Terhitung Serikat Taman Pustaka (STP) satu tahun usianya, yaitu sejak tanggal 8 Desember 2017 perkumpulan pegiat literasi di kalangan Muhammadiyah ini berdiri di Solo, tepatnya di Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam rangkaian Kopi Darat Nasional Penggiat Literasi yang berlangsung selama tiga hari. STP merupakan jaringan organik yang berisi penggiat komunitas literasi, pustakawan di lingkungan Lembaga Muhammadiyah baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, majelis pustaka, dan individu yang merupakan pembaharu sosial di bidang literasi/pengetahuan/Pendidikan. Platform gerakan serikat Taman Pustaka ini juga diberdayakan oleh website pustakamu.id dan sosial media lainnya.
Bagi saya, eksistensi Serikat Taman Pustaka selain napak tilas sejarah gemilang gerakan pencerahan di tubuh, juga sebagai wadah bersama beragam jenis/bentuk/kelompok/komunitas yang menyelenggarakan urusan literasi dan berfungsi untuk mendayagunakan energi yang tersedia serta melipatgandakan kekuatan untuk mewujudkan masyarakat utama yang memiliki komitmen kuat terhadap makna hidup, kemerdekaan, dan kebudayaan. Keberadaan Taman Pustaka adalah manifesto dari spirit pembaharuan Muhammadiyah. Berdiri tahun 1923 di Kauman Yogyakarta sebagai upaya memajukan bangsa dan Islam untuk menjadi rahmat. Taman pustaka dengan logo matahari, kapal, dan daun yang tumbuh ini menjadi kesadaran baru penggiat literasi di kalangan Muhammadiyah dan serta berbagai individu yang memiliki komitmen kebudayaan unggul, terbuka dan maju.
HM Mokhtar sebelum dilantik sebagai pengurus:
“Hoofd Bestuur Muhammadiyah Bahagian Taman Pustaka akan bersungguh-sungguh berusaha menyiarkan agama Islam yang secara Muhammadiyah kepada umum, yaitu dengan selebaran cuma-cuma, atau dengan Majalah bulanan berkala, atau tengah bulanan baik yang dengan cuma cuma maupun dengan berlengganan; dan dengan buku agama Islam baik yang prodeo tanpa beli, maupun dijual yang sedapat mungkin dengan harga murah. Dan majalah-majalah dan buku-buku selebaran yang diterbitkan oleh Taman Pustaka, harus yang mengandung pelajaran dan pendidikan Islam, ditulis dengan tulisan dan bahasa yang dimengerti oleh yang dimaksud. Bahagian Taman Pustaka hendak membangun dan membina gedung TAMAN PUSTAKA untuk umum, dimana-mana tempat dipandang perlu. Taman Pembacaan itu tidak hanya menyediakan buku-buku yang mengandung pelajaran Islam saja, tetapi juga disediakan buku-buku yang berfaedah dengan membawa ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat bangsa dan negara yang tidak bertentangan kepada agama terutama agama Islam.”(Ensiklopedia Muhammadiyah, 2005:308-309)
Kefakiran Pengetahuan
Dhuafa bukan hanya urusan ekonomi tetapi juga asupan gizi otak. Kebaradaan mustadh’afin intelektual dan anti pengetahuan menyebabkan kerusakan yang tak terperikan. KH Ahmad Dahlan pernah mengingatkan, dalam urusan agama juga perlu akal sehat dan suci di dalam berinteraksi dengan kehidupan dan keragaman yang merupakan fitrah manusia: “Kita itu boleh punya prinsip, asal jangan fanatik karena fanatik itu ciri orang bodoh. Sebagai orang Islam kita harus tunjukkan kalau kita bisa bekerjasama pada siapapun, asal “lakum dinukum waliyadin”, agamamu agamamu, agamaku agamaku.”Keprihatinan bukan berada jauh dan di luar sana tetapi juga dalam rumah Muhammadiyah yang dicintai banyak orang. Oknum dan kelompok yang anti pengetahuan semakin merasa di atas angin dengan propagandanya yang menyerang pihak yang dianggap membahayakan jalan pikirannya. Tragedi intelektual di negeri ini, merespon apatisme publik terhadap pengetahuan. Kini terjadi kembali juga akhirnya di sekitar dekat kita bahkan di pusat Muhammadiyah. Arsip panjang pelarangan buku, sweeping buku, pembubaran diskusi, ancaman kepada penyelenggara diskusi buku, pada narasumber oleh kelompok berbaju “loreng negara atau swasta”. Penolakan dialog terkait Suriah dan pemaparan karya penelitian yang baru saja terjadi di MPI adalah daftar berikutnya. Orang-orang yang anti dialog adalah orang yang kalah sejak dalam pikiran. Padahal amanah Muktamar Muhammadiyah, agar kiranya dibuka dialog Sunni-Syiah. Bukan konteksnya mencampuradukkan aqidah tetapi dialog adalah aspirasi jiwa-jiwa rahmatan lil alamin.
Nalar damai Muhammadiyah begitu banyak diapresiasi bahkan oleh buku terbaru karya tim peneliti UGM yang diberikan judul, Dua Menyemai Damai: Peran dan Konstribusi Muhammadiyah dan NU dalam perdamaian dan Demokrasi yang baru dirilis tahun 2019. Bahkan, Prof Robert W Hefner dari Amerika menceritakan wacana nobel perdamaian untuk Muhammadiyah. Bagaimana intoleransi dan pendewaan terhadap prasangka dan anti dialog kompatibel dengan ini semua? Seorang teman mengirimkan pesan kepada saya, “Perlu banyak kegiatan literasi untuk barisan pengamanan (baca: Kokam) dan saya pun merasa itu sebuah urgensi agar nalar nalar ‘premanisme’ anti dialog dapat diredam dan lebih jernih lagi interaksi sosialnya. Kualitas Iman, kualitas ibadah, dan kualitas akhak sosial (kesalehan sosial) juga dapat dipupuk dengan pembangunan habitus literasi yang tangguh.”
Serikat Taman Pustaka: Berkumpul, Berbagi, dan Bergerak Bersama
Tantangan industri informasi semakin melipatgandakan kekuatan moral spiritual penggerak pengetahuan hari ini dengan menjamurnya gerakan gerakan grassroot yang sehari hari merayakan dan mengapresiasi pengetahuan termasuk di tubuh aktifis Muhammadiyah se antero negeri ini. Tentu ini, apsirasi berkemajuan yang layak disemai dan dihargai, bila perlu didukung dengan sekuat tenaga.H.M. Mokhtar secara ekplisit menyatakan bahwa sebuah perpustakaan umum di lingkungan Persyarikatan (Muhammadiyah Kudus pernah punya “Perpustakaan Rakyat”) mempunyai karakter (1) inklusif artinya tidak punya tendensi ruang baca-belajar ini hanyalah untuk anggota Muhammadiyah semata; (2) aksesibel yang artinnya bacaan dapat diperoleh secara murah bahkan cuma-cuma. Dalam zaman sekarang ini sudah banyak tumbuh perpustakaan komunitas yang suka berbagi bahan bacaan secara gratis bahkan tanpa syarat sebagaimana yang dilakukan Rumah Baca Komunitas dan sejenisnya.
Perpustakaan umum model taman pustaka haruslah dibuka dimana-saja. Komunitas seperti di kampung, pasar, tempat kerja, dan sebagainya dirasa perlu. Watak komunitas di sini diartikan bahwa pengelola atau kepengurusan bersifat fleksibel (kesukarelaan), mekanisme pinjam yang sederhana, dikelola bersama oleh warga komunitas yang saling mengenal, dan tentu saja tidak berorientasi profit. Konsekuensi pengelolaan berbasis komunitas adalah dengan daya dukung dana yang kecil namun untuk menggerakkan kegiatan biasanya selalu ada jalan kreatif.
Untuk membangun spirit pengelola taman pustaka tentu perlu adanya etos percaya (trust) kepada peminjam atau pengunjung dan sesama pengelola. Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah membangun keyakinan pengelola bahwa perpustakaan kecil yang dibangun akan memberi manfaat kepada pengelola itu sendiri, dan suatu saat dapat kiranya bermimpi manfaat bagi sesama. Dengan demikian, keberadaan perpustakaan atau taman pustaka ini tidak ditentukan oleh banyak sedikitnya pengunjung. Salah satu mantra yang perlu diingat adalah sebagaimana yang pernah dipesankan oleh Dauzan Farook asal Kauman yang dikenal dengan perjuangannya membangun “Perpustakaan Mabulir” atau majalah buku bergilir yaitu bahwa, “Siapa saja dapat menjadi penggerak literasi.”
Menggembirakan dakwah literasi itu nalar tercerahkan. Kita gembira, kini ada ratusan simpul pegiat literasi di Muhammadiyah yang aktif menggerakkan buku di jalanan, masjid, halaman sekolah, alun-alun, dengan kendaraan bermotor dan sepede, dengan rangsel, dan juga bergerak dari lapak pengajian ke pengajian. Di Sorong Papua Barat, Rumah baca Mahardhika sebagai maha karya aktifis Muhammadiyah dan UMY telah disemai menjadi wahana pendidikan yang luar biasa dampaknya bagi kesadaran pengetahuan.
Kerja-kerja sunyi, terkadang ramai ini, adalah kerja kebudayaan yang teramat berat membutuhkan energi berlimpa yang harus dapat diperbaharui—jika tidak akan layu dan mati di makan sejarah yang semakin purbawi. Pengetahuan adalah kunci, buku buku adalah pengubah takdir orang orang dan juga sebuah bangsa. Begitu kira-kira pesan untuk kita semua.. Jika Muhammadiyah mau hidup pada zaman-zaman di masa depan maka pergerakan pengetahuan dan kapasitas intelektual untuk menanggulangi problem aktual adalah sebuah keniscayaan.
Gerakan taman pustaka pun diharapkan disemai di abad kedua ini dan mengupayakan gerakan transformasi dengan radikalisasi gerakan literasi untuk membangun eksositem masyarakat yang berilmu, diterangi pengetahuan, dan diberdayakan oleh akal jernih yang dapat membangun kehidupan berbangsa yang lebih adil, beradab, dan sejahtera batin dan lahirnya.[]