Salah satu yang menjadi masalah serta menduduki puncak daftar dalam kehidupan manusia adalah wabah. Hal ini sebagaimana dituliskan oleh sejarawan terkemuka, Yuval Noah Harari (2018). Ia menyatakan bahwa, wabah menjadi bagian integral dari rencana kosmis Tuhan yang sampai akhir dunia pun kita tidak akan terbebas darinya.
Berbanding lurus dengan itu, saat ini dunia sedang terjangkit wabah Covid-19 . Yang mana, statusnya sudah mengglobal sebagaimana ketetapan organisasi kesehatan dunia. Indonesia juga tak luput dari serangan wabah tersebut sejak awal Maret 2020 silam. Hingga saat ini, kasus Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan sirna dan cenderung meroket.
Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia beserta elemen lainnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan sebagai ikhtiar untuk memutus mata rantai Covid-19. Misalnya, dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar atau biasa disebut dengan PSBB, kegiatan yang dialihfungsikan menjadi dari rumah, hingga pembatasan kegiatan masyarakat khususnya di Pulau Jawa-Bali, serta melakukan vaksinasi.
Vaksin dapat ditemukan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini tak lepas dari perkembangan teknologi dan pengetahuan yang begitu pesat sebagaimana yang kita rasakan sekarang yang turut memainkan peranannya dalam menemukan vaksin. Paling tidak, sudah ditemukan beberapa jenis vaksin, salah satunya dari Sinovac yang mana Indonesia juga menjadi salah satu konsumennya. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013, vaksin ialah zat (antigen) yang telah diolah dan apabila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksin: Antara Stigma Negatif dan Wujud Ikhtiar Menghentikan Pandemi
Dengan telah ditemukannya serta diterimanya vaksin oleh Indonesia, maka tahap selanjutnya adalah melakukan vaksinasi. Namun, cukup disayangkan sikap sebagian masyarakat yang masih menaruh stigma negatif, curiga, bahkan menolak untuk melakukan vaksinasi. Mereka seolah tidak meyakini berbagai lembaga yang otoritatif dalam menentukan keamanan, khasiat, bahkan hukum (fikih) terkait vaksinasi ini. Dengan kata lain, mereka menunjukkan suatu sikap yang disebut oleh Tom Nichols dengan “matinya kepakaran.”
Berangkat dari hal di atas, tulisan ini mencoba mengulas legalitas vaksinasi yang mana ketetapan tersebut telah melalui serangkaian proses Ijtihad yang dilakukan secara kolektif. Kemudian, dari Ijtihad kolektif itu akan menghasilkan sebuah ketetapan bersama atau ijma’.
Dalam hukum Islam, ijma’ dapat dijadikan sebagai sumber hukum dan hendaknya itu dipatuhi oleh segenap masyarakat. Selain itu, penetapan vaksinasi juga merupakan manifestasi dari kebulatan tekad bersama untuk memutus pandemi Covid-19.
Makna Ijtihad
Terdapat berbagai pandangan terkait makna Ijtihad. Ada yang mengartikannya sebatas pada ruang lingkup fikih belaka, namun terdapat pula yang berpandangan bahwa Ijtihad mencakup berbagai bidang disiplin ilmu. Akan tetapi, pada intinya Ijtihad ialah pengerahan segala daya dan upaya secara maksimal dan petunjuk yang ada dalam menetapkan hukum suatu perkara/peristiwa yang terjadi.
Ijtihad juga terbagi dalam beberapa jenis, salah satunya adalah Ijtihad kolektif atau Ijtihad jama’i yang dilakukan secara musyawarah. Apabila sudah tercapai kesepakatan berdasarkan hasil Ijtihad tersebut, maka ketetapannya (hukum) dinamakan dengan ijma’ yang dapat dijadikan pedoman dalam suatu perkara.
Menurut Prof. Abdul Wahhab Khallaf dalam karyanya yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam (2003), ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid pada suatu masa terkait hukum atas peristiwa/perkara tertentu.
Selanjutnya, Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan empat syarat ijma’ yang dianggap sah. Pertama, mujtahid dalam artian yang lebih luas atau pakar berjumlah lebih dari satu orang tatkala suatu peristiwa terjadi. Sebab, apabila hanya seorang saja, maka tidak mungkin kesepakatan yang saling berkesesuaian akan tercapai. Kedua, kesepakatan harus bersifat umum dan mewakili seluruh golongan.
Ketiga, kesepakatan yang berbasis riset (dalil), lalu diungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa, atau bisa juga dalam bentuk putusan hukum. Kemudian didiskusikan dan saling bertukar pendapat terkait argumentasi masing-masing dari berbagai sudut pandang melalui jalur musyawarah untuk mencapai mufakat. Keempat, kesepakatan harus benar-benar berasal dari semua mujtahid atau pakar di bidangnya.
Seruan Vaksinasi Pemerintah, MUI, dan BPOM Tidak Main-Main!
Dengan demikian, upaya-upaya optimal yang telah dilakukan oleh pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) beserta pihak otoritatif lainnya tentang vaksinasi merupakan wujud Ijtihad kolektif yang disandarkan pada kebulatan tekad untuk mengatasi pandemi dan demi kemaslahatan umum. Di samping itu, penetapan tersebut memiliki hujjah serta tidak miskin makna. Apabila tidak demikian, maka patut untuk bersikap skeptis terhadap ketetapan yang dikeluarkan itu.
Sebab Imam Syafi’I pernah berkata, seperti dikutip Abdul Wahhab Khallaf (2003: 130), dilarang menetapkan hukum atau fatwa kecuali dengan dasar yang pasti, yakni Al-Qur’an dan hadis, atau sebagaimana yang dikemukakan oleh para pakar (ilmuan) yang dalam suatu hal tidak berbeda pendapat tentangnya. Jadi, penetapan terkait vaksinasi ini semestinya tidak lagi menimbulkan keraguan di berbagai kalangan, karena telah melalui pengkajian optimal dan tidak tiba-tiba ditetapkan begitu saja.
Kendati demikian, terdapat riak-riak penolakan terhadap vaksinasi dari sebagian kalangan. Hal ini juga tak lepas dari pengaruh kemajuan dan kecanggihan teknologi yang memudahkan masyarakat untuk mengakses serta menyajikan beragam informasi yang melimpah.
Ironisnya, masyarakat kadung menelan dan menyebarkan informasi yang bak tsunami tersebut secara mentah-mentah, walaupun sumbernya terkadang tidak valid. Akibatnya, terjadi pergeseran otoritas, yang mana lebih mempercayai informasi dari media sosial yang validitasnya perlu ditelusuri lebih lanjut dibandingkan dari lembaga atau media otoritatif yang ada.
Akhirnya, sebagai warga negara yang budiman, hendaknya kita taat dan patuh terhadap ulil amri (ulama, para pemimpin dan penguasa) selagi masih dalam koridor kebenaran. Hal ini sebagaimana pesan Al-Quran dalam surat an-Nisa’ ayat 83 berikut:
“…apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)…”
Editor: Yahya FR