Perspektif

Sekularisasi, Langkah Akhiri Absolutisme Agama

2 Mins read

Apa sesungguhnya arti sekularisasi? Kata ini berasal dari kata latin “saeculum” yang berarti zaman atau “saecularis” yang berarti duniawi (Karl Ranner 1991 : 319). Di dunia Barat, kata ini sering diartikan sebagai pemisahan antara gereja dan negara.

Mengingat kaum agama atas kemutlakan dan totalitasnya yang terwujud dalam masyarakat Barat tradisional, sekularisasi adalah sebagai proses emansipasi tatanan politis dari dominasi dan determinasi berbagai macam agama. Proses ini harus dimengerti sebagai suatu pencapaian peradaban Barat yang mencakup berbagai aspek kehidupan, di mana sekularisasi ini lebih bersifat universal dan impersonal daripada bersifat personal.

Agama Menjadi Ranah Privat

Menurut F. Budi Hardiman, seorang yang mengenalkan teori Habermas, dua setengah abad silam masyarakat Eropa menghasilkan suatu cara untuk mengakhiri absolutisme agama yang dapat menyebabkan konflik-konflik agama. Mereka memisahkan agama dan politik dengan mengurung agama di dalam kebungkaman ruang privat. Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah prestasi di mana sebuah masyarakat memiliki kebebasannya untuk menggunakan rasio di ruang publik tanpa adanya sensor-sensor keyakinan yang ada.

Mengapa dunia Barat mengambil jalan sekularisasi yang berdampak pengurungan agama menjadi ranah privat? Karena sekularisasi adalah bentuk respons terhadap problem yang berabad-abad mencengkeram manusia, yaitu absolutisme agama. Di mana sebagai sistem utamanya adalah agama yang memberikan simbol-simbol yang melekat pada kekuasaan politis, sehingga agama memegang kendali penuh dan memonopoli interpretasi atas apa yang wajib dilakukan dan dipikirkan oleh setiap individu untuk keselamatan dunia dan akhirat.

Ungkapan tersebut menyimpulkan bahwa agama adalah politis, dan politik itu religius, maka tak satu milimeter pun gerak-gerik individu dapat luput dari kontrol kekuasaan yang berlandaskan agama.

Baca Juga  Konversi Agama di antara Syariah dan HAM

Jika suatu negara melebur dengan agama tanpa ada batasan yang memisahkan mereka, norma-norma yang ada di dalamnya akan disakralisasi, dan negara pun seakan menjadi aparatur yang mengurusi kebenaran dan jalan keselamatan yang dipilih rakyatnya.

Atas nama Allah, suatu otoritas politis dianggap sah untuk menguasai pikiran, keinginan, perasaan, dan iman setiap individu. Sedangkan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural dengan berbagai bahasa dan agama. Kekhawatiran akan keselamatan jiwa-jiwa pun menjelma menjadi teror masyarakat, sebab negara yang melebur dengan agama merasa berhak meluruskan pikiran dan keyakinan moral religius warganya. Kebebasan individu dipasung. Pemakaian rasio-rasio pun dicurigai sebagai racun bagi iman.

Masalah sesungguhnya tidak terletak pada klaim kemutlakan iman itu sendiri yang memang sangat wajar dimiliki setiap orang-orang yang beriman pada keyakinan dan orientasi nilainya, melainkan penggunaan klaim kebenaran iman itu di ruang publik yang membawa nama politik. Seperti terjadi saat ini oleh sebagian golongan, di mana khilafah dinilai sangat cocok dan ideal sebagai sistem untuk mengatur jalannya sebuah pemerintahan dan bernegara.

Jika kebenaran iman dipakai ruang publik, iman diselewengkan secara ideologis ini pun akan membrangus pikiran. Hal ini disebut fideisme, di mana mengandung paradoks dalam dirinya: ia mencurigai pikiran namun ia sendiri tenyata sebentuk pikiran yang berarti pikiran bisa membunuh pikiran.

Buah yang dapat dituai dalam ruang publik adalah benturan-benturan ideologis “iman kita” dan “iman mereka” yang bisa memicu konflik masa. Dalam kondisi ini, agama yang merupakan keyakinan tulus dan jalan keselamatan bagi penganutnya akan berubah menjadi alat kuasa untuk memotivasi korban kepada Allah ke dalam kesediaan untuk menumpahkan darah demi kepentingan ideologis-ideologis yang picik.

Baca Juga  Mahmud Syaltut: Islam Memelihara Umat Manusia Lewat Keadilan

Lewat sekularisasi, masyarakat Barat menemukan jalan keluar dari patologi ini dengan cara menarik agama dari posisi publiknya ke dalam privat, sehingga politik dan agama terpisahkan. Mereka memiliki batasan dan peranannya masing-masing, serta berjalan secara berdampingan.

Apakah Indonesia Merupakan Negara Sekular?

Masuk akal sekali bila Indonesia disebut negara sekular, padahal founding fathers terdahulu terlibat dalam perdebatan kontrukstif mengenai dasar negara Indonesia, apakah dibentuk menjadi negara Islam atau sekular.

Menurut cendekiawan muslim M. Dawam Raharjo, dengan alasan persatuanlah Indonesia dijadikan negara sekular dengan tidak mengeksplisitkan “Islam” dalam dasar sebuah negara. Dalam hal ini, dasar negara Indonesia, yaitu pancasila dinilai menjadi hukum sekular yang bersifat universal dan berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang ras, suku atau agama, bukan justru bersifat personal, di mana hanya berlaku bagi yang menganut atau yang meyakininya saja.

Editor: Lely N

8 posts

About author
Alumnus Universitas Islam Lamongan. Gadis penyuka sastra dan petrichor. Selain itu ia gampang memiliki rasa ingin tahu terhadap sesuatu. Hal yang menjadi favoritnya adalah suasana setelah hujan dan memandang cakrawala langit biru yang luas.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds