Perspektif

Meneropong Muhammadiyah dari Pendidikan Kedesaan

4 Mins read

Gagasan maupun eksperimen Pendidikan Kedesaan sejauh ini tidak begitu bergema di lingkungan pendidikan Muhammadiyah. Akan tetapi, di masa depan yang tidak terlalu jauh, Pendidikan Kedesaan akan menjadi salah satu warna dalam kerangka dasar pengembangan pendidikannya.

Para pengelola pendidikan Muhammadiyah akan semakin kritis-realistis terhadap arah perubahan yang tengah berjalan. Sementara itu, kebijakan pendidikan pemerintah cenderung mengarah ke desentralisasi yang memberi kelonggaran gerak, sehingga memungkinan tumbuh kembangnya model-model pendidikan alternatif, seperti Pendidikan Kedesaan ini.

Pendidikan Kedesaan dan Muhammadiyah

Mengapa Muhammadiyah tidak begitu akrab dengan Pendidikan Kedesaan? Jelas pertanyaan yang mengusik pikiran, apalagi bila dikaitkan dengan teologi al-Maun (keberpihakan pada kaum pinggiran, yang dipinggirkan) yang menjadi ruh gerakan ini. Untuk memahami gejala ini secara utuh, nampaknya harus merunut konteks historis- geografis-demografis kelahiran persyarikatan.

Secara geografis para aktivis Muhammadiyah umumnya berasal dari lingkungan kota, atau meminjam istilah Kuntowijoyo, perkampungan dalam kota. Lingkungan inilah yang pada awal abad ke-20, sangat memerlukan Pendidikan Barat (sekolah modern) sebagai wahana mobilitas sosial dan emansipasi masyarakat pribumi dalam gerak modernisasi kehidupan sosial.

Kehadiran “sekolah modern plus agama Islam” yang diterapkan Muhammadiyah saat itu sangat strategis. Ia mampu memporak-porandakan grand design kolonialisme Belanda yang mau menjajah bangsa Indonesia dengan perantaraan lapisan tipis elit pribumi-kaum priyayi dengan jalan memberi Pendidikan Barat kepada mereka melalui slogan Politik Etis.

Kehadiran sekolah Muhammadiyah yang demikian masif, dan sekolah swasta-partikelir yang lain, membuyarkan angan-angan kaum kolonial. Mengapa? Yang bisa bersekolah bukan hanya elit-priyayi, tetapi juga lapisan bawah kaum pribumi. Karena di sekolah Muhammadiyah diajarkan pentingnya menjadi manusia merdeka yang tidak sudi dijajah.

Mereka menguasai “bahasa” modern yang diajarkan sekolah Barat, tetapi digunakan untuk melawan, kaum penjajah seperti ditunjukan Panglima Besar Jenderal Soedirman (alumni HIK, sekolah guru Muhammadiyah Surakarta). Ringkasnya, pendidikan Barat (sekolah Belanda) merupakan senjata pamungkas untuk melanggengkan kuku penjajahan di Hindia Belanda (baca: Indonesia), kemudian dipinjam (sekolah) Muhammadiyah untuk melawan mereka. Pendidikan menjadi senjata makan tuan bagi penjajah.

Baca Juga  Ciri Orang Beriman, Tetap Waras di Zaman Edan

Setelah menghirup kemerdekaan, orientasi pendidikan Muhammadiyah yang demikian itu tidak kunjung berubah. Terlebih setelah pemerintah memutuskan untuk lebih memilih melanjutkan pola pendidikan persekolahan yang diwarikan penjajah Belanda. Muhammadiyah semakin nyaman dan bertambah semangat dengan pola pendidikan “sekolah plus agama Islam”.

Sekolah Plus Agama Islam

Sampai akhir Orde Baru (1990-an) Muhammadiyah masih nyaman dengan pola pendidikan “sekolah plus agama Islam”. Meski ada riak-riak kecil ketidapuasan, karena dinilai terlalu sekuler, perasaan kehilangan identitas, yang kemudian ditambahkan mata pelajaran kemuhammadiyahan. Sekalipun demikian, secara umum pendidikan Muhammadiyah masih bertahan dengan pola lama itu.

Sebenarnya, kenyamanan yang terbangun itu merupakan kenyamanan semu. Sebab, pada umumnya kehadiran Sekolah Muhammadiyah adalah pelengkap sekolah negeri, terutama jenjang menengah. Dikatakan pelengkap, karena ia berfungsi sebagai penampung peserta didik baru yang tidak bisa masuk di SMP-SMA Negeri. Maka, tidak aneh bila letak SMP-SMA Muhammadiyah umumnya di daerah urban (kabupaten-kota) atau sub-urban (kecamatan).

Dalam kondisi demikian, maka sudah pada tempatnya bila sekolah Muhammadiyah berorientasi pada sekolah urban (perkotaan), dan mengabaikan orientasi Pendidikan Kedesaaan. Paradigma, atau orientasi pendidikan urban Muhammadiyah yang demikian, belakangan ini (pasca Reformasi) mulai runtuh, tidak sedikit yang mengalami mati suri, bahkan gulung tikar. Ada yang bertahan dengan babak belur, karena siswanya kurang dari 10 dalam satu kelas.

Kesadaran tentang runtuhnya pola pendidikan Muhammadiyah lama, “sekolah plus agama Islam”, yang bercorak urban, terus menggelinding, meskipun belum menjadi arus utama, namun cukup menonjol dan berpengaruh. Sejak dua dekade terakhir ini, mereka telah bereksperiman mencari model-model pendidikan alternatif yang dapat disuntikkan untuk mengembangkan dan menyegarkan pendidikan Muhammadiyah. Ikhtiar mereka bisa disebut sebagai ijtihad pendidikan abad kedua Muhammadiyah.

Baca Juga  Dari Membolehkan Bikini sampai Mempersekusi Ulama: Upaya MBS Sukseskan Visi 2030 Arab Saudi

Ciri yang menonjol dari ijtihad pendidikan abad kedua adalah ketidaksudiannya menempatkan sekolah Muhammadiyah sebagai pelengkap (penderita!) sekolah negeri, yang hanya menampung siswa yang tidak diterimanya. Ekperimen mereka mengarah pada pengembangan pendidikan alternatif, sehingga mereka telah selesai penerimaan peserta didik baru (PPDB) sebelum pemerintah secara resmi membuka PPDB.

Eksperimen Pendidikan Alternatif

Dari pengamatan sepintas di kancah, banyak sekali inisiatif di lingkungan Muhammadiyah yang tengah bereksperimen dengan pengembangan pendidikan alternatif. Secara garis besar, menurut penulis, dapat dipetakan menjadi menjadi tiga pola pencarian baru pendidikan Muhammadiyah, yaitu: berorientasi mutu sekolah, berorientasi kegamaan, dan berorientasi sains.

Pola pertama, orientasi pada mutu sekolah. Dalam pola ini sekolah Muhammadiyah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga kulitas akademik ataupun pelayanan pendidikan yang lain (agama, kecakapan hidup) di atas standar mutu sekolah negeri. Karena mutu akademik tinggi, ditambah dengan pembiasan kehidupan kegamaan dan budaya sekolah yang unggul, maka dengan sendirinya aliran siswa yang masuk sekolah ini menaik.

Tentu saja, aliran siswa masuk tidak perlu menunggu selesainya PPDB sekolah negeri. Model ini dikembangkan oleh SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta, yang dalam tiga tahun terakhir mampu menembus 100 besar tertinggi Ujian Nasional (baca: kisaran 18-26). Dalam beberapa hal, SMP Muhammadiyah Kota Baru Gresik mengarah ke pola ini, meski belum sementereng SMP Muhammadiyah PK.

Pola kedua, orientasi pada pengembangan keagamaan yang merupakan khittah pendidikan Muhammadiyah. Lebih memilih model boarding/asrama, sehingga proses pembiasan karakter siswa lebih terarah. Secara akademiki tidak terlalu menonjol, tetapi pembentukan karaker keagamaan yang lebih diutamakan.

Boarding dan Trensains

Sudah sejak lama (zaman Kyai Dahlan) Muhammadiyah menerpakan model ini di Mualimin-Mualimat. Akan tetapi, yang belakangan ini terlihat sangat menonjol dan mengemuka di permukaan adalah Muhammadiyah Boarding Muhammadiyah (MBS) Prambanan Yogyakarta. Tidak kurang dari 50 daerah telah mencangkok pola MBS dan menerapkan di daerah masing-masing.

Baca Juga  Masih Adakah Buta Aksara di Negara Kita?

Pola terakhir, berorientasi sains yang diintegrasikan  dengan Al-Quran, atau berusahan membaca Al-Quran dengan kacamata sain. Penggagasnya,  Agus Purwanto adalah pakar fisika pengajar di ITS yang lulusan Jepang, yang dieksperintasikan dengan berdirinya SMA Muhammadiyah Trensain (Pesantren Sains) di Sragen. Pola SMA Trensain juga dikembangkan di pondok pesantren Tebuireng.

Dari percakapan dengan beliau beberapa waktu lalu, pola ini memiliki masa depan yang cerah, tetapi masih banyak kendala, terutama terkait dengan orang-orang yang mampu menterjemhkan gagasan besarnya secara praktis di level pengembangan sekolah dan pembelajarannya.

Dari tiga pola pendidikan alternatif yang berkembang di Muhammadiyah saat ini, seperti disinggung di atas, Pendidikan Kedesaan belum memperoleh tempat yang layak dalam arus pengembangan pendidikan Muhammadiyah.

Meski demikian, beberapa prakarsa ke arah itu sudah mulai kelihatan. Sejauh pertemuan singkat dengan mereka, gagasan ke arah Pendidikan Kedesaan sudah mulai muncul, Somono, kepala MTs Muhammadiyah di Batur Banjarnegara dan SMK Muhammadiyah di Belitung yang memiliki lahan lebih dari 10 Ha, tentu sangat potensial di kembangkan ke arah sana.

Apabila mereka memiliki mentor yang tepat, bukan tidak mungkin Pendidikan Kedesaan menjadi salah satu warna dalam arus pendidikan Muhammadiyah. Semoga.

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *