Transmisi keilmuan dalam Islam tidak terlepas dari tradisi sanad (ketersambungan). Mayoritas kesarjanaan, baik Islam maupun non-Islam, meyakini keterjagaan ajaran Islam salah satunya berkat adanya isnad. Di luar sanad, resiliensi Islam sebagai sebuah agama juga ditopang adanya tarekat. Dua hal ini memainkan peranan penting dalam proses Islamisasi Nusantara, termasuk peranan jaringan ulama di dalamnya.
Isnad Hadis dan Tarekat dalam Islamisasi Nusantara
Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama mengatakan, dua sarana terpenting yang membuat jaringan ulama, baik Haramain dan Nusantara, relatif solid adalah sanad hadis dan silsilah tarekat. Kedua hal ini berkembang secara ekstensif. Dalam amatan Voll, misalnya, keduanya memainkan peranan krusial dalam menghubungkan ulama yang terlibat dalam jaringan yang berpusat di Haramain pada abad ke-18. Penelitian Azra sendiri atas jaringan ulama dalam periode yang sama mendukung kesimpulan Voll.
Kesimpulan yang sama juga berlaku untuk periode abad ke-17. Sebagaimana ditunjukkan dalam tulisan ini, para guru dan murid asal Afrika Utara dan Mesir, misalnya, membawa tradisi studi hadis di wilayah mereka ke Haramain. Haramain sendiri, jika dirunut ke belakang, sejak masa awal Islam memang terkenal sebagai pusat penting studi hadis. Tentu, kedatangan ulama dari berbagai wilayah amat membantu dalam membangkitkan kembali Haramain sebagai pusat dominan studi hadis. Secara otomatis, interaksi dan hubungan di antara berbagai tradisi keilmuan, pada gilirannya, menciptakan atmosfir tradisi baru yang kosmopolit.
Studi hadis ini kemudian berkembang sangat subur di Nusantara. Tak kalah menterengnya dengan Haramain, Oman Fathurahman menegaskan bahwa tradisi penulisan kitab-kitab hadis di kalangan ulama Nusantara tidak “sesepi” yang dikesankan selama ini. Menurutnya, meskipun dari segi jumlah memang kalah jauh dibanding bidang keilmuan lain, terutama tasawuf dan fikih, karya-karya lokal di bidang hadis, terutama dalam bahasa Melayu, dapat dijumpai, baik berupa kompilasi utuh sejumlah hadis maupun terjemahan semata dari kitab hadis berbahasa Arab.
Sebagai buktinya, Oman mengetengahkan ulama-ulama Nusantara yang bergelut dengan hadis di antaranya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri, Khatib al-Langgini, Syekh Mahfud Termas, Syekh Yasin Isa al-Fadani, KH. Hasyim Asy’ari, dan sebagainya. Dengan fakta sejarah ini, orang segera akan mendapat gambaran utuh betapa ulama Nusantara memang memiliki sanad yang kuat dan otoritatif sebagai ulama hadis serta terkoneksi dengan para ulama hadis di dunia Islam.
Tarekat sebagai Penyangga
Proses Islamisasi Nusantara tidak terlepas dari aspek tarekat. Bahkan, tulisan-tulisan paling awal karya ulama Indonesia – menurut Martin van Bruinessen – bernafaskan semangat tasawuf dan karena tasawuf inilah terutama sekali orang Indonesia memeluk Islam. Pikiran-pikiran sufi terkemuka semisal Al-Ghazali dan Ibnu Arabi merupakan corak pemikiran yang mendominasi jagat dunia Islam. Pikiran-pikiran sufi tersebut juga sangat berpengaruh terhadap pengarang-pengarang muslim generasi pertama di Indonesia. Terlebih, hampir semua pengarang tersebut menjadi pengikut sebuah tarekat.
Secara relatif, dapat kita saksikan bersama bahwa tarekat merupakan tahap paling akhir dari perkembangan tasawuf. Akan tetapi, ketika menjelang penghujung abad ke-13, tatkala orang Indonesia – menurut Martin – mulai berpaling kepada Islam, tarekat justru tengah berada di puncak kejayaannya. Ternyata tarekat juga membentuk jaringan sekaligus ikatan ‘batin’ antara satu dengan yang lain yang pada gilirannya menciptakan ikatan yang amat kuat di dalam mengamalkan tasawuf.
***
Voll, sebagaimana dikutip Azra, menyatakan jenis ikatan semacam ini membentuk hubungan lebih personal dan afiliasi bersama yang membantu terciptanya kohesi lahiriyah dan batiniyah lebih besar dalam kelompok-kelompok ulama. Lebih lanjut, semakin pentingnya jalan esoteris (haqiqah) di Haramain sebagai akibat kedatangan tarekat yang dibawa oleh ulama asal India, misalnya, menghasilkan interaksi, dialektika dan rekonsiliasi lebih intens antara para ulama sufi dengan ulama fikih yang menekankan jalan eksoteris (syariah).
Dengan demikian, ini tidak hanya menghasilkan hubungan yang saling terkoneksi, tetapi tak kurang pentingnya juga menghilangkan atau setidaknya mengurangi dikotomi di antara mereka yang disebut ulama sufi dan ulama fikih. Sebagaimana kita lihat bersama, hampir semua ulama menjadi inti jaringan – menurut Azra – ialah ahli syariah dan tasawuf sekaligus. Tidak hanya itu, para ulama terkemuka dalam jaringan dimaksud, sebelum menetap di Haramain atau singgah di tempat lainnya, telah menjadi ulama pengembara (peripatetic scholars), yang berkelana dari satu pusat pengajaran ilmu-ilmu Islam ke pusat lain sembari belajar, mengaji dan nyantri dari berbagai guru yang tersambung (isnad) sekaligus memiliki tradisi keilmuan yang terhubung kepada Rasulullah Saw.
Editor: Soleh