Feature

Kisah Perjuangan Hidup Sang Marbot, Mengabdi Penuh untuk Persyarikatan

5 Mins read

Sang Marbot I Makamhaji-Solo, medio 1990. Masa tinggal mahasantri angkatan 1986 di Pondok Shabran UMS sudah habis. Kuliah-kuliah teori memang sudah selesai. Tetapi kami masih harus menulis skripsi. Karena harus keluar asrama, maka kami bertebaran di sekitar Shabran. Sebagian kos dan sebagian yang berasal dari sekitar Solo pulang ke rumah masing-masing.

Bagi mereka dengan latar belakang keluarga berekonomi kuat, tentu tidak masalah untuk kos. Tetapi mereka yang hidup “bisa menepi karena belas kasihan ombak” harus memulai perjuangan baru. Menyelesaikan skripsi sekaligus menyiapkan akomodasi hidup. Beruntunglah mereka yang selama kuliah juga aktif membina masjid di kampung sekitar. Mereka bisa kos sekaligus menjadi marbot masjid. Sehingga sering mendapat santunan jamaah. Belakangan mencintai masjid juga menjadi pembuka jalan bagi masa depan yang lebih baik. Sebagaimana dialami, sebut saja Sang Marbot, yang menjadi inspirasi ceritaku kali ini.

Segera setelah keluar dari asrama Shabran pada 1990, Sang Marbot tinggal di Kartosuro. Di tempat baru dia meneruskan kegiatan yang sudah dia tekuni sejak kuliah, yaitu mengajar mengaji ibu-ibu. Sebagai guru mengaji, Sang Marbot sering diberi beras dan lauk. Tetapi kondisinya tidak makin baik. Ekonomi orang tuanya melemah. Maka Sang Marbot memutuskan sementara cuti dari kuliah dan mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Lalu datanglah teman lama mengajak dia mengajar dan menjadi pembina Pondok Al-Irsyad di Salatiga.

Sang Marbot pun hijrah ke Salatiga. Sang Marbot memiliki jaringan ke Pondok ini, karena sebagai alumni Pesantren PERSIS Bangil-Jatim. Penguasaan Bahasa Arab selama di Pesantren dulu menjadi modal Sang Marbot menjadi pendidik di Pesantren kini. Mudir Pesantren Al-Irsyad ini mengizinkan Sang Marbot mengajar di pesantrennya sambil menyelesaikan kuliah di Pondok Shabran. Sang Marbot  mengajar di pesantren ini sampai 1994.

Selesai kuliah dari UMS pada 1994, Sang Marbot pulang ke NTB. Disini Sang Marbot mulai mengajar dan menjadi kepala sekolah Madrasah Diniyah di Ampenan. Pada masa ini, penulis ketika dalam sebuah acara di Mataram sempat singgah di rumah Sang Marbot ini. Untuk menambah penghasilan, Sang Marbot menjadi guru mengaji privat bagi anak-anak orang Arab disana. Pada saat yang sama, Sang Marbot mulai mengajar sebagai dosen honorer di Universita Muhammadiyah Mataram (Ummat).

Baca Juga  Dzawin Nur Ikram, Pelawak Tunggal Humoris Radikal

Pada 1996, Sang Marbot diangkat menjadi dosen tetap untuk mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di Fakultas Teknik Ummat. Maka sejak tahun itu juga, dia mulai fokus di kampus. Pada tahun ini juga anak pertamanya lahir. Gaji pokoknya per bulan adalah 56 ribu rupiah. Tentu belum cukup untuk hidup sekeluarga. Maka selain terus mengajar mengaji privat anak-anak orang Arab, dia juga mengajar mengaji privat dari rumah ke rumah. 

Lalu seorang tamu bernama Syaikh Khurri dari AMCF berkunjung ke Ummat. AMCF (Asia Moslem Charity Foundation) adalah lembaga filantropi dari Uni Emirat Arab yang banyak membangun masjid, Ma’had Bahasa Arab, dan kegiatan kemanusiaan di Indonesia. Syaikh Khurri ingin membangun masjid dan klinik di Ummat.

Sebagai alumni Pesantren, tentu Sang Marbot bisa berbahasa Arab. Maka dia percaya diri menjemput Syaikh Khurri di bandara dan mendampinginya selama di Ummat.  Sejak itu, Sang Marbot menjadi orang yang dekat dengan tokoh yang malang melintang ke berbagai pelosok tanah air ini. AMCF banyak menjadi sponsor bagi berdirinya puluhan Ma’had Bahasa Arab di berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah di tanah air. Salah satunya adalah di Ummat.

Pada suatu waktu, aku juga sempat mendampingi Syaikh Khurri yang berkunjung ke UMY. Pada kesempatan yang lain, aku berkesempatan ke Pulau Arar di Sorong. Di pulau terpencil ini ternyata juga ada beberapa program AMCF.

Sang Marbot kemudian menjadi ketua Takmir Masjid Kampus Ummat. Sebagai ketua takmir, Sang Marbot membina masjid ini bersama marbot yang sesungguhnya. Mereka lalu merintis shalat Jumat sesuai paham Muhammadiyah dengan adzan sekali. Ini sesuatu yang baru di Mataram saat itu. Jamaahnya diangkut dari Panti Asuhan Muhammadiyah. Saat itu perkuliahan Ummat masuk sore. Lama kelamaan masyarakat perumahan sekitar bergabung. Sebagian mereka menjadi khatib.

Masjid ini makin ramai sejak tahun 2000-an ketika kuliah pagi dimulai di Ummat. Sang Marbot lalu mengusulkan pendirian Lembaga Studi Islam (LSI). Sebelumnya banyak dosen putri Ummat  yang tidak memakai jilbab. Sebagian bahkan mengajar  dengan rok pendek. Atas inisiatif Sang Marbot, keluarlah SK Rektor tentang kewajiban berjilbab bagi dosen perempuan  ketika mengajar.  Cerita Sang Marbot, “tentu ada pengecualian bagi dosen non muslim. Kan dosen Ummat waktu itu  ada juga yang beragama Hindu.”

Baca Juga  Keberanian, Kebebasan, dan Tanggung Jawab: Etika Santri Pondok Shabran

Di samping menjadi akademisi di kampus, Sang Marbot juga aktif di Persyarikatan. Sekembali ke Mataram pada 1994, Sang Marbot bergabung ke DPD IMM NTB. Dia sempat menjadi wakil ketua DPD IMM NTB. Pada masa ini Bang Umar Jahidin, senior alumni Shabran, sudah terlebih dahulu pulang ke Mataram dan menjadi aktivis IMM disana.

Selanjutnya, Sang Marbot juga aktif di dan menjadi Wakil Ketua PW Pemuda Muhammadiyah NTB. Sang Marbot juga menjadi pengurus Majelis Tarjih PWM NTB selama dua periode. Pada periode pertama sebagai sekrataris dan pada periode berikutnya menjadi wakil ketua. Keaktifan dalam bidang ke-Islaman di dalam maupun di luar kampus, nampaknya  menghantarkan Sang Marbot masuk menjadi salah satu dari 13 anggota terpilih PWM NTB pada periode  2015-2022. Amanat yang sama masih dipercayakan pada Sang Marbot untuk periode Muktamar ke-48, 2022-2027 ini. 

Dalam aktivitas di kampus, pada 2008, Sang Marbot merintis pendirian Fakultas Agama Islam  (FAI) Ummat. Sebelumnya dia bersama Syaikh Khurri sudah mendirikan Ma’had Bahasa Arab disini.  Sambil S-2 di UMY Jogja, Sang Marbot bolak balik mengurus pendirian FAI ini. Awalnya diusulkan empat Prodi: Ekonomi Syariah, PGMI, PBA, dan PAI. Tetapi Kopertais IV di Surabaya hanya menyetujui Prodi PBA saja untuk dibawa ke Pusat. Pada 2010 keluarlah ijin berdirinya FAI UMM dengan Prodi S-1 PBA (Pendidikan Bahasa Arab). Ini melengkapi Prodi D-2 Bahasa Arab yang sudah ada di Ma’had sebelumnya.

Pada 2014, Sang Marbot kembali mengusulkan pendirian PGMI dan pada 2015 dijalin kerjasama dengan AMCF untuk mendirikan Prodi KPI. Terakhir pada 2020 FAI Ummat makin berkembang dengan keluarnya  ijin Prodi Ekonomi Syariah.  Setelah memiliki empat Prodi, masa jabatan Sang Marbot sebagai Dekan FAI Ummat selesai  pada Januari 2021.

Karena sudah tidak ada jabatan struktural, maka waktu Sang Marbot pun lebih longgar. Apalagi kemudian Pandemi Covid menjelang. Sang Marbot lalu banyak menghabiskan waktu senggang di kampung halamannya, Sumbawa. Disini dia bertani. Ketika jagungnya hampir panen tiba-tiba dia diminta kembali ke Mataram untuk dilantik menjadi Ketua LP3IK Ummat. Tidak lama kemudian berlangsung  pencalonan Wakil Rektor (WR).

Baca Juga  Pujian Setinggi Langit Robert Hefner untuk Muhammadiyah

Awalnya Sang Marbot dinominasikan menjadi WR-3 bidang kemahasiswaan, bidang yang kurang dia minati.  Belakangan dia diusulkan menjadi WR-4  yang membidangi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Ini tentu selaras dengan minat Sang Marbot.

Saat pengajuan jabatan ini dia menjadi calon tunggal. Tetapi ini periode transisi. Baru tujuh bulan menjadi WR-4 terjadi pemilihan rektor. Sang Marbot tidak mau maju. Dia baru saja menjadi WR-4 yang sehaluan dengan minatnya yaitu takmir masjid dan guru mengaji. Tetapi karena desakan terus menerus panitia pemilihan, Sang Marbot akhirnya mengembalikan blanko kesediaan. Panitia datang menjelang penutupan pendaftaran dengan membawa blangko empat matere yang tinggal ditandatangani Sang Marbot.

Singkat cerita, pemilihan rektor Ummat pun diselenggarakan. Di luar perkiraan semua orang, termasuk  dirinya sendiri, Sang marbot memperoleh suara terbanyak. Dia dipilih oleh 25 dari 26 pemilik suara di Senat Ummat. Urutan kedua hanya memperoleh 19 suara dan urutan ketiga 18 suara. Selanjutnya tiga kandidat pilihan Senat ini dikirim ke PP Muhammadiyah melalui Majelis Dikti akan memilih satu dari tiga calon ini menjadi Rektor Ummat untuk masa jabatan empat tahun ke depan.  

Manusia boleh saja tidak punya banyak kehendak. Demikian juga dengan Sang Marbot. Menjadi dosen, takmir masjid, sekaligus petani jagung di kampung halaman rasanya sudah lebih dari cukup baginya. Tetapi Allah SWT memiliki kehendak lain. Sang Marbot, nama lengkapnya Drs. Abdul Wahhab, M.A., harus juga memimpin sebuah bahtera besar bernama Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat). Pada  21 Desember 2022 dia dilantik Majelis Dikti PP Muhammadiyah menjadi Rektor Ummat untuk periode  2022-2026. 

Kecintaan pada masjid, pengalaman di IMM, di Majelis Tarjih, dan di PWM, merupakan dasar yang kuat bagi seorang Wahhab. Lalu pengalaman merintis beberapa lembaga dan jaringan yang baik dengan banyak pihak, termasuk AMCF, akan memperlancar peran Sang Marbot Wahab sebagai rektor. Semoga dengan jabatan apapun, kawan saya ini tetap rendah hati, cinta masjid, dan tidak lupa menanam jagung di kampung halaman. 

Tamantrito-Jogja, 01 Juni 2023

Avatar
26 posts

About author
Ketua LazisMu PP Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *