Opini

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read

Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu “Approaches to the Qur’an: Introduction.” Ia menjelaskan pentingnya meneliti perkembangan atau mengembangkan fenomena tafsir yang terjadi di Indonesia. Ia mengawali dengan menguraikan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab bimbingan dan inspirasi bagi seluruh Muslim, khususnya dan umat manusia secara keseluruhan di dunia.

Para peneliti Indonesia memiliki banyak produk karya di Indonesia, namun sulit bagi peneliti non-Indonesia untuk mengenalinya. Di sisi lain, maraknya peneliti non-Indonesia yang mendiskusikan pemikiran-pemikiran Indonesia, baik terkait tema-tema Islam maupun Al-Qur’an, menciptakan kesenjangan antara keduanya.

Adapun ketimpangan tersebut yaitu: Pertama, membuat ketersediaan bagi seorang pembicara bahasa Inggris terhadap sebuah sampel tulisan mengenai Al-Qur’an yang berhubungan dengan para intelektual dari negara dengan populasi terbanyak di dunia. Kedua, menjelaskan karya dari jajaran para penulis Indonesia.

Pendekatan terhadap Al-Qur’an di Indonesia dihubungkan dengan perkembangan keduanya di Indonesia dan dunia Muslim. Sebagai contoh, perkembangan penafsiran di Mesir yang ditransmisikan menjadi apa yang disebut ‘Indonesia’ oleh para mahasiswa di seminar al-Azhar pada akhir abad ke-19.

Pada abad ke-19 terdapat sentuhan antara Indonesia dan pusat aktivitas intelektual di dunia Muslim. Banyak pengaruh dari luar dan saling bertukar, serta konteks sosial, politik, dan intelektual Indonesia sendiri yang telah menyediakan basis inti untuk perkembangan terkini dan pendekatan-pendekatan bervariasi terhadap kajian Al-Qur’an pada bagian selanjutnya dari abad ke-19.

Modernisasi dalam Tafsir

Tren modernisasi dalam epistemologi tafsir sering dikaitkan dengan Shah Wali Allah (w. 1762) dari India, yang hidup semasa dengan kerajaan Mongol. Kegelisahannya berawal dari ketidaksesuaian antara pesan-pesan kandungan Al-Qur’an dengan realitas kehidupan umat Muslim. Akhirnya, ia menampilkan gagasan yang memperluas konsep ijtihad dan mempersempit ruang bagi taqlid. Ia pun sangat mengelaborasikan akal dalam penafsiran.

Baca Juga  Hermeneutika Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Qur'an

Diskursus atau opini dari ide tafsir rasionalnya ini, menurut Baljon, sangat kuat pengaruhnya di wilayah Indo-Pakistan pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Bahkan, ketika ada cendekiawan yang ingin mengetahui wacana keislaman pada saat itu, mereka secara langsung merujuk pada pandangan Shah Wali Allah.

Selain Shah Wali, ada juga tokoh bernama Sir Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) dari India. Ia menilai bahwa umat Islam perlu mengevaluasi kembali tradisi, warisan, dan pola pikir mereka dengan pengetahuan, nilai, dan institusi Barat. Pengaruh pendekatan Ahmad Khan ini sangat mengakar dalam berbagai sarjana tafsir di wilayah India.

Tak luput juga, ketika kita membincangkan wacana diskursus tafsir modern, ada nama yang memiliki popularitas dan pengaruh yang sangat kuat, yaitu Muhammad Abduh. Abduh dapat dikatakan merupakan pionir penyebar modernitas Islam di Nusantara melalui majalahnya, al-Manar, yang tersebar di Indonesia pada awal abad ke-20. Walaupun penyebaran al-Manar ini dilakukan oleh muridnya, Rasyid Ridha.

***

Teori penafsiran gagasan Abduh adalah al-Adabi al-Ijtima’i, di mana Al-Qur’an tidak hanya dipandang sebagai ayat-ayat hukum, tetapi juga prosesi menggalian makna yang tidak terlepas dari konteks realitas masyarakat sekitar (pendekatan sosiologis).

Kelanjutan episode dari era Abduh diperluas dengan pendekatan tafsir tematik oleh Amin Al-Khulli (w. 1966). Tafsir tematik ini menitikberatkan pada relasi antar ayat yang memiliki kesamaan kandungan/tema serta tidak luput memperhatikan konteks historisnya.

Dari era Amin Al-Khulli, tren pendekatan-pendekatan tafsir bergenre modern ini terus berlanjut, mulai dari Bintu Syath’i (w. 1998), Muhammad al-Ghazali (w. 1996), Sayyid Quthub (w. 1966) dalam tafsirnya, Fí Zhilal al-Qur’an, serta Muhammad Husain Thabatthaba’i (w. 1981) dengan tafsirnya, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Mereka mengembangkan gagasan pendekatan tematik dan konteks sejarah ayat.

Baca Juga  Tes Kemampuan Akademik: Asesmen Pendidikan Inklusif untuk Semua

Selain para pengkaji Al-Qur’an di atas, kita juga mengenal sosok bernama Fazlur Rahman (w. 1988), seorang penduduk Amerika berdarah Pakistan. Ia sangat mengkritik umat Muslim era awal yang dianggapnya tidak memahami kesatuan makna dari Al-Qur’an dan selalu berpegang teguh pada atomistik. Pendekatan double movement yang digagas Rahman dikembangkan dari teori hermeneutik. Menurutnya, pada era modern ini, penggunaan hermeneutik memiliki peran yang sangat penting.

Bagaimana Perkembangan Modernitas di Indonesia

Sejak tahun 1920-an, debat tentang Islam dan pemikiran Islam di Indonesia umumnya berkembang selama perpecahan antara ‘modernitas’ dan ‘tradisionalitas’ Muslim. Adapun Islam modern dibawa ke Indonesia oleh para mahasiswa/peneliti sepulangnya dari Timur Tengah, khususnya Mesir.

Salah satu penggerak modernitas adalah organisasi modern pertama di Indonesia, yaitu Muhammadiyah, yang dibentuk oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1912. Muhammadiyah memiliki kemajuan dalam berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, dan menaruh perhatian terhadap isu-isu seperti ijtihad dan reformasi hukum Islam, serta mengkritik keras praktik-praktik bid’ah/khurafat.

Selanjutnya, terjadi respon atas perkembangan pergerakan modernitas. Nahdlatul Ulama (NU) dibentuk pada tahun 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’ari. NU lahir berdasarkan dukungan dari orang-orang kolot, Muslim tradisional di pedesaan Jawa, dengan benteng pertahanan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Konsep ide ijtihad yang digagas oleh NU berawal dari Muhammadiyah. Namun, kekentalan ajaran tasawwuf (sufisme), menjunjung ketaqlidan, serta melakukan ziarah kubur masih dianggap suatu kebid’ahan oleh kelompok modernis.

***

Perkembangan wacana modernitas Islam di Indonesia juga dikembangkan pada institusi-institusi pendidikan/perguruan tinggi, seperti di IAIN yang dikembangkan oleh Menteri Keagamaan, Mukti Ali. Dialah yang memasukkan serta menerapkan pendekatan-pendekatan modern di IAIN, dengan tujuan agar IAIN menjadi lembaga pembelajaran Islam modern sekaligus sebagai agen modernisasi ajaran Islam di Indonesia.

Baca Juga  Lebaran dan Hiperealitas Kecantikan: Antara Tren, Budaya, dan Syariat

Dari sini, Abdullah Saeed menyoroti perkembangan para sarjana dan cendekiawan di lingkungan IAIN, khususnya dalam kajian atas tafsir dan Al-Qur’an dari karya-karya mereka. Namun, Saeed memperhatikan bahwa hanya IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta yang tampak serius dalam menerapkan wacana tafsir modern. Hal tersebut terlihat dari hasil karya-karyanya, baik berupa artikel jurnal, tesis/skripsi, maupun penerjemahan buku berhaluan hermeneutik dan modernisasi.

Pada akhirnya, kita dapat menyadari kompleksitas perkembangan wacana diskursus tafsir di Indonesia, sebagaimana yang ditelusuri oleh Abdullah Saeed. Ada haluan yang masih berpegang teguh pada tradisi tradisionalitas. Ada juga yang melepaskan diri dari belenggu kultur tradisional, lalu membawa serta mengakomodasi konsep-konsep modern dalam prosesi penafsiran Al-Qur’an.

Editor: Yafaro

Roma Wijaya
16 posts

About author
Dosen STAI Syubbanul Wathon Magelang Minat Kajian Tafsir, Hadis, Sejarah, Pemikiran Islam, Gender
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *