bapak Muhammadiyah perlu diajak menyaksikan dan mengikuti langsung proses kaderisasi di tingkat ortom. Supaya mengetahui betapa seriusnya para pimpinan ortom dalam mengkader.

Sejauh pengamatan saya, karakter progresif itu yang selalu ditanamkan dalam proses kaderisasi di semua jenjang. Maka ketika pimpinan AUM bukan terlahir dari proses kaderisasi akan mengancam keberlangsungan AUM itu sendiri, tidak terkecuali AUM di bidang pendidikan.  

Baca Juga  Pentingnya Menyemai Filsafat dalam Diri Anak-anak

Hilangnya Watak Kolegialime

Doktrin kolektif-kolegial menjadi hal penting berikutnya yang harus dimiliki oleh setiap pimpinan AUM. Bahwa seorang pemimpin itu harus mampu membangun jembatan penghubung bagi bawahannya, bukan malah menjadi jembatan pemisah.

Meskipun dalam pandangan Haedar Nashir tafsir kolektif-kolegial itu masih bersifat abstrak, tetapi mayoritas warga persyarikatan menyakini makna yang terkandung salah satunya adalah semangat untuk menyatukan warga persyarikatan. Untuk mewujudkan mimpi besar itu tentu tidak sembarang orang mampu melakukannya. Oleh karenanya pimpinan harus seorang yang telah melalui proses panjang kaderisasi.

Sepertinya gerakan bersih-bersih ideologi non-Muhammadiyah di lingkungan AUM –sebagaimana yang sering  diutarakan oleh Pradana Boy– memang perlu dimasifkan supaya sekolah-sekolah Muhammadiyah bisa terjaga kesucian dirinya.    

Kedua hal di atas, progresif dan kolegialisme, menjadi hal yang vital di tubuh persyarikatan. Maka merawat dan meruwatnya merupakan sebuah keniscayaan bagi semua orang yang memiliki keterpautan jiwa dengan Muhammadiyah. Sistem seleksi para pimpinan AUM harus dipertegas dan diperjelas, bahwa hanya kader persyarikatan yang bisa menahkodai semua AUM.

Hal itu tidaklah ekslusif karena tujuan utamanya tidak lain untuk menjaga keotentikan rasa AUM. Harus ada ruangan khusus yang hanya bisa dimasuki oleh pemegang kunci khusus pula, yakni mereka para kader yang telah tertempa dengan proses yang panjang.

Tentu kita berharap ke depan Muhammadiyah selain mempertahankan karakter inklusifnya, juga memiliki ketegasan untuk menyaring pimpinan AUM yang tidak jelas sanad kaderisasinya. Harapan utamanya supaya eksistensi ribuan amal usahanya bisa berkelanjutan hingga abad-abad berikutnya.

Editor : Dhima Wahyu Sejati

Avatar
1 posts

About author
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang Konsultan Pendidikan Kota Malang JIMM Malang
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds