Tafsir

Memahami Lebih Dekat Ruang Lingkup Tafsir Tekstual

4 Mins read

Teks dan konteks, dua kata ini tidak bisa dipisah dalam penafsiran Al-Qur’an dan melekat pada epistemologi penafsir. Kenyataan ini berhubungan dengan pengertian tafsir yang diungkap Quraish yaitu “penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia” (Shihab 2021). Seorang penafsir memiliki peran utama menampakkan dan menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dengan berbagai pendekatan (multiface approach) yang digunakan. Ragam kitab tafsir yang ada menyuguhkan kepada umat Islam tentang kekayaan intelektual peradaban Islam, pada sisi lain mengungkap metodologi tafsir dari masa ke masa merupakan kebutuhan penting bagi umat Islam guna mengetahui diskursus wacana keagamaan yang dihasilkan.   

Kenyataan saat ini terkait dinamika tafsir Al-Qur’an ditunjukkan dengan dua pendekatan yang populer di kalangan umat Islam yaitu; pendekatan tekstual dan kontekstual. Dalam pada itu, tulisan ini akan membatasi fokus pembahasan pada diskursus pendekatan tekstual yang selanjutnya disebut tafsir tekstual. Istilah tekstual dalam studi tafsir sering disepadankan dengan model penafsiran skripturalis, konservatif, dan literalis (Pink 2015).  Kesepadanan kata yang ditunjukkan sebelumnya menegaskan bahwa tafsir tekstual menampilkan kemampuan penafsir dalam memahami ayat Al-Qur’an yang menekankan refleksi harfiah teks, oleh sebab itu tafsir tekstual lazim dipahami dengan kecenderungannya mengabaikan konteks sosial yang berkembang.

***

Sebelum membahas lebih jauh, penting kiranya menguraikan pandangan-pandangan para tokoh yang memiliki concern studi tafsir terutama berkaitan dengan tafsir tekstual. Abdullah Saeed membagi tipologi tafsir al-Qur’an secara umum dalam dua kategori; penafsiran berbasis tradisi dan akal (Saeed 2020). Pertama, tafsir berbasis tradisi lebih menekankan model penafsiran seperti yang dicontohkan oleh nabi Muhammad dan penafsir periode klasik, di sisi lain tafsir ini bertujuan membatasi penggunaan akal ketika menafsiri Al-Qur’an. Sedangkan tafsir berbasis akal menghendaki penalaran akal yang dominan terhadap penafsiran ayat Al-Qur’an.

Sementara Sahiron Syamsudin membagi tiga klaster aliran tafsir dilihat dari segi pemaknaan di antaranya; Quasi-obyektivis konservatif, subyektivis, dan quasi-obyektivis progresif (Syamsuddin 2017). Tafsir tekstual tergolong dalam aliran Quasi-obyektivis konservatif perspektif Sahiron. Pandangan ini menurutnya berusaha memahami, menafsiri, dan mempraktikkan ayat Al-Qur’an berbasis teks tanpa memperhatikan konteks pada saat ayat diturunkan dan signifikansinya atas kenyataan dunia yang dinamis. Tentu saja, pandangan ini melahirkan paham keagamaan yang kaku, dan tidak adanya pembaharuan pemikiran Islam dengan tujuan menjawab tantangan-tantangan zaman.

Baca Juga  QS Al-Muddatstsir Ayat 1-5: Wara dan Kesehatan Jiwa Manusia

Bentuk dan Implikasi Tafsir Tekstual

Popularitas tafsir tekstual ditunjukkan dengan bentuk penafsiran ayat Al-Qur’an yang berdampak secara signifikan pada konteks masyarakat majemuk. Misalkan beberapa kasus di Indonesia, interpretasi tekstual atas QS Al-Maidah (5): 51 menampilkan bentuk penafsiran yang dikaitkan dengan kontestasi politik (Firdausiyah 2021). Pandangan tekstualis terhadap ayat ini melahirkan asumsi bahwa Islam menghendaki umat Islam seyogiyanya memilih pemimpin dengan latar belakang yang sama, sikap seperti ini dianggap satu-satunya makna objektif yang dimaksud Al-Qur’an. Padahal pandangan tersebut lebih mengarah pada usaha membatasi makna ayat, pada sisi sosial dianggap menyempitkan ruang demokrasi dalam konteks politik jabatan (parlementer).

Nuansa politis tafsir tekstual juga dapat dipahami sebagai bentuk respon kelompok tekstualis atas pengaruh kuat peradaban modern Barat di kalangan umat Islam. Ahmad Hassan dalam Tafsir al-Furqon menunjukkan perpaduan terjemah harfiah dan tafsiriyah, hal ini ditunjukkan ketika menjelaskan QS. al-Maidah (5): 44, 45 dan 47 sebagai respon dirinya terhadap propaganda konsep nasionalisme oleh Ir. Soekarno dan menegaskan Islam sebagai basis negara Indonesia yang ideal (Mila and Putra 2022). Tentu fenomena pergolakan Islam dan zaman menampilkan ragam kelemahan intepretasi tekstual ketika diterapkan dalam penafsiran. Kelemahan ini terlihat pada aspek pengabaian konteks, baik yang melekat pada teks (asbab nuzul atau peristiwa lokal historis) maupun konteks saat ini.

Kelemahan Tafsir Tekstual

Secara umum kelemahan tafsir tekstual dalam pandangan guru besar al-‘Ulum al-Qur’an UIN Yogyakarta terdapat dalam kontruk epistemologis penafsir, hal ini dikarenakan penafsir memandang teks sebagai pokok (ashl) dan mengabaikan konteks sehingga dikesankan sebagai kelompok ya’budun al-nushush (menyembah teks) (Mustaqim 2019). Pandangan yang hampir sama diungkapkan oleh Saeed, ia menengarai kelemahan tafsir tekstual yaitu; kalangan tekstualis memiliki keyakinan bahwa konteks peradaban manusia bukan patokan utama dalam kehidupan mereka, akan tetapi menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan keyakinan yang mendalam atas kesempurnaan (fixed) tekstualitas Al-Qur’an sepanjang masa (Saeed 2006).

Baca Juga  Perumpamaan Nyamuk dalam Al-Qur'an

Sementara Kazuo Shimogaki menyebutkan sisi lemah tafsir tektual lebih rinci sebagaimana yang dikutip Imam Muhajir sebagai berikut. Pertama kelemahan yang terdapat dalam kenyataan teks diantaranya; 1. Teks dan realitas merupakan dunia yang berbeda, teks tidak dapat merepresentasikan realitas yang dinamis 2. Teks bersifat  monoton yang menuntut kepercayaan terhadap teks dan mengabaikan realitas sebagai bagian dari teks 3. Terdapat keragaman teks agama, sementara realitas bersifat independen-dinamis, keyakinan terhadap satu teks dapat mengantarkan penafsir pada kebenaran partikular 4. Kebenaran yang terkandung teks kurang memadai dalam pembuktian, oleh karenanya keyakinan yang terbentuk dari teks lebih lemah daripada argumentasi berdasarkan empiris atau eksperimentasi 5. Teks dapat bermakna apabila memuat penjelasan (entitas penghubung) terhadap konteks yang ditunjuknya.

***

Kedua, kelemahan dalam ruang lingkup penafsir. 1. Probabilitas kebenaran teks mempengaruhi kehendak penafsir dalam melegitimasi kepentingannya 2. Latar belakang penafsir menjadi basis penyesuaian makna yang diinginkan 3. Penafsir cenderung terjebak pada keyakinannya, emosi keagamaan dan apologi untuk memperjuangkan nilai individual atau kelompok 4. Makna kalangan tekstualis melahirkan narasi yang bersifat nasihat/motivasi daripada merepresentasikan realitas. Metode tekstual menunjukkan penekanan yang lebih terhadap makna kebahasaan sedangkan ekses lain yang diakibatkannya adalah paham keagamaan yang absolut (Putra 2022).

Setelah menguraikan pandangan para tokoh, bentuk dan implikasi tafsir tekstual. Pembahasan selanjutnya akan mendeskripsikan beberapa indikasi pemikiran tafsir tekstual yang begitu populer di kalangan umat Islam tertentu. Saeed dan Sahiron memiliki kecenderungan yang sama ketika menyebut kalangan tradisionalis-salafi sebagai peminat trend tafsir tekstual, namun penyebutan ini dikhususkan pada kalangan tertentu. Salafi memiliki pengertian suatu kelompok yang menekankan ketetapan hukum dan yang lain ketika menafsiri teks dengan menggunakan kaidah-kaidah tafsir Al-Qur’an untuk menarik makna asal (obyektif), daripada memahami tujuan-tujuan penetapan hukum (maqashid) yang terkandung dalam teks, seperti penafsiran Ikhwanul Muslimin di Mesir dan kaum salafi di berbagai negara Islam (Syamsuddin 2017).

Baca Juga  Hikmah Pembagian Surat Makkiyah dan Madaniyah

Salah satu literatur sejarah tafsir menyebutkan tafsir tekstual begitu populer pada periode pertengahan. Hal ini dikarenakan masuknya ideologi penafsir yang mempengaruhi corak tafsirnya. Ketidakadilan pemaknaan pada sisi lain merupakan ekses yang diakibatkan oleh pembatasan makna (reduksi) yang melahirkan makna teks tidak utuh (Ghozali and Rizal 2021). Tafsir tekstual dapat dikatakan identik dengan corak linguistik tafsir periode pertengahan, secara umum penafsir periode ini sering dianggap rentan terjebak nalar ideologis dan lainnya (Mustaqim 2016). Hal yang juga penting dari kalangan tekstualis ialah fenomena pensakralan pemikiran agama (taqdis al-afkar al-diniyah) yang dilandasi pandangan teologis, dan merasa pendapat mereka mewakili kebenaran yang berasal dari Tuhan yang wajib di tegakkan (Mujahidin 2011).        

Simpulan

Tafsir tekstual cenderung menghasilkan pemaknaan yang bersifat partikular-absolut. Dilihat dari bentuk dan implikasinya, tafsir tekstual menampilkan gerak pemaknaan (konstruksi hermeneutis) dari reflekti (teks) kepada praksis (konteks). Sehingga tafsir tekstual dapat menggeser fungsi Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia.

Dengan demikian dapat ditarik benang merah dalam pembahasan ini yaitu Al-Qur’an sebagai sumber utama pedoman manusia terutama bagi umat Islam, tidak hanya dapat dipahami hanya dengan melihat tekstualitas ayat, tetapi penggalian makna historis dan melihat konteks peradaban menjadi kebutuhan mendesak dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

Imam Muhajir Dwi Putra
2 posts

About author
Mahasiswa PPM Aswaja Nusantara
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *