Permasalahan mengenai pernikahan telah diatur secara rinci dalam agama Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam, Buku I tentang Hukum Perkawinan, Bab II tentang Dasar-Dasar Perkawinan.
Pasal 2 menyebutkan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3 menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Pasal 4 menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari definisi di atas, jelas bahwa pernikahan adalah sebuah ritual yang begitu sakral, bahkan pernikahan juga termasuk satu bentuk ibadah, karena tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk taat kepada Allah swt.
Oleh karena pernikahan adalah satu bentuk ibadah, maka segala sesuatu yang berkaitan dengannya, baik tata cara dan lain sebagainya haruslah ada tuntunan/dalilnya, termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan mengenai poligami. Dalam al-Qur’an surat al-Nisâ ayat ke-3 disebutkan secara jelas;
… فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا.
[النسآء، 4: ۳]
Artinya: “… maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” [QS. an-Nisâ, 4: 3]
Ayat tersebut dikuatkan oleh sebuah hadis Nabi saw yang menceritakan tentang seorang sahabat yang bernama Ghailân:
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
رواه احمد و ابن حبان و البيهقي, وفي رواية للبيهقي بزيادة لفذ “وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ
Artinya: “Diriwayatkan dari Sâlim dari ayahnya bahwa Ghailân bin Salamah ats-Tsaqafy telah masuk Islam dan ketika itu ia mempunyai 10 orang istri , maka Nabi saw bersabda kepadanya, “Pilihlah 4 orang saja di antara mereka.” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqy, dalam lafal al-Baihaqy disebutkan tambahan, “Dan ceraikan sisanya.”]
Dari ayat dan hadis tersebut, dapat diambil sebuah pemahaman bahwa seorang laki-laki boleh menikahi 2, 3 atau 4 perempuan sekaligus dan tidak boleh lebih dari itu. Oleh sebab itu, jika pernah mempunyai seorang istri kemudian saudara menikah lagi dengan 4 wanita, sedangkan belum menceraikan istri pertama, dengan kata lain mempunyai 5 orang istri dalam satu waktu, maka pernikahan yang kelima itu adalah suatu yang diharamkan menurut syariat Islam.
Berbeda jika ingin menikahi istri-istri itu dengan menceraikan istri yang sebelumnya sehingga jumlah istri tidak lebih dari 4 orang dalam satu waktu, maka itu boleh-boleh saja.
Akan tetapi ada beberapa persyaratan mengenai poligami, baik persyaratan yang digali dari Al-Qur’an maupun dari undang-undang negara yang sah, yang harus saudara patuhi, sebagai berikut:
Tujuan dari poligami bukan untuk memuaskan syahwat dan hanya mencoba-coba saja. Rasulullah saw bersabda,
لا تَطْلُقُ النِّسَاءَ إِلاَّ مِنْ رِيْبَةٍ اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يُحِبُّ الذَّوَّاقِيْنَ وَلَا الذَّوَاقَاتِ
[رواه البزار]
Artinya: “Janganlah engkau mencerai seorang wanita kecuali karena sebuah keraguan, sesungguhnya Allah swt tidak suka para lelaki dan para wanita yang gemar mencoba-coba saja (dalam perkawinan).” [HR. al-Bazzâr]
- Poligami dilakukan jika sorang istri tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, atau karena istri itu mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau karena ia tidak dapat menghasilkan keturunan (UU RI no. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 4; KHI, Buku 1 tentang Hukum Perkawinan, Pasal 57).
- Seorang suami yang berpoligami harus berlaku adil kepada semua istri-istrinya dan memenuhi hak-hak mereka. Jika tidak bisa, maka seorang suami tidak boleh berpoligami (QS. an-Nisâ, 4: 3; KHI, Buku 1 tentang Hukum Perkawinan, Pasal 55).
- Selain kepada istri-istrinya, juga harus memenuhi hak-hak anak-anak dan orang tua mereka (Fatwa Tarjih mengenai Poligami, Tanya Jawab Agama IV: 207).
- Suami harus memberikan kasih sayang yang cukup dan tidak menelantarkan mereka. (QS. an-Nisâ, 4: 129; Fatwa Tarjih mengenai Poligami, Tanya Jawab Agama IV: 207).
- Seorang suami yang hendak berpoligami harus mendapat izin dari Pengadilan Agama (KHI, Buku 1 tentang Hukum Perkawinan, Pasal 56).
- Seorang suami yang hendak berpoligami harus mendapatkan izin dari istri secara tertulis dan dibuktikan dengan pernyataan persetujuan istri secara lisan di hadapan sidang Pengadilan Agama (KHI, Buku 1 tentang Hukum Perkawinan, Pasal 58, butir no. 2).
Di samping itu, menceraikan istri atau melaksanakan sebuah perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Lihat Fatwa Tarjih tentang Perceraian di Luar Sidang Pengadilan pada Majalah Suara Muhammadiyah No. 12 tahun 2007, Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 39 dan Undang-undang No. 9/1989 tentang Peradilan Agama Pasal 65. Dengan demikian, perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan adalah tidah sah dan batal demi hukum.
Selanjutnya, untuk permasalahan nikah sirri, dalam fatwa yang telah diputuskan sebelumnya oleh Majelis Tarjih mengenai nikah sirri (Fatwa Tarjih tentang Hukum Nikah Sirri pada Majalah Suara Muhammadiyah No. 12 tahun 2007), setelah melalui beberapa pertimbangan, di sana jelas tertulis bahwa seseorang wajib mencatatkan pernikahannya, dengan kata lain nikah sirri tidak boleh dilakukan, dengan bunyi penggalan fatwa sebagai berikut,
“Bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di antara sifat Muhammadiyah ialah “mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah”.
Berdasarkan fatwa tersebut sebenarnya pernikahan secara sirri yang adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan.
Kemudian, mengenai pertanyaan di judul, bahwa bolehkah menikah lagi setelah menceraikan ke-4 istri, maka jawabannya adalah boleh-boleh saja, sebagaimana penjelasan butir pertama di atas, dengan beberapa catatan sebagai berikut:
- Kebolehan menikah tersebut karena jumlah istri saat ini hanya satu, maka boleh menikah lagi dengan perempuan lain dengan batas maksimal 4 istri .
- Kebolehan berpoligami setelah memenuhi syarat poligami yang telah diatur dalam QS. an-Nisâ, 4: 3; Fatwa Majelis Tarjih mengenai Poligami; Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Buku 1 tentang Hukum Perkawinan, yang telah dijelaskan sebelumnya.
- Pernikahan yang hendak dilakukan haruslah melalui jalur yang sah, harus dicatatkan dalam catatan pemerintah yang sah, dalam hal ini Kantor Urusan Agama, dengan kata lain bukan nikah sirri.
Wallahu a’lam bish-shawab.