IBTimes.ID – Pada 14 Agustus 2021, Pemkab Sintang, Kalimantan Barat menutup masjid jamaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Sintang. Setelah itu, muncul banyak baliho ajakan untuk mengusir warga Ahmadiyah dan menghancurkan masjid tersebut.
Tak berhenti di situ, pada Jumat, 3 September, sekitar 200 massa menyerang masjid. Satu bangunan masjid dan bangunan di belakangnya terbakar akibat amukan massa. Dalam kerusuhan tersebut, polisi tak dapat berbuat banyak. Polisi baru bertindak pasca penyerangan dengan menangkap pelaku. Namun, masjid yang mulia itu telah luluh lantah.
Kasus di Sintang adalah salah satu pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) terhadap jamaah Ahmadiyah. Pemerintah Kab Sintang dan Pemprov Kalbar dianggap tidak dapat mencegah diskrimasi dan pengrusakan tempat ibadah. Padahal, seharusnya negara hadir untuk melindungi hak beragama seluruh warga negara.
Peneliti SETARA Institute Ikhsan Yosarie menyebut bahwa respon pemerintah daerah dan pusat dalam menghadapi kasus Ahmadiyah beragam. Dalam kasus Sintang, menurut Ikhsan, pemerintah justru menggunakan pendekatan Kamtibmas sebagai instrumen untuk menyelesaikan kasus.
“Yaudah tutup aja masjidnya biar tidak diserang, kira-kira begitu pendekatan di Sintang. Seolah-olah itu menyelesaikan. Padahal itu berarti mereka tidak bisa melindungi jamaah Ahmadiyah dan mengingkari hak-hak jamaah Ahmadiyah,” ujarnya, dalam Konferensi Pers dan Diskusi Buku Inklusi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Keindonesiaan, Kamis (21/4/2022).
Di Wonosobo, Ikhsan menyebut bahwa Pemda Wonosobo telah membangun harmoni antar agama dan keyakinan. Bahkan, Pemda selalu melibatkan kelompok minoritas dalam setiap pembahasan kebijakan dan kegiatan keagamaan.
Sementara itu, Pemprov DIY telah jauh-jauh hari menjamin keamanan dan kebebasan kelompok minoritas, terutama Ahmadiyah. Di Jawa Tengah, Pemprov juga hadir dan mengamati perkembangan jamaah Ahmadiyah. Pemprov Jawa Tengah selalu melakukan klarifikasi di lapangan untuk mencegah terjadinya konflik antar umat beragama.
Di daerah lain, seperti Sumatra Barat, Jawa Barat, dan Bekasi, pemerintah daerah mengimplementasikan produk hukum yang diskriminatif terhadap jamaah Ahmadiyah. Pada tahun 2013, Pemprov Sumatra Barat mengadakan sosialisasi SKB 3 Menteri dan Pergub no 17 tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Provinsi Sumatra Barat. Jabar dan Bekasi juga memiliki perda larangan kegiatan bagi jamaah Ahmadiyah.
Menurut Ikhsan, ada Pemda yang berpihak kepada kelompok intoleran. Perspektif Kamtibmas menjadi alat legitimasi untuk mengingkari hak-hak konstitusional jamaah Ahmadiyah dengan dalih melindungi.
“Di Kota Bekasi ada diskriminasi dan preseden buruk terhadap jamaah Ahmadiyah. Dalihnya adalah menciptakan kehidupan sosial yang kondusif di sana. Ini perlu menjadi sorotan kita bersama,” imbuhnya.
Di Jawa Timur, imbuhnya, ada desakan dari kelompok-kelompok intoleran yang melarang kegiatan Ahmadiyah. Desakan tersebut berhasil membuahkan SK Gubernur tentang Pembatasan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah.
Lebih jauh lagi, di Kabupaten Bangka, pemerintah memberikan batas waktu hingga 5 Februari 2016 kepada jamaah Ahmadiyah agar meninggalkan wilayah tersebut jika tidak mau bertaubat. Diskriminasi di lokasi tersebut tersebut telah muncul sejak tahun 2007.
Ikhsan mengklarifikasikan diskriminasi terhadap Ahamdiyah dalam empat varian.
- Terdapat produk hukum daerah diskriminatif, ditemukan kasus diskriminasi dan intoleransi, dan berdampak pada akses pelayanan publik. Varian pertama terjadi di Provinsi Jawa Barat dan beberapa daerah di Jawa Barat.
- Terdapat produk hukum daerah diskriminatif, ditemukan kasus diskriminasi dan intoleransi, namun tidak berdampak pada akses pelayanan publik.
- Tidak ada produk hukum diskriminatif, tetapi ditemukan kasus diskriminasi dan intoleransi, serta tidak berdampak pada pelayanan publik. Varian ini terjadi di daerah-daerah yang kelompok intoleran begitu masif. Kasus KBB dikomandoi oleh kelompok intoleran, bukan pemerintah daerah.
- Diskriminasi dan intoleransi terjadi karena produk hukum di level nasional. Sehingga menyebabkan praktik diskriminasi dan berdampak ke pelayanan publik.
Kendati demikian, menurut Ikhsan, ada beberapa daerah yang menjadi contoh baik keberagamaan jamaah Ahmadiyah bersama dengan kelompok beragama yang lain. Di Semarang, misalnya, komunikasi dan silaturahmi antar tokoh agama berdampak positif terhadap hubungan Ahmadiyah dengan organisasi masyarakat lain.
Bahkan, imbuh Ihsan, penelitian SETARA Institute menemukan ada satu masjid Ahmadiyah di Semarang yang dipakai bersama dengan masyarakat umum. Di Semarang tidak terdapat perda atau SE yang menindaklanjuti SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah dan tidak ada persoalan sama sekali di masyarakat.
“Di Kota Mataram meskipun dulu sempat ada kasus diskriminasi terhadap Ahmadiyah, kini hak-hak jamaah Ahmadiyah mulai dipenuhi. Sementara itu, di Kota Padang, paling tidak dalam satu dekade terakhir, tidak terjadi pelanggaran KBB. Padahal, di level provinsi, ada larangan terhadap aktivis Ahmadiyah. Tapi di Padang sebagai ibukota provinsi justru masyarakatnya hidup dengan rukun,” imbuh Ihsan.
Ikhsan menyebut bahwa lingkungan politik berkontribusi terhadap intoleransi dan diskriminasi Ahmadiyah, termasuk dalam konteks pemilu dan pilkada. Meskipun terus mengalami berbagai diskriminasi, Ahmadiyah terus membangun komunikasi dan menjalin silaturahmi dengan masyarakat sekitar.
Reporter: Yusuf