Opini

Semua Orang Berpotensi Melakukan Korupsi

3 Mins read

Seakan tiada hentinya berita korupsi. Hampir secara periodik kita disuguhi berita-berita mega korupsi yang semakin hari-semakin menggurita. Meskipun sering, namun masyarakat Indonesia dikejutkan oleh berbagai kasus korupsi yang semakin menggila, apalagi melibatkan tokoh-tokoh dengan status sosial yang tinggi.

Mulai dari kiyai, ustadz, profesor, doktor, hingga mereka yang sering menunaikan ibadah haji dan umroh. Padahal mereka adalah individu yang dihormati, dianggap sebagai ahli agama, dan memiliki pengaruh besar di masyarakat.

Namun, di balik gelar dan status sosial yang mentereng, ternyata banyak dari mereka yang terjerat kasus korupsi. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, mengapa mereka yang sudah kaya raya dan memiliki status sosial yang tinggi, berpendidikan, tetapi bisa melakukan korupsi? Bahkan semakin hari kuantitasnya semakin besar.

Korupsi saat ini bukan hanya terjadi sektor ekonomi seperti BUMN atau proyek-proyek strategis negara, bahkan urusan agama seperti pengadaan mushaf sampai penyelenggaraan haji tidak luput dari praktik korupsi.

Korupsi: Masalah Hukum dan Masalah Moral

Korupsi, pada dasarnya, bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral. Meskipun seseorang memiliki gelar akademis yang tinggi atau status sosial yang dihormati, hal itu tidak serta-merta menjamin integritas dan moralitas mereka. Korupsi sering kali terjadi karena adanya kelemahan dalam karakter individu, seperti keserakahan, ketamakan, dan keinginan untuk terus menumpuk kekayaan meskipun sudah berkecukupan.

Bagi sebagian orang, kekayaan dan status sosial yang tinggi justru menjadi pemicu untuk terus mencari lebih banyak lagi. Mereka merasa bahwa kekayaan dan jabatan yang dimiliki harus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, meskipun dengan cara yang tidak halal. Di sinilah letak krisis moral yang terjadi. Gelar dan status sosial yang seharusnya menjadi tanggung jawab untuk menjaga integritas justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.

Baca Juga  Kemiskinan yang Bertahan di Atas Kertas

Ironisnya, banyak koruptor yang justru menggunakan agama sebagai tameng untuk menutupi tindakan korup mereka. Mereka sering kali terlihat religius, rajin beribadah, dan bahkan menjadi panutan dalam urusan keagamaan. Namun, di balik itu semua, mereka melakukan praktik-praktik korupsi yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut.

***

Agama seharusnya menjadi pedoman untuk berperilaku jujur, adil, dan bertanggung jawab. Namun, bagi sebagian orang, agama hanya dijadikan sebagai alat untuk membangun citra dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Mereka mungkin hafal ayat-ayat suci dan sering memberikan ceramah tentang kejujuran, tetapi dalam praktiknya, mereka justru melakukan hal yang sebaliknya.

Selain faktor individu, lingkungan dan sistem yang rusak juga turut berkontribusi dalam fenomena korupsi di kalangan elite. Dalam beberapa kasus, korupsi sudah menjadi budaya yang sulit dihindari, terutama di lingkungan yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya yang besar. Ketika korupsi sudah menjadi hal yang biasa, bahkan dianggap sebagai “bagian dari sistem”, maka orang-orang yang berada di dalamnya cenderung mengikuti arus tersebut.

Bagi mereka yang memiliki gelar dan status sosial tinggi, tekanan untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan sering kali membuat mereka terjebak dalam lingkaran korupsi. Mereka mungkin merasa bahwa korupsi adalah satu-satunya cara untuk tetap bertahan dalam sistem yang sudah rusak. System yang rusak dan keserakahan adalah perpaduan yang pas bagi tumbuh kembangnya korupsi.

Keserakahan menjadi salah satu faktor utama yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, meskipun mereka sudah memiliki kekayaan yang melimpah. Bagi sebagian orang, kekayaan tidak pernah cukup. Mereka selalu ingin lebih, dan korupsi menjadi cara cepat untuk mencapai tujuan tersebut.

Keserakahan ini sering kali dipicu oleh gaya hidup yang konsumtif dan keinginan untuk dipandang sebagai orang yang sukses. Mereka mungkin sudah memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan harta benda lainnya, tetapi keinginan untuk terus menambah kekayaan membuat mereka tidak pernah merasa puas.

Baca Juga  Membaca Ulang Hasil Munas Tarjih, Maklumat, dan Kemaslahatan Umat

Korupsi Perlu Menjadi Perhatian Serius Semua Pihak

Fenomena korupsi di kalangan elite, termasuk mereka yang bergelar kiyai, ustadz, profesor, atau doktor, harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak.

Pertama, perlu adanya penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu. Siapa pun yang terbukti melakukan korupsi, harus dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Hukuman bagi pelaku korupsi haruslah berat, apa lagi perbuatannya telah menyengsarakan orang banyak.

Kedua, pendidikan moral dan agama harus ditingkatkan, tidak hanya di sekolah-sekolah formal, tetapi juga di lingkungan masyarakat. Agama seharusnya menjadi pedoman untuk berperilaku jujur dan bertanggung jawab, bukan sekadar alat untuk membangun citra. Keberagamaan yang tulus dan Ikhlas akan menyinari sanubari para pemeluknya.

Ketiga, perlu adanya perubahan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. sistem yang baik akan meminimalisir peluang untuk melakukan korupsi, dan mendorong setiap individu untuk bertindak dengan integritas.

Fenomena akademisi, kiyai, ningkrat adalah cerminan dari krisis moral dan sistem yang rusak di tengah masyarakat. Gelar dan status sosial yang tinggi tidak menjamin seseorang untuk terbebas dari praktik korupsi. Justru, sering kali mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan besar justru terjebak dalam lingkaran korupsi yang sulit untuk dilepaskan.

Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan upaya bersama dari semua pihak, mulai dari penegakan hukum yang tegas, pendidikan moral dan agama yang baik, hingga perubahan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Hanya dengan cara ini, kita bisa meminimalisir praktik korupsi dan membangun masyarakat yang lebih jujur dan berintegritas.

Editor: Soleh

Avatar
44 posts

About author
Dekan FEBI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *