Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Danau Maninjau, Sumatera Barat. Terlahir dengan nama asli Abdul Malik Karim Amrullah, yang merupakan anak dari pasangan Abdul Karim Amrullah dan Saffiah. Ia menikah dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Faham dan memiliki 12 orang anak dengan komposisi 8 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Dua diantaranya meninggal pada usia belita.
Ayahnya, Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan nama Haji Rasul, merupakan pelopor gerakan Islam di Sumatera Barat. Selama tujuh tahun, Ayah Hamka berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, putra Minang yang jadi imam besar Masjidil Haram pada 1894. Sekembalinya ke tanah air, ia memimpin dan membawa harum nama pengajian di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
Mengikuti jalan ayahnya, Hamka secara formal hanya mengenyam pendidikan di SD Maninjau dan belajar agama di Sumatera Thawalib, Padang Panjang. Tetapi selama mengenyam pendidikan di dua sekolah tersebut, ia tidak pernah menamatkannya. Hamka banyak menghabiskan waktunya dengan belajar sendiri. Membaca buku dan belajar langsung pada para tokoh dan ulama, baik yang berada di Sumatera Barat, Jawa, bahkan sampai ke Mekkah, Arab Saudi.
Di Arab Saudi, Hamka meneruskan metode belajarnya dengan membaca kitab-kitab klasik, buku-buku dan buletin Islam dalam bahasa Arab yang di dapatnya di gedung percetakan milik Tuan Hamid, putra dari Majid Kurta, Mertua Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Ia bekerja di sana untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Seorang Aktivis dan Akademisi
Semasa hidupnya, ia pernah menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur, Ketua Front Pertahanan Nasional, Ketua Sekretariat Badan Pengawal Negeri dan Kota, Pegawai Negeri pada Departemen Agama RI, Anggota Konstituante Republik Indonesia, Pengurus Pusat Muhammadiyah, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Prof. Moestopo Beragama, Ketua Majelis Ulama Indonesia dan Ketua Umum Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar.
Ia juga pernah mendapatkan berbagai gelar kehormatan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Cairo, Mesir, Universitas Prof. Moestopo Beragama dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada tahun 2011, yang bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, atas nama Bangsa dan Negara secara resmi memberi penghormatan kepada Hamka sebagai Pahlawan Nasional dari Republik Indonesia.
Menjadi Teladan
Dalam banyak kesempatan, keputusan dan tindakan Hamka menyimpan inspirasi yang patut diteladani bagi generasi hari ini.
Misalnya ketika terjadi pertentangan dengan Pramoedya Ananta Toer yang menuduh buku Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai plagiat dari roman Alphonse Karr (pengarang Perancis) yang telah disadur ke dalam bahasa Arab oleh al-Manfaluti.
Hamka tidak mendendam dan memilih memaafkan. Tindakan ini dikemudian hari dipuji oleh Taufiq Ismail sebagai contoh akhlak yang luar biasa dari seorang pemikir Islam. Memang begitulah Hamka dalam menghadapi berbagai peristiwa penting, baik suka maupun duka semuanya dihadapi dan diterimanya sebagai berkah dari Allah.
Sebagai ulama, sastrawan dan budayawan, Hamka memiliki keistimewaan tersendiri dengan menorehkan tidak kurang dari 118 karya selama hidupnya. Karya-karya itu ditulisnya sejak ia berusia 17 tahun. Hamka juga kerap diundang di forum-forum seminar tentang kebudayaan. Sebuah perpaduan antara dakwah lisan dan pena yang juga diringi sikap lurusnya.
Karya-karyanya sampai sekarang masih diterbitkan melalui Penerbit Gema Insani, diantaranya Pelajaran Agama Islam, 4 Bulan di Amerika, Kenang-kenangan Hidup, Islam Revolusi dan Ideologi, Merantau ke Deli, Prinsip dan Kebijakan Dakwah Islam, Dari Perbendaharaan Lama, Di dalam Lembah Kehidupan, Falsafah Ketuhanan, Sejarah Umat Islam, Pandangan Hidup Muslim, Angkatan Baru dan karya-karyanya yang lain.
Menjelang Wafat
Menjelang wafatnya di usia 73 tahun, ulama yang lahir dari pasangan Haji Rasul dan Safiyah ini mengabdikan diri sebagai imam Masjid Al-Azhar Jakarta. Di Masjid itulah segala kegiatan dan aktivitas dakwahnya dipusatkan. Bertepatan dengan hari ke-22 bulan Ramadan 1401 H, Hamka meninggal dunia. Meninggal di bulan Ramadan, merupakan hadiah Allah untuk Hamka.
Nama Hamka harum dikenang sebagai tokoh yang berjuang untuk Islam, negara, bangsa, sastra, dan kebudayaan. Kontribusi Hamka ini diakui oleh semua orang. Mengutip perkataan Ahmad Syafi’i Ma’arif,
“Jika Hamka memasuki sebuah ranah pemikiran, ia akan terjun ke dalamnya dengan berani dan sepenuh hati. Ia bukanlah jenis manusia yang kepalang tanggung. Ia tipikal orang yang masuk seutuhnya dan berkontribusi sepenuh hati pada apa-apa yang ia minati”.
Di akhir, mari kita berdo’a semoga amal yang ditorehkan Hamka selama hidupnya menjadi amal jariyah. Dan ke depan, akan lahir Hamka baru yang akan berkontribusi untuk agama, bangsa dan negara.
Editor: Dhima Wahyu Sejati