Pulau Sangkar-Kerinci awal tahun 2000-an. Aku sedang di kampung halaman. Ibuku Indok beberapa tahun terakhir sering sakit dan untuk itu aku pulang. Kali ini sakit beliau cukup parah. Semua keluarga berkumpul. Seorang yang lebih tua dari Indok naik ke rumah kami. Indok langsung bersemangat dan berbincang dengannya penuh rindu. Tentu dengan terbata-bata karena mereka sudah sangat berumur. Indok mendekati 85 tahun dan sang tamu yang adalah kakak kandung Indok tentu lebih tua. Sang Kakak berujar, “kalau disini Kau Dik tidak ada yang merawat, tinggallah di rumahku. Aku akan merawatmu.” Maka kami para anak kemenakan dua orang tua ini tersenyum simpul. Bagaimana mau merawat adik merawat diri sendiri saja sudah berat. Ini memang lebih sebagai bentuk kasih sayang seorang lelaki pada adik perempuannya. Beliau bernama Haji Dahlan. Aku memanggil beliau Makcik. Pertemuan hari itu sekaligus pertemuan terakhirku dengan beliau.
Makcik (paman) adalah anak kedua Haji Muhammad Nuh Nakek (kakek)ku. Pada masanya Nakek termasuk orang kaya. Beliau memiliki ladang serta sawah yang luas dan tiga rumah. Sawah dan ladang diwariskan kepada tiga anaknya: Makbuh Haji Adnan, Makcik Haji Dahlan, dan Indokku Hajjah Sawibah.
Masing-masing anak mendapatkan satu rumah. Rumahku yang indah di kampung halaman didirikan oleh Nakek dan pada 1968 direhab oleh Indok dan Upoakku. Nakek juga membawa tiga anaknya naik haji ke Mekkah. Indok saat itu masih anak anak. Tetapi sejak lahir aku tidak pernah bertemu Nakek, Nino (nenek), Nunggoh Jantan (kakek dari jalur ayah), dan Nunggoh Tino (nenek dari jalur ayah). Keempat beliau sudah meninggal ketika aku lahir. Ini bisa dimaklumi karena aku adalah bungsu dari sepuluh anak Indok. Sedangkan Indok sendiri juga anak bungsu. Maka tidak ada informasi tentang Nakek, Nino, dan Nunggoh yang aku dengar langsung dari mereka.
Makcik suka tinggal di tepi desa. Di samping rumah warisan Nakek, beliau membangun rumah di tepi Sawah Panjang. Beberapa kali aku singgah di rumah Makcik ini. Pertama ketika ada hajatan. Aku menginap bersama beberapa kemenakan Makcik lainnya. Disini malam terasa sangat dingin. Meski sudah berbaju tebal kami masih harus berselimutkan tikar bigeo. Aku juga sesekali singgah di rumah ini dalam petualangan memancing belut di seputar Sawah Panjang.
Ketika akan berangkat merantau ke Jogja setamat SD aku berpamitan ke rumah Makcik. Demikian juga ketika mudik sekali dua tahun. Makcik menjadi salah satu tujuan utama silaturrahmiku, karena beliau selalu memberi angpao pada kemenakan tersayang yang sekolah sangat jauh ini. Belakangan Makcik membuat rumah baru di tepi ladang Ranah Gading. Tetapi tetap saja rumah ini jauh dari keramaian desa. Nampaknya Makcik senang menikmati suara alam di tepi sawah dan ladang yang sejuk.
Makcik menjadi tokoh masyarakat pada masanya. Beliau pernah menjadi kepala desa. Beliau juga mendapat giliran menjadi Depati Tago, salah satu dari Depati Nan Berenam pemimpin masyarakat adat kami. Tetapi beliau menyerahkan giliran ini kepada suami adiknya yaitu Haji Zainuddin ayahku. Maka Upoak atau ayahku menjadi Depati Tago Rencong Telang melalui jalur orang semendo.
Ini suatu yang lumrah berlaku dalam sistem kepemangkuan masyarakat adat kami. Pada periode kepemangkuan adat terkini luhak Makcik mendapat giliran memangku jabatan Depati Permai. Maka anak jantan Makcik yaitu Ndaek Arfan memangku gelar ini. Karena Depati Permai memiliki “bungo sekaki kembang duo” maka seorang kemenakan Makcik yang kebetulan tinggal di Jogja juga diangkat menjadi Depati Permai. Kemenakan makcik ini adalah aku penulis ini.
Makcik memiliki Sembilan anak. Empat dari istri pertama: Wao Ratna, Ngah/Kakak Radis, Ndaek Arfan, dan Cik Itam. Tetapi aku tidak pernah bertemu dengan Datungcik istri pertama Makcik ini. Beliau sudah wafat ketika aku belum lahir. Anak-anak Makcik tersebut berusia jauh di atasku. Maka mengunjungi mereka menjadi agendaku ketika pulang ke kampung halaman. Makcik lalu menikah dengan Datungcik Siar. Dengan beliau Makcik dikaruniawi enam anak: Damrus, Damrat, Ina, Ida, Kahan, dan Mi. Usiaku dengan mereka tidak terpaut jauh. Setiap mengunjungi Makcik aku sering bertemu mereka. Setelah Makcik tiada aku sering bertemu dengan saudara sepupuku ini ketika mengunjungi Datungcik Siar. Pertemuan dengan Datung Cik ini selalu penuh haru. Selain sebaya beliau juga sahabat Indok. Setelah Makcik meninggal Datungcik lebih sering tinggal di rumah Mi anak bungsunya di Sungai Penuh.
Makcik memiliki tujuh anak perempuan. Mereka musanakku. Musanak adalah anak datung (bibi) atau anak Mamak (paman) yang menjadi prioritas untuk dinikahi. Musanakku lainnya adalah anak Makbuh Haji Adnan dan kemenakan Upoakku. Tetapi mereka semua sudah menikah sejak aku masih anak-anak. Dari pernikahan dengan Datungcik Siar, Makcik memiliki empat anak gadis yang dari segi umur sepadan untuk berjodoh denganku. Tetapi disini peluangku tertutup. Ini karena Wo Sal, Kakak tertuaku sudah menikah dengan salah satu anak Makcik yaitu Kakak Radis. Dengan demikian, kewajibanku menikahi musanakku anak Makcik gugur. Maka belakangan aku bisa melenggang menikahi gadis Jepara idamanku. Menikahi gadis luar desa apalagi orang Jawa belum lumrah di desaku pada masa itu. Kini tentu semua anak perempuan Makcik musanakku sudah menikah dan menjadi Induk-induk. Termasuk Mi anak bungsu Makcik yang dinikahi Haji Rizal.
Haji Rizal menantu Makcik merupakan pribadi yang menarik. Sejak remaja beliau suka berbisnis. Lalu menikah dengan kemenakan jauhku anak Haji Damhuri orang desaku dan orang kaya Kerinci di Sungai Penuh kota kabupaten kami. Dari pernikahan ini, Haji Rizal memiliki empat anak. Anak pertamanya laki-laki bernama Andre. Maka aku memanggil beliau dengan Upoak Andre. Karena tinggal di kota, maka aku jarang bertemu Upoak Andre. Apalagi kemudian aku merantau ke Jogja. Kelima anak Upoak Andre ini kini pengusaha sukses. Tetapi Induk Andre meninggal. Setelah itu Upoak Andre menikah dengan Mi, adik sepupuku anak bungsu Makcik. Salah satu anak mereka bernama Ryan. Maka belakangan aku memiliki sebutan lain untuk Upoak Andre yaitu Upoak Ryan. Karena menikahi sepupuku, maka aku menjadi lebih dekat dengan Upoak Ryan. Kami sering bertemu, terutama ketika aku mengunjungi Makcik Haji Dahlan dan Datungcik Siar.
Upoak Ryan suka menjalin komunikasi sekaligus dermawan. Beliau menelepon aku bila ada kejadian menarik di Jogja. Atau menanyakan permulaan puasa atau Idul Fitri versi Muhammadiyah. Aku sering menelepon beliau terutama untuk mananyakan kabar Makcik dan Datungcik. Kabar meninggalnya Makcik aku peroleh karena telepon dari Upoak Ryan. Sebagai seorang dermawan, infaq Upoak Ryan mengalir ke banyak mustahik di desa kami. Ketika aku pulang dan singgah di rumahnya, beliau menawari aku untuk menggunakan mobil mereka selama di Kerinci. Di garasi mereka terparkir Fortuner yang sering menganggur. Beliau lebih banyak menggunakan Camry.
Pada 2015 aku pulang kampung pamitan pada keluarga untuk berangkat haji. Kami menyelenggarakan hajatan dan Upoak Ryan hadir. Selesai acara beliau memberi aku amplop tebal berisi rupiah lumayan banyak. Sebagai junior yang baik, aku berterima kasih dan tentu saja menerima pemberian tulus ini dengan ikhlas.
Pernikahan Upoak Ryan dengan sepupuku Mi dikaruniai tiga anak. Semua lahir dan besar di kota Sungai Penuh. Tetapi anak-anak ini tidak asing dengan desa kami. Mereka sering di ajak ke hilir mengunjungi Nino dan Nakek mereka di Ranah Gading. Aku jarang bertemu dan tidak mengenal mereka satu persatu. Kecuali belakangan dengan Ryan yang kuliah di Jogja yang menjadi inspirasi pemantik ide tulisanku ini.
Ryan kuliah di UMY dan pada 9 Maret 2023 dan diwisuda sebagai Sarjana Teknik pada Prodi Teknik Informatika FT UMY. Saat wisuda, keluarga besar Ryan hadir di Jogja. Aku mendatangi dan mereka singgah di rumahku. Kami makan bersama di RM Padang Duta. Alhamdulillah kami semua menikmati makan siang yang lezat. Selesai makan terjadi insiden kecil. Aku berebut dengan Mi adik sepupuku Ibunda Ryan mendatangi kasir. Kali ini aku menang. Aku tentu bahagia bisa menjamu Ryan sekeluarga pada hari bahagia mereka.
Sebagai generasi milenial, Ryan anak yang menarik. Dia anak tokoh besar, tetapi tetap hidup sederhana. Selama kuliah di Jogja, dia hanya mengendarai sepeda motor. Padahal dia memiliki mobil Pajero seri terbaru. Dia juga termasuk sedikit dari kemenakan atau cucuku yang sekolah atau kuliah di Jogja yang masih suka bersilaturrahmi. Ketika akan pulang ke Kerinci atau setiba di Jogja dari Kerinci, dia selalu menyempatkan singgah di rumahku. Meski lahir dan besar di kota, Ryan sehari-hari berbicara denganku dalam bahasa Kerinci. Ini berbeda dengan sebagian orang sedesaku yang baru merantau dekat saja sudah lupa bahasa ibu.
Salah satu dari mereka sering menjadi sindirian di desa kami. Dia hanya merantau di Sungai Penuh kota kabupaten kami. Tetapi ketika pulang ke hilir ke dusun kami, dia berbicara dengan sanak famili menggunakan bahasa orang kota-pasar yaitu Bahasa Minang. Onde mandeh. Maka banyak orang mengulum senyum ketika melihatnya berbicara.
Tamantirto Jogja, 7 Juni 2023. Menjelang magrib seorang tamu masuk rumahku dari halaman belakang. Ternyata Ryan si Sarjana Teknik kembali masuk Jogja. Kamipun mengobrol santai. Ryan melegalisir ijazah sarjananya. Ketika aku tanya apakah akan lanjut S-2 dia menggeleng. “Aku lebih suka menjadi pengusaha Mamak. Aku sudah tahu teknik membeli kulit manis. Aku mengelola mini market dan akan membuka tempat cuci mobil moderen…” Rupanya telah lahir seorang pengusaha muda. Ketika Ryan pamit, aku menawarkan menginap di rumahku dan menggunakan kendaraanku selama di Jogja. Ryan tersenyum. “Aku pakai gojek saja Mamak. Aku nginap di Pop Hotel Malioboro,” ujarnya. Menginap di hotel bukan sesuatu yang asing bagi anak juragan sekaligus juragan muda yang tetap rajin silaturrahmi ini. Kehadiran Ryan membangkitkan rinduku pada Makcik Haji Dahlan kakeknya yang sudah lama berada di alam sana. Yarhamhullahu Makcik tercinta.
Stasiun Tugu Jogja, 14 Juni 2023