“…Bagiku, Sepak bola bukanlah permainan di atas rumput hijau semata, bukan sekedar permainan sebelas pemain melawan sebelas pemain, bukan pula alir bola yang terkadang dijeda oleh wasit. Sepak bola bagiku gairah dan kuanggap sebagai jalan keluar dari kerasnya hidup…” Hlm. 54
Di atas saya kutip dari BAB yang berjudul catatan Afat. Ketika mendengar kata “sepak bola”, saya yakin seribu yakin pasti dalam pikiran kita memunculkan frasa bermacam-macam. Mungkin membayangkan suatu permainan menarik, menyedihkan, berkaitan dengan aturan, filosofi hidup atau justru ada cinta dan benci di balik permainan kulit bundar tersebut.
Hujan memang membuat saya untuk tidak pergi ke mana-mana. Minimal menambah nyaman ketika membaca buku dan menghangatkan diri melalui kisah-kisah dalam novel yang berjudul Tidak Ada Kartu Merah ini.
Sampul dari buku ini cukup menarik. Terpapar gambar rumput, bola, dan jersey dengan nomor punggung 10. Sekilas memang sampulnya tidak mewakili judul.
Tidak ada warna merah atau seorang wasit yang menyemprit sambil mengacungkan kartu merah kemudian diberikan tanda silang, namun lebih dominan warna hijau dengan gradasi putih.
Semua bermula dari Bies. Biesa Maula (nama lengkap) adalah keponakan dari Hasto yang mengaku kepulanganya mencari bahan untuk skripsi, padahal Bies tidak lain lari dari kenyataan keluarganya yang melarangnya menulis tentang bola dan membaca artikel Bola.
Isi Buku
Buku ini diawali dari pertemuan antara Bies dengan Afat. Afat adalah teman lama Bies yang kebiasaanya masih sama seperti dulu ketika mereka bertemu. Jam karet yang tidak pernah berubah dari Afat.
“…Tenyata kamu benar-benar Afat yang kukenal dan tidak pernah berubah. Jam karet!”.. Hlm. 5
Bies dan Afat berkelakar sebagaimana layaknya kawan lama yang dipisahkan karena keadaan. Dari pertemuan itulah Afat mengeluhkan tentang impian menjadi pesepak bola tidak bisa dilanjutkan lagi akibat cidera bagian kaki yang tidak akan bisa sembuh. Cerita masa lalu itulah yang membuat Bies dan Afat tertawa dan masa lalu pulalah yang membuat Bies dan Afat Bertengkar.
Kemalangan Afat bukan tanpa sebab, semua berawal dari pertandingan sepak bola antara tim Banjar Rejo melawan Windu Jaya. Windu Jaya adalah Tim Anan, seorang pencetak dua gol di babak pertama.
Pada babak ke-dua, Afat berhasil mengeksekusi tendangan hingga membuat skor menjadi 1-2. Menit demi menit berlangsung sengit, kartu merah dan kartu kuning menghujani lapangan.
Afat bahkan menganggap pertandingan itu seperti pertandingan pencak silat, bukan lagi pertandingan sepak bola. Saat itulah kaki kiri Afat patah dan tidak bisa sembuh dengan sempurna untuk melanjutkan impianya.
Obrolan Bies dengan Lik To juga menarik. Tentang bagaimana kejadian mata Lik To yang terkena sikut sahabat karibnya sendiri bernama jaikun dalam pertandingan yang masih sama, antara tim Banjar Rejo melawan Windu Jaya. Jaikun adalah ayah Afat yang menikah dengan Harmini. Sosok Harmini sebelumnya adalah pacar dari Lik To yang berpaling ketika Lik To mengalami cacat mata.
Harmini merasa sangat bersalah setelah semua kejadian yang dialami Lik To seperti menimpa anaknya sendiri, Afat. Sampai-sampai Harmini menganggap itu adalah dosa turunan. Afat sebenarnya sebelum mengalami pincang bagian kaki, memiliki pacar yang bernama Nayeli. Namun sejak kejadian yang menimpa kaki Afat itu Nayeli akhirnya menjadi istri Anan, pemain Windu Jaya yang menciderainya.
***
Sebenarnya Nayeli masih sempat meyakinkan Afat dan memberikan semangat kepadanya untuk menerima kenyataan. Nayeli seperti ingin menerima keadaan Afat apa adanya. Namun semua harapan Nayelin musnah setelah Afat tidak segera bangkit dan menerima keadaanya.
Afat mengeluarkan kata-kata yang membuat Nayeli sakit hati hingga tidak mau lagi mendekati Afat. Afat menganggap Nayeli senang dengan keadaanya sekarang.
Semua itu bermula dari anggapan Afat yang disimpulkan dari ulah ayah Nayeli, Haji Kamat. Haji Kamat dianggap Afat sebagai dalang dari semua masalah yang ditimpanya, selain Haji Kamat tidak suka Afat dekat dengan Nayeli, juga peristiwa sebelum pertandingan sepak bola itu berlangsung. Afat disogok dengan uang dalam amplop yang tidak tahu persis berapa jumlahnya. Harapan dari Haji Kamat adalah tim Afat mengalah dari tim Windu Jaya. Tentu hal itu membuat Afat murka dan lekas mengusir Haji Kamat meskipun dia adalah Ayah dari wanita yang dicintainya.
“…Lihat saja besok…” Hlm.56
Kata itulah yang diingat betul bagaimana Haji Kamat mengancam Afat dengan tatapan bola mata yang membara. Haji Kamat merasa tidak dihargai sebagai tamu dan begitu juga sebaliknya, Afat tidak terima harga dirinya dibeli hanya untuk menerima uang dan mengalah dalam permainan.
Singkat cerita, Bies sebagai sahabat lama Afat ingin membantu menyemangatinya dan bangkit dari masa lalu. Semua inisiatifnya berangkat dari saran Lik To yang juga mengalami kisah hidup yang mirip dengan Afat. Meskipun Afat adalah anak dari orang yang pernah menyakiti Lik To, namun hati Lik To tidak serta merta tega dan mengamini yang sudah dialami oleh Afat.
Bies mencoba menemui Afat dengan membawa kota kecil berisi catatan Afat yang didapat dari Nayeli. Namun ketika Bies memberikan kepada Afat bukan keceriaan atau kebahagiaan yang didapat. Afat merasa murka ketika ditunjukan benda itu. Afat seperti sudah malas dengan masa lalu. Baginya tidak ada yang bisa menolong masa lalu, sekalipun oleh Bies sahabat karibnya. Perkelahianpun terjadi antara Bies dan Afat. Membuat mereka saling adu jotos hingga akhirnya keduanya dibawa ke kantor kelurahan.
***
Dari kejadian itu penyesalan menyelimuti Lik To. Bukan karena tidak bisa melindungi keponakanya, namun saat mereka dibawa ke kantor kelurahan, tangan Lik To dilayangkan tonjokan keras ke arah Bies keponakanya sendiri dengan raut wajah emosi yang tak terkendali. Lik To benar-benar menyesali kejadian itu setelah mendapati ibu Bies memberikan kabar bahwa Bies sedang kabur dari kemarahan ayahnya di rumah karena kegiatanya sehari-hari hanya diisi dengan membaca majalah bola dan menulis artikel bola.
Bies adalah seorang pemain bola yang harus mengubur dalam-dalam cita-citanya karena penyakit asma yang dideritanya. Penyakit itu mengaharuskan dia untuk tidak terlalu banyak bergerak dengan mengeluarkan tenaga berlebihan, seperti halnya bermain bola. Mungkin dengan membaca artikel bola dan menuliskanya sebagai upayanya untuk terus terjun dalam urusan sepak bola.
Dari perkelahian itu juga Nayeli mendatangi rumah Lik To dengan maksud meminta tolong agar Lik To bisa mendamaikan mereka berdua. Nayeli mendengar perkelahian Bies dan Afat dari Anan, suaminya. Saat itu Anan berkeluh kesah tentang kejadian yang ada di kantor akibat perkelahian Bies dan Afat. Namun yang membuat Nayeli merasa lega, suaminya tidak mengetahui apa yang sebenarnya membuat mereka berdua berkelahi.
Akhirnya dengan kedatangan Lik To ke rumah Afat memunculkan obrolan permintaan maaf Afat kepada Lik To yang sempat menimpalinya ketika berada di kelurahan. Lik To sudah memaafkan Afat sejak awal dan memintanya untuk memaafkan Bies keponakanya sebelum akhirnya bertolak ke Jakarta.
Kesan Terhadap Buku ini
Begitu nyamanya saya membaca buku karya seorang penulis berkelahiran di Cirebon ini, hingga mampu terselesaikan dalam kurun waktu satu malam saja. Malam itu juga saya menemukan kesalahan yang mungkin bisa diperbaiki ketika mencetaknya kembali. Terdapat pada halaman 85, “…Oh iya, aku baru ingat, tadi siang kmau mau cerita tentang Nayeli, bukan?”
Entah mengapa tulisan Ruly Riantiarno ini membuat saya begitu tenggelam dalam kisah dan seperti tidak ingin menyudahi membaca dan meletakan untuk saya tunda hari berikutnya seperti buku-buku lainya yang pernah saya baca. Teruslah membaca dan teruslah menulis meskipun tidak terbit di media! Begitu akhir pesan Bies kepada Afat yang sudah menggegerkan kampungnya karena tulisanya berhasil di muat dalam koran. Selamat membaca!
Judul Buku | : Tidak Ada Kartu Merah |
Penulis | : Ruly R |
Penerbit | : PT Kompas Media Nusantara |
Kota Terbit | : Jakarta |
Cetakan, Tahun Terbit | : Cetakan Pertama, 2019 |
Tebal Buku | : x + 222 hlm |
ISBN | : 978-602-412-562-2 |
Editor: Yahya FR