Tafsir

Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Qur’an

2 Mins read

Oleh: Shamsi Ali

Masyarakat Madani

Pada bagian yang lalu disebutkan bahwa ummatan wasathan itu memiliki tujuh karakterirsitk dasar. Empat di antaranya telah disebutkan. Yaitu, bahwa ummatan wasathan itu berkeadilan, berkeseimbangan, toleran, dan mengedepankan musyawarah dalam urusan bersama.

Kali ini, saya akan sampaikan dua lainnya. Sementara yang satu lagi akan saya sampaikan secara terpisah. Karena yang terkahir ini akan sangat krusial dan relevan dengan kehidupan umat dan bangsa Indonesia saat ini.

Kelima, bahwa ummatan wasathan atau masyarakat madani dalam perspektif Al-Qur’an itu berwawasan “al-ishlaah” (perbaikan).

Jika pada pada tataran individu Al-Qur’an memproses terbentuknya manusia yang saleh atau baik maka pada tingkatan masyarakat diharapkan dari manusia-manusia itu tidak saja baik, tapi juga membawa perbaikan kepada alam sekitarnya.

Orang yang baik pada dirinya disebut “shaleh” (orang baik). Tapi ketika orang baik tersebut menransfer kebaikan itu pada orang lain, atau kebaikannya itu membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam masyarakat maka orang tersebut disebut “mushlih” (pembawa kebaikan).

Ketika ummatan wasathan terbentuk dan hadir dalam kehidupan manusia,  maka manusia akan merasakan “perbaikan-perbaikan” itu.

Di bidang ekonomi, misalnya,  masyarakat madani (ummatan wasathan) akan membawa sistem perekonomian dari sistem yang kerap mencekik dan manipulaif ke sistem yang bermoral dan berkeadilan. Karena sesungguhnya, sistem ekonomi Islam (syariah) senantiasa menjaga nilai-nilai moralitas dan keadilan.

Di bidang politik, ketika masyarakat madani (ummatan wasathan) terbentuk, maka akan terwujud politik yang bermoral, santun, dan berorientasi kemaslahatan publik.

Dari politik yang kerap manipulatif dan mementingkan kepentingan pribadi dan golongan, ke sistim politik yang terbangun di atas nilai-nilai moralitas dan orientasinya untuk kebaikan umum.

Baca Juga  Benarkah Wanita yang Buruk untuk Lelaki yang Buruk?

Demikianlah seterusnya. Ketika ummatan wasathan hadir maka akan terjadi perbaikan-perbaikan dalam segala lini kehidupan masyarakat. Tentu perbaikan yang terutama akan terjadi dalam bidang akhlak dan moralitas. Anggota masyarakatnya akan saling sayang, saling tenggang rasa, dan menghindari segala kekejian dan kemungkaran.

Intinya masyarakat madani akan menghadirkan setiap saat perbaikan-perbaikan dalam setiap aspek kehidupan kolektif manusia. Di bidang ekonimi, politik, budaya, sosial dan seterusnya.

Akan hadir perubahan-perubahan itu ke arah yang lebih baik. Yang dengannya, masyarakat akan hidup secara tenang, tentram, dan bahagia secara kolektif.

Keenam, bahwa masyarakat madani atau ummatan wasathan itu berwawasan ketauladanan (al-Qudwah).

Oleh karena ummatan wasathan itu memang selalu baik dan membawa perbaikan maka dengan sendirinya masyarakat itu akan terbentuk menjadi Ummah atau masyarakat yang baik, bahkan terbaik (khairu ummah).

“Kamu telah dihadirkan sebagai Umat terbaik. Kamu menyeru kepada kebaikan, melarang dari kemungkaran, dan beriman kepada Allah” (Al-Imran).

Karena ummatan wasathan atau masyarakat madani itulah yang terbaik (best). Maka dengan sendirinya, akan menjadi panutan bagi masyarakat lainnya. Masyarakat madani akan menjadi rujukan dan juga sumber kebaikan untuk masyarakat lainnya.

Al-Qudwah sejatinya tidak sekedar berarti contoh tauladan. Tapi lebih dari itu ketauladanan (al-qudwah) ini juga mengindikasikan makna kepemimpinan.

Bahwa ummatan wasathan yang dibangun oleh Al-Qur’an itu, memiliki orientasi ke posisi kepemimpinan. Artinya masyarakat madani (Islami/Qur’ani) sebagai masyarakat “terbaik” (Khair) selain akan menjadi tauladan dalam kehidupan masyarakat, juga harus mengambil alih tanggung jawab “imamah” (kepemimpinan) dalam kehidupan manusia.

Dan itulah sesungguhnya makna “litakuunu syuhadaa alan naas” (agar kamu menjadi saksi-saksi atas manusia). Mempersaksikan ketauladanan dan menyaksikan (menjaga) agar manusia selalu berada dalam batas-batas moral dan kebaikan.

Baca Juga  Yang Luput dari Pembahasan Kisah Ashabul Kahfi

Tragisnya memang umat saat ini gagal menghadirkan ketauladanan itu. Apalagi untuk mengambil posisinya sebagai “imaam al-umam” (pemimpin bagi Umat-Umat) lainnya.

Sebaliknya yang terjadi adalah umat sedang terjangkiti penyakit “inferiority complex” (minder). Umat merasa lemah dan tidak mampu. Akibatnya mereka yang terwarnai dan terjerat oleh hawa nafsu buas umat-umat yang lain. Umat bagaikan semut-semut yang berhamburan di selah-selah para gajah dan harimau yang sedang berlaga.

Memang menyedihkan. Tapi itulah realita!

Editor: Yahya FR
Admin
188 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *