FeatureInspiring

Belajar Memaafkan dari Buya Hamka

4 Mins read

Pagi yang biasa di tahun 1964. Sudah menjadi rutinitas, orang tua yang dihormati itu mengisi kajian ahad pagi di masjid Al-Azhar. Masjid yang Ia rintis bersama empat belas tokoh agama dan tokoh masyarakat di Jakarta. Waktu itu sehabis subuh, orang tua yang biasa disapa Buya Hamka, mengisi kajian untuk ibu-ibu.

Setelah selesai, ia pulang untuk istirahat. Di rumah ada anaknya, Rusydi, serta istrinya, Siti Raham yang sedang tidur di kamar. Ada kabar di tahun itu, banyak ulama dan politisi kanan ditangkap. Tidak heran, masa-masa itu memang sedang riuh intrik politik yang tinggi.

Namun bagi ulama karismatik ini tidak masalah. Sebab Ia merasa tidak terlalu terlibat dalam urusan politik. Walau Buya Hamka sendiri adalah anggota konstituante dan juga tergabung di fraksi Masyumi. Tetap saja ia merasa tenang. Iya, memang tidak ada permasalahan.

***

Dugaannya ternyata salah, datang beberapa polisi berpakaian preman. Polisi itu menunjukkan surat perintah penangkapan. “Jadi saya ditanggap ?” tanya Buya Hamka pelan. Ia tidak mau ribut, takut membangunkan isitrinya. Rusydi kemudian mengemas pakaian yang nantinya akan dibawa ke penjara.

Namun penangkapan itu terlalu gaduh. Membuat Siti Raham terbangun. Ia keheranan, sampai-sampai bingung mau berkomentar apa.  Buya Hamka hanya berpesan untuk tatap tanang dan tegar. Toh, ia merasa tidak bersalah, pasti hanya sebentar.

Entah ke mana Buya Hamka akan dibawa, begitu Siti Raham juga tidak tahu.  Namun polisi menjamin  tetap bisa dihubungi. Segera setelah itu, Buya Hamka dan para polisi masuk ke mobil. Melaju cepat menjauh dari pandangan Siti Raham. Sampai-sampai ,ia pingsan tidak sadarkan diri.

Tepat hari itu, tanggal 12 Ramadan 1383 H atau 27 Januari 1964 H.  Pemilik nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah, seorang ulama, sastrawan sekaligus negarawan ulung, dibawa dan dijebloskan ke penjara.

Baca Juga  Hasyim Muzadi: Pembela Hukum Allah, Non-Syariatisasi

Setelah ditelusuri, ternyata Buya Hamka dituduh terlibat dalam rapat gelap untuk merencanakan pembunuhan terhadap menteri agama dan Soekarno. Tuduhan lain adalah kudeta yang disokong oleh PM Malaysia, Tengku Abdul Rahman. Tentu saja kedua tuduhan itu tidak terbukti.

Kondisi Keluarga Selama Buya Hamka Dipenjara

Biar bagaimanapun Buya Hamka adalah kepala rumah tangga. Ketika ditahan, kondisi perekonomian keluarga semakin sulit.  Apalagi buku-bukunya yang diterbitkan, disita oleh front kiri (komunis). Pemasukan keluarga otomatis berhenti.

Kenang Irfan Hamka dalam bukunya Ayah. Siti Raham harus pergi ke pengadaian untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Sering kali ia tidak bisa menebus perhiasan yang digadaikan. Akhirnya ditahan dan dilelang oleh pihak pengadaian. Siti Raham juga sampai harus menjual perhiasan miliknya ke Toko Mas Pasar Sawah Besar.

Dalam kondisi seperti ini, Siti Raham berusaha mencari royalti yang tersisa dari penerbit. Jika ada, akan ia gunakan untuk biaya hidup sehari-hari. Maka, pergilah ia ke rumah seorang pemilik terbitan buku di daerah Kebayoran Baru.

Siti Raham bermaksud menanyakan adakah hak royalti yang bisa ia ambil. Namun pemilik penerbit ini mengatakan buku-bukunya disita dan tidak terjual.

“Begini Ummi, kami mendapat musibah. Buku-buku Buya yang baru selesai dicetak, disita orang. Orang yang menyitanya dikawal polisi pula. Bahkan yang di atas mesin cetak juga diangkut. Dari mana kami dapat uang. Saya bergegas sekarang. Ummi, ini ada uang ihsan (sedekah) dari saya, bisa untuk membeli beras” kata pemilik penerbit.

Siti Raham merasa tidak nyaman. Wajahnya mulai memerah.

“Ummi datang kemari bukan untuk mencari sedekah. Ummi hendak bertanya, sebelum Buya ditangkap, apa masih tersisa honor Buya yang belum dibayar ? kalau masih ada keluarkanlah. Bila tidak ada lagi, tidak apa-apa kami segera pulang. Untuk uang ihsan itu, berikan kepada orang yang lebih berhak,” tegas Siti Raham. Ia menolak lantaran tidak mau meminta-minta.

Baca Juga  Mulla Shadra: Pemikir Terbesar Pasca Ibnu Rusyd

Setidaknya Siti Raham harus bersabar selama masa tahanan suaminya. Kondisi ekonomi ini dihadapi Siti Raham dengan tegar.

Memaafkan Soekarno

Ada kecurigaan bahwa penahanan Buya Hamka bukan semata untuk menegakkan hukum, malainkan hanya bersifat politis. Buya Hamka ditahan dengan dalih melanggar UU Anti Subversif Pempres No. 11. Undang-undang ini nyatanya ngaret. Bisa digunakan untuk menahan siapa saja yang dianggap anti revolusi.

Ditahannya Buya Hamka yang bermuatan politis disebut-sebut karena ketegangan pasca sidang konstituante. Yang membahas tentang dua wacana yang sama kuat. Akankah Republik ini didasarkan pada Pancasila atau Islam. Atas situasi ini pula, banyak dari fraksi Masyumi dan kekuatan poros kanan ditahan.

Buya Hamka baru bisa bebas setelah prahara 30 September yang berujung jatuhnya rezim Soekarno. Seketika itu Soeharto naik sebagai presiden. Tahanan politik oleh pemerintah dibebaskan. Lalu Buya Hamka kembali melakukan rutinitas untuk berdakwah dan menulis.

Hingga pada tanggal 16 Juni 1970, Buya Hamka ditemui oleh Meyjen Soeryo perwakilan dari istana  yang juga ajudan Soeharto. Ia mengabarkan bahwa Soekarno telah tiada. Tidak hanya itu, Soeryo juga membawa pesan khusus dari Soekarno.

“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.” isi dari pesan Soekarno.

Mendengar kabar kematian Soekarno, Buya Hamka langsung bergegas ke Wisma Yaso. Di sana sudah hadir para pejabat dan presiden Soeharto. Kematian Soekarno mengejutkan rakyat Indonesia. Menjadi duka bagi rakyat, mengingat Soekarno cukup mendapat tempat di hati rakyat Indonesia.

Tanpa pikir panjang, Buya Hamka langsung mengimami sholat Jenazah. Ia mengabulkan pesan Soekarno yang disampaikan kepadanya. Buya Hamka ikhlas memaafkan. Jiwa besar dan hati lembut Buya Hamka menghantarkan pada satu sikap yang lapang.

Baca Juga  Bersimpuh di Arafah, Semua Setara di Hadapan Tuhan
***

Luka politik masih terasa di beberapa teman sejawat Buya Hamka. Beberapa menanyakan sikapnya terhadap Soekarno. Padahal jelas-jelas rezim saat itu menahannya dan membuat keluarga mendirita. Bahkan ada yang mengatakan Soekarno itu munafik. Intrik politik yang membekas luka begitu dalam membuat beberapa teman Buya Hamka sakit hati terhadap Soekarno.

Buya Hamka menolak pandangan itu, ia menjawab keraguan atas tindakannya yang mengaminkan permintaan Putra Sang Fajar, Soekarno, dengan jawaban yang bersahaja.

“Hanya Allah yang mengetahui seorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia (Soekarno) tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik. Saya tidak pernah dendam dengan orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Alquran 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu,” kata Buya Hamka dalam  Ayah hal. 257.

Jiwa besar Buya Hamka, memberikan teladan yang amat besar. Perlakuan rezim yang mengkhianati Buya Hamka sebagai warga negara, malah ia balas dengan sikap rendah hati untuk memaafkan.

 

Dhima Wahyu Sejati
10 posts

About author
Editor & kontributor di IBtimes.ID
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *