Partisipasi Ormas Islam dan LSM HAM dalam kontraterorisme masih sangat rendah dan mempunyai kecenderungan selalu menurun dalam kurun periode lebih dari enam belas tahun terakhir dan di masa yang akan datang.
Kecenderungan menurunnya partisipasi terjadi karena adanya dinamika keterlibatan dalam setiap upaya pencegahan tindak terorisme. Yang mana, tidak terakselerasi dengan tindakan aparat keamanan pemerintah. Lemahnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil, justru menambah buruk strategi kontraterorisme secara nasional, sehingga kedua belah pihak justru saling terlibat prasangka negatif dan ketidakpercayaan.
Ormas Islam dan LSM HAM telah banyak berbuat melalui berbagai kegiatan. Seperti dakwah, pendidikan, penelitian, advokasi, toleransi, dan memberi kritik membangun terhadap program-program kontraterorisme yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Meskipun demikian, pihak pemerintah kurang memperhatikan kontribusi masyarakat sipil. Terutama dalam hal toleransi tersebut di balik retorika publik bahwa pemerintah tetap menganggap penting partisipasi lembaga-lembaga non pemerintah dan telah menjalin sinergi. Mungkin beberapa Ormas Islam dan LSM HAM yang tidak merupakan arus utama, pernah melakukan kegiatan kontraterorisme dengan bantuan dana dari pemerintah.
Namun Ormas Islam besar seperti Muhammadiyah dan NU serta Kontras, belum pernah bekerjasama atau bahkan duduk bersama untuk merancang sebuah program berkelanjutan untuk menanggulangi bahaya terorisme. Program deradikalisasi Narapidana teroris (Napiter), memang melibatkan para narasumber dari dua Ormas besar ini termasuk Majelis Ulama Indonesia.
Akan tetapi, hal ini bukanlah sebuah kerjasama. Dengan meningkatkan partisipasi masyarakat sipil melalui kerjasama dengan pemerintah dalam toleransi kehidupan beragama, maka kontraterorisme menunjukkan keberhasilan. Karena akan menurunkan tingkat radikalisme dan menghilangkan terorisme.
Pendekatan Neo-conservatism Sebagai Upaya Kontraterorisme
Dengan menggunakan pendekatan Neo-conservatism (Neocons), maka pembauran negara dan non negara dalam konteks untuk pencapaian tujuan kegiatan kontraterorisme yang efektif dicapai di Indonesia. Kedua kelompok variabel ini mencakup motif, material, dan informasi yang merupakan bagian penting aktor negara serta Ormas Islam dan LSM HAM yang merupakan aktor non negara.
Neocons adalah sebuah konsep baru dalam khazanah Hubungan Internasional yang mencoba untuk membaurkan Idealisme dengan Realisme (Fukuyama, 2004: 58). Di satu sisi, Neocons setuju dengan liberal tentang pentingnya demokrasi dan bahwa dunia tentu lebih aman ketika negara sangat demokratis.
Sementara di sisi lain, mereka skeptis seperti keyakinan kaum realis tentang lembaga-lembaga internasional dan ‘penderitaan’ negara akibat penerapan sistem demokrasi yang melelahkan. Terutama dalam praktik pelaksanaan kebijakan luar negeri dan hubungannya dengan ancaman eksistensial negara. Sehingga Neocons cenderung mendukung reaksi agresif dan militeristik (Caverley, 2010: 611).
Dalam khazanah pustaka lain, disebutkan bahwa pendekatan Rational Choice Institutionalism dapat digunakan untuk menggambarkan partisipasi aktif organisasi-organisasi non negara dalam hubungannya dengan unsur negara. Terutama dalam lingkup hukum-hukum internasional (Abbot, 2007: 5).
Hal ini menekankan bahwa perbedaan unit analisis antara negara dan non negara dalam sebuah pembahasan faktor-faktor yang berpatisipasi dalam penanganan kontraterorisme di Indonesia, tidaklah sebuah masalah.
Polmas: Upaya Alternatif Kontraterorisme
Dalam kurun dwiwindu terakhir, pemerintah Indonesia menerapkan pendekatan Pemolisian Masyarakat (Polmas) dalam mencapai tujuan ganda. Yakni melindungi masyarakat dari tindak kekerasan dan perlindungan hak-hak sipil dan kebebasan.
Kebebasan yang telah dijamin oleh Konstitusi, tidak boleh dibayangi oleh kecurigaan atau keinginan untuk membungkam ideologi dan kebebasan berpikir yang dianggap tidak mainstream. Kebebasan berbicara, pers, agama, dan berserikat berkumpul tidak boleh ditekan karena mereka dianggap kelompok radikal.
Polmas dapat diadopsi sebagai Pemolisian Terorisme (Policing Terrorism) untuk melawan ekstremisme dengan memanfaatkan sumber daya yang paling berharga. Yakni masyarakat lokal atau komunitas dan memberdayakan mereka dengan kesan bahwa setiap individu memiliki peran penting untuk bermain dalam masyarakat.
Anggota masyarakat diajak untuk menjadi penegak hukum tentang agama, budaya, dan keyakinan, sehingga aparat pemerintah dapat mengidentifikasi perilaku hukum dan kesalahan praktik-praktik perilaku kriminal oleh warganya dengan bijak.
Anggota masyarakat juga didorong untuk melaporkan kegiatan yang mencurigakan. Sehingga masyarakat merasa diberdayakan untuk menunjukkan bahwa mereka lebih kuat dalam menjaga kebebasan, keadilan, dan martabat hidup mereka sendiri yang jauh dari sifat radikal.
Pemolisian Terorisme juga perlu menjadi bagian penting dalam program moderasi BNPT di luar Lembaga Pemasyarakatan yang fokus pada pembinaan masyarakat rentan terhadap masalah radikalisme dan terorisme. Faktor kerentanan dapat bersumber dari berbagai hal. Seperti politik, ekonomi, social, dan terutama ideologi agama yang mempunyai pengaruh dominan penyebab kekerasan.
Ideologi ekstrem seseorang tidak terbentuk secara instan, melainkan ia terbentuk dalam sebuah proses perjalanan waktu panjang dan doktrinasi militan. Hanya Ormas Islam yang mempunyai kapasitas untuk moderasi individu-individu yang telah masuk dalam jaringan dan kelompok radikal.
Partisipasi Ormas Islam selama ini masih belum maksimal. Meskipun mereka telah menjalankan misi keorganisasian layaknya business as usual. Padahal persoalan perang melawan terorisme adalah suatu tantangan masa kini dan masa depan yang extra crucial.