Tajdida

Muhammadiyah dan Kekhawatiran Kuntowijoyo

4 Mins read

Oleh: Ahmad Sholeh

Setiap organisasi, perkumpulan, persyarikatan tidak lepas dari tantangan zaman. Sebab, organisasi—apalagi seperti Muhammadiyah yang mengusung Islam dan kemajuan—pasti bakal menghadapi dan mengalami perubahan zaman. Iklim zaman akan selalu berubah, sebab itulah diksi berkemajuan kemudian menjadi lekat sekali dengan Muhammadiyah. Di era kekinian maupun keakanan, setiap organisasi harus selalu siap menghadapi tantangan zaman. Baik dari dalam tubuhnya sendiri, dari luar (kondisi masyarakat), maupun dari kondisi global. Penulis pernah membaca tulisan Kuntowijoyo yang dirasa masih relevan untuk bahan refleksi dan sebagai ancang-ancang mempersiapkan persyarikatan menghadapi tantangan zaman menuju abad keduanya.

Dalam salah satu subbab di buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo memaparkan penjelasan yang menarik mengenai kekhawatirannya terhadap masa depan persyarikatan Muhammadiyah di abad ke-21. Prof Kuntowijoyo menulisnya sebagai persembahan untuk Muktamar Muhammadiyah pada tahun 1995. Artikel itu dia beri judul “Kebudayaan, Masyarakat Industri Lanjut, dan Dakwah”. Di sana dia menyebutkan, “Muhammadiyah akan menghadapi tantangan yang lebih besar dari dalam organisasi, dalam negeri, maupun luar negeri pada abad ke-21. Dalam organisasi sudah muncul generasi baru yang tidak banyak mengenal Muhammadiyah yang disebabkan perkaderan yang semakin terbuka direkrut dalam organisasi.” (cet. baru 2018: 195).

Adapun tantangan dari dalam negeri, Pak Kunto menjelaskan, berupa munculnya kelas baru dalam masyarakat—mungkin muncul sebagai akibat industrialisasi. Untuk tantangan dari luar negeri, kata Kuntowjoyo, disebabkan semakin derasnya informasi global. Meskipun menurut dia, gejala tersebut juga pasti akan dialami oleh ormas lain yang serupa, Kuntowijoyo menegaskan, karena Muhammadiyah berada di garis depan, pastilah akan terkena dampak yang lebih hebat. Apakah ketiga tantangan zaman atau kekhawatiran Kuntowijoyo ini benar-benar terjadi?

Tantangan yang datang dari dalam tubuh organisasi ini, makin ke sini penulis merasakan makin kental dan kentara. Misalnya, dengan hadirnya generasi baru—ataupun wajah lama, orientasi baru—di dalam tubuh persyarikatan yang menginginkan ke ranah politik praktis, perebutan kekuasaan, bursa pemilihan presiden dan legislatif yang tentunya menginginkan organisasi ini bergeser menjadi gerakan politik. Ditambah lagi dengan lahirnya generasi yang malas dan bebal untuk membahas hal-hal berkaitan dengan ideologi dan khittah persyarikatan. Sehingga generasi dalam kategori ini mengusung “Islam yes, Muhammadiyah no” lantaran alergi membahas kemuhammadiyahan.

Baca Juga  Gerakan Ranting Muhammadiyah Melawan Politik Uang

Meski begitu, penulis masih optimistis ke depan Muhammadiyah masih bisa berpijak pada khittah perjuangan dakwahnya. Setidaknya untuk satu abad ke depan. Hal ini diperkuat dengan terpilihnya Najih Prastiyo sebagai ketua umum IMM dan Cak Nanto (Sunanto) sebagai ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah. Keduanya penulis kenal sebagai kader-kader militan yang tak perlu diragukan urusan ideologinya. Serta ditambah dengan ortom lainnya yang masih digawangi oleh kader-kader yang lurus dalam berdakwah.

Tantangan kedua yaitu datang dari dalam negeri, yang dikatakan sebagai pergeseran budaya masyarakat ke masyarakat industri. Penulis rasa hal ini sudah cukup terbukti. Tentu saja, hal ini tidak bisa dihindari karena kemajuan teknologi dan akulturasi membuat kondisi masyarakat kita akan terus berubah, makin cepat dan makin terbuka. Bahkan, kini banyak kader yang juga merupakan masyarakat industri seperti yang dikatakan Kuntowijoyo. Namun, Muhammadiyah rupanya bisa beradaptasi, sehingga masih bisa menjadikan dirinya sebagai organisasi dakwah arus utama—selain NU.

Kemudian, Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah sudah berekspansi ke berbagai belahan dunia, seperti Rusia, Jepang, Korea, dan lainnya. Seperti dikatakan Ahmad Najib Burhani (Muhammadiyah Berkemajuan, 2016), Muhammadiyah bergeser dari puritanisme ke kosmopolitanisme. Konsekuensinya, terbuka terhadap dunia global dan nilai-nilai universal. Hal ini juga berkaitan dengan tantangan ketiga, yakni tantangan global.

Jika Kuntowijoyo mengatakan arus informasi global sebagai penyebabnya, hal itu jelas telah terbukti beberapa tahun belakangan. Bagaimana arus informasi yang begitu deras mampu menciptakan mainstream di ruang publik. Dan ini terkadang menimbulkan reaksi-reaksi tak terduga dari masyarakat. Misalnya saja informasi soal isu genosida etnis Rohingya, pencaplokan hak-hak warga Palestina oleh Zionis, dan yang kini sedang hangat adalah persoalan etnis Uighur di Xinjiang, Cina. Ketiga isu ini memiliki garis besar isu yang sama; solidaritas sesama Muslim. Meski lebih utama dari itu tentunya persoalan kemanusiaan.

Baca Juga  LAZISMU : Klinik Apung Said Tahuleley Membelah Laut Melayani Negeri

Nilai-nilai universal yang kemudian terus disuarakan dalam beberapa dekade terakhir ini, menjadikan persyarikatan mengambil langkah strategis dengan membangun jaringan dengan komunitas-komunitas di berbagai belahan dunia dan juga aktif di forum-forum internasional. Muhammadiyah juga melalui kader dan tokohnya rajin menyuarakan perdamaian dunia, keadilan, dan kerukunan antarumat beragama di dunia global. Jaringan dengan berbagai pihak tersebutlah yang kemudian menjadi formulasi Muhammadiyah menangkal arus informasi yang deras, yang kadang menjadi kabar simpang siur dan tidak akurat. Yaitu dengan membangun komunikasi intensif dan kerja sama.

Menuju Abad Kedua Muhammadiyah

Dengan pemaparan di atas, tak heran jika dalam makalah singkat tersebut, Pak Kunto juga menyebutkan bahwa gejala-gejala itu akan berpengaruh terhadap kebudayaan dan dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Dahulu, dengan sikap puritannya (gerakan kembali ke Alquran dan sunah), Muhammadiyah kerap dicap sebagai gerakan dakwah yang antibudaya. Sebagai ormas Islam arus utama, Muhammadiyah memang memiliki corak modern yang terkesan elitis. Meski sebenarnya anggapan itu sudah patah sejak cabang dan ranting Muhammadiyah berhasil berdiri di desa-desa atau kelurahan. Maka, menuju abad keduanya ini apakah kekhawatiran Kuntowijoyo yang dipaparkan di atas masih akan dirasakan oleh Muhammadiyah?

Secara historis, dakwah dan budaya (kebudayaan) di masyarakat kita ini memang memiliki keterkaitan yang erat. Bahkan ada yang menyebut budaya merupakan alat dakwah. Sehingga ada istilah dakwah kultural; dakwah melalui seni/budaya, diartikan juga dakwah dengan menghormati tradisi/kearifan lokal. Namun, Kuntowijoyo memberikan sebuah afirmasi bahwa budaya—yang diwakili oleh produk seni—tidaklah bisa dimaknai sempit menjadi hanya sebagai “alat dakwah”. Seni, kata dia, bisa menjadi sarana orang untuk beribadah, bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan berzikir. Kita tidak boleh memandang seni sebagai semata-mata “alat dakwah”. Kuntowijoyo menegaskan, seni merupakan dakwah itu sendiri.

Baca Juga  Apapun Kamu Sekarang, Kembalilah ke Muhammadiyah!

Kuntowijoyo kemudian menegaskan jika ada pandangan bahwa Muhammadiyah gerakan anti dan alergi budaya, hal itu merupakan pandangan yang tidak benar juga tidak spenuhnya salah. Dia memberikan pandangan lain bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi modern, juga membangun budaya dalam gerakan dakwahnya. Namun, kata Kuntowijoyo, orientasi budaya bagi Muhammadiyah adalah kemajuan. Pada awal berdirinya pun, Muhammadiyah hendak membangun budaya masyarakat yang maju dan terbuka pada perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknoligi (iptek).

Mungkin ini menjadi jawaban mengapa gerakan dakwah Muhammadiyah terasa lebih lambat ketimbang NU yang memang lahir di pedesaan yang mengedepankan tradisi lokal, pesantren, dan keulamaan. Namun, dengan adanya perkembangan zaman, di mana masyarakat telah beralih menjadi masyarakat modern, Muhammadiyah pun tak akan terhenti lajunya. Meski ada yang mengatakan jika TBC (tahayul, bidah, dan churafat) telah musnah maka dakwah Muhammadiyah telah usai, hal itu tidaklah benar. Karena seperti dikatakan Kuntowijoyo, Muhammadiyah mengusung satu frasa “Islam berkemajuan” yang artinya akan terus mengalami kemajuan.

Menuju abad keduanya ini, persyarikatan tidak hanya berhenti di persoalan-persoalan kebangsaan dan keumatan. Yakni menjernihkan narasi kehidupan berbangsa, membangun harmoni sosial, menjalankan dakwah yang gembira, menyuburkan kepedulian pada kaum disabilitas, tanggap bencana, gerakan zakat, dan keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat kita. Selain itu, tentu saja Muhammadiyah juga masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk membenahi dan memperkuat gerakan dakwah persyarikatan di dalam tubuhnya sendiri. Yakni dengan memperkuat basis perkaderan, baik di ortom maupun amal usahanya. Peran internasional Muhammadiyah untuk menyuarakan perdamaian, kemerdekaan, hak asasi manusia, dan kerukunan antarumat beragama juga tentu menjadi tantangan yang nyata. Sampai sini penulis masih yakin dan optimistis Muhammadiyah memiliki modal yang cukup untuk bisa menjawab semua tantangan itu. Wallahu a’lam.[]

*Sekretaris DPP IMM Bidang RPK 2018-2020, Penyunting Bahasa Harian Republika

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *