Feature

Zonasi Jodoh di Bumi Manusia

3 Mins read

Oleh: Sifa Lutfiyani Atiqoh*

Jujur aku iseh sayang, wegah kelangan (jujur aku masih sayang, tak mau kehilangan)

Mergo tresno wes tak patri ning njero ati (karena cinta sudah terpatri di dalam hati)

Nanging arep piye maneh, iki we kahanan.. kudu pisahan (tapi mau bagaimana, begini keadaanya)

….

Mung kependhem roso tresno (Cuma terpendam rasa cinta)

Bebarengan ora bakal dadi nyoto (kebersamaan tak mungkin jadi nyata)

Pengen langgeng yo kui karepku (ingin langgeng, ya itu keinginanku)

Nanging wong tuaku ora setuju.. (tapi orangtuaku tidak setuju)

Lagu koplo galau yang dipopulerkan mbak Nella Kharisma itu, begitu menohok dan menggambarkan perasaan para pasangan milenial yang miskin restu. Tak ayal, lagu–lagu koplo yang bikin sad react menjadi favorit saya belakangan ini –karena adanya perasaan persamaan nasib-. terlebih lagu-lagu sang maestro Didi Kempot, the godfather of broken heart –sejujurnya saya sangat bangga beliau menyandang gelar tersebut-.

Barang kali itu semua dikarenakan  lagu-lagu itu cukup menggambarkan kegalauan hati saya. Bagaimana tidak, saya diminta oleh keluarga saya untuk putus dengan pacar saya, karena kami berbeda pulau dan suku.

Ini semua karena zonasi! Ya Zonasi Jodoh yang secara tidak langsung, disadari atau tidak, nyatanya ada dalam kehidupan kita sehari-hari dan itu diberlakukan di keluarga saya. Sedih iya, kesel iya, ah.. wes pokoke rasannya nano-nano. Saya berfikir, semua itu semata-mata karena keadaan geografis Indonesia yang pulau-pulaunya bertaburan –bagai bintang di langit kalau kata Ir. Soekarno- dan dipisahkan oleh lautan. Tentu ini logika ngawur yang tak bisa dibenarkan.

Dalam tradisi keluarga saya, zonasi jodoh ini lebih pada jarak antara rumah keluarga dan calon besan. Tampaknya itu tidak hanya terjadi dalam keluarga saya, pasalnya beberapa teman kuliah saya juga merasakan hal yang sama. Tidak boleh beda kota lah,tidak boleh beda kecamatan lah, tidak boleh beda desa juga jangan-jangan. Ruwet bener pokoknya, karena meskipun tidak ada tata aturan yang baku dan tertulis dalam keluarga saya -dan mungkin beberapa teman saya tadi- tapi aturan tersebut diberlakukan dengan ketat.

Baca Juga  Sepuluh Tahun Gus Dur, Merindukan Pembela Kaum Tertindas

Dengan analisis saya yang pas-pasan -dibuktikan dengan skripsi yang tak kunjung kelar- dan terdengar sotoy. Mari bertabayyun, dalam kebhinekaan Indonesia, ternyata masih terselip adanya perasaan superior di tiap kelompok masyarakat. Disadari atau tidak, meski dalam kehidupan bernegara tidak terlalu kentara, namun dalam komunitas yang lebih kecil lagi seperti keluarga maupun sebagai seorang individu, kadang kita belum sepenuhnya terbebas dari perasaan superioritas, dna menganggap komunitas yang lain kurang baik. Meski hanya dalam fikiran, bagi saya ini cukup bermasalah dan meresahkan.

Bukankah kita sudah terlampau sering diingatkan. Salah satunya oleh Pram, lewat dialog Jean Marais dalam “Bumi Manusia”. Ia mewanti-wanti bahwa, seorang terpelajar itu harus adil sejak dalam pikiran. Menyelaraskan antar laku dan pikir memang susah-susah gampang, tapi tentu itu perlu dilakukan.

Di negara Indonesia, kemajemukan adalah sebuah keniscayaan. Namun, ketika keluarga mendapat calon menantu beda pulau langsung ditolak. Dengan alasan adanya perbedaan budaya yang terlampau ekstrem antara suku A dengan suku B misal, seorang bisa digagalkan menjadi menantu. Padalah babak romansa kedua sejoli tersebut sudah dibangun bertahun-tahun, lah.. mak jegagik dalam musyawarah keluarga ternyata hubungan mereka tak emndapat restu. Tentu hal tersebut benar-benar terjadi dalam dunia nyata, dan tak jarang menimbulkan permasalahan lain.

Ketidakmampuan kita dalam menerima perbedaan sungguh sangat perlu dipertanyakan. Bagaimana tidak! Indonesia sebagai suatu negara, kalah eksis lebih dulu dengan kenyataan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Dengan adanya perasaan kesamaan nasib maka pada 1928 pemuda berkumpul untuk sama-sama bersumpah meleburkan perbedaan dan mencari titik persamaan, sebagai pijakan berjuang bersama. Kan repot bila pemuda Indonesia pada masa itu masih disibukkan dengan urusan mana kelompok masyarakat yang paling keren, atau tampan dan cantik, atau pandai dan tidak.

Baca Juga  Kisah Perjuangan Hidup Sang Marbot, Mengabdi Penuh untuk Persyarikatan

Perasaan superioritas pada dalam diri individu kadang tidak disadari secara langsung akan menjadi sebuah bom waktu yang dapat meledak dimasa mendatang. Kita baru saja mengalaminya kemarin. Masih hangat dalam ingatan kita perihal sekelompok mahasiswa dari timur yang dikatai sebagai monyet. Bagaimana bisa perkataan yang syarat akan rasialisme itu dilontar begitu saja? apabila dalam fikiran sang pengucap tidak tertimbun sedikit demi sedikit perasaan primitif berupa superioritas, tentu sangat sulit ucapan rasialis macam itu mudah dilontarkan.

Rasialis, yang tak kalah menyayat hati bagi millenial salah satunya bila berhubungan dengan babak romansa sepasang kekasih yang tak mendapat restu karena perbedaan. Selama 74 tahun Indonesia merdeka, slogan-slogan multukulturalisme, kebhinekaan memang berhasil didengungkan dengan lantang. Namun, tak jarang yang mendengungkan hal tersebut juga memiliki ketidakmauan untuk menerima orang yang diidentifikasi tidak sekelompok menjadi bagian dari keluarganya.

Bila dulu pada masa perjuangan kemerderkaan, rakyat Indonesia bersatu karena adanya perasaan senasib dan musuh bersama yang nampak di depan mata –kolonialisme-, maka sekarang kita dihadapkan dengan musuh yang lebih halus. Apa jika bukan perasaan superioritas yang melahirkan rasialisme. Karena sungguhpun Tuhan sangat membenci orang-orang yang melampaui batas, orang-orang yang merasa lebih hebat dibanding sesamanya.

Perlu ada penawar untuk cara berfikir yang cenderung eksklusif seperti itu. salah satunya dengan membangun kerangka berfikir yang kosmopolit, kita bisa menghilangkan negative thinking dengan kelompok yang berbeda atau orang yang dianggap “berbeda” dengan kita. Perasaan menerima perbedaan sejak dalam pikiran perlu di tanamkan pada setiap individu, sehingga berkuranglah babak pergalauan karena cinta tak direstui akibat si de’e dianggap berbeda. Sehingga lagu-lagu galau tidak akan lagi menimbulkan sad react yang berlebihan bagi para the broken heart.

*Penulis adalah Pegiat Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *