Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde Baru, wacana Sidang Isbat tidak nampak di Permukaan. Meskipun dalam praktiknya ada pihak yang menolak hasil Sidang Isbat.
Penulis pernah berdiskusi dengan K.H. Irfan Zidny Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama era K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Perbincangan itu dilakukan di The City Bay View Hotel Langkawi Malaysia di Kamar 1002 pada hari Senin tanggal 19 Jumadil Akhir 1424/18 Agustus 2003 ketika mengikuti kegiatan Pertemuan Para Mufti Anggota MABIMS. Pertemuan ini dihadiri para mufti Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, dan Indonesia.
Dalam perbincangan, K.H. Irfan Zidny bercerita bahwa pada era Orde Baru keputusan-keputusan Sidang Isbat didominasi oleh hisab. Sebagai reaksi dari pelaksanaan Sidang Isbat tersebut, lahirlah rumusan keputusan Munas Alim Ulama NU di Sukorejo Situbondo pada tanggal 6 Rabiul Awal 1404/21 Desember 1983 yang diperkuat keputusan Munas Alim Ulama NU di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugian Cilacap pada tanggal 23-26 Rabiul Awal 1408/15-18 November 1987, yang berbunyi: Jika pengumuman (pengumuman Depag tentang awal Ramadan dan Syawal) hanya semata-mata berdasarkan hisab, maka warga NU tidak wajib mengikuti dan menaatinya.
Pernyataan yang sama juga dirasakan oleh Zaini Ahmad Noeh. Menurutnya, K.H. Mohd Dahlan adalah Menteri Agama terakhir yang berasal dari kalangan NU, yang secara tegas mendasarkan kebijakan tentang penetapan awal Ramadan dan Syawal dengan rukyat dan istikmal, para penerusnya juga tidak jauh berbeda.
Ini tersirat dari bunyi keputusan-keputusan yang pola dan rumusannya mengikuti bunyi keputusan menteri-menteri terdahulu. Hanya pada dua periode jabatan Kabinet terakhir berbeda dengan para pendahulunya. Pernyataan Zaini Ahmad Noeh tersebut disampaikan dalam Rapat Kerja Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama di Pelabuhan Ratu tanggal 18-19 Agustus 1992.
Patut diketahui, sesudah keputusan tersebut ditetapkan dan kasus perbedaan Idul Fitri 1405/1985 pihak NU berkirim surat kepada Menteri Agama, PB NU No. 267/B.II/07/V/1987 tertanggal 12 Ramadan 1407/11 Mei 1987 ditandatangani oleh K.H. Abdurrahman Wahid agar dalam penetapan awal Idul Fitri 1407/1987 melakukan rukyatul hilal di tempat-tempat yang strategis. Dan apabila ternyata usaha rukyatul hilal tidak berhasil, maka NU akan menetapkan berbeda dengan hisab, dengan berpedoman pada istikmal.
Pasca keputusan NU yang menyebutkan tidak wajib mengikuti hasil Sidang Isbat apabila diputuskan dengan hisab, berdasarkan data yang terkumpul pada tahun 1405/1985 terjadi perbedaan Idul Fitri. Setelah itu terjadi perbedaan secara berturut-turut, yaitu tahun 1412/1992, 1413/1993, dan 1414/1994.
Perbedaan Idul Fitri tahun 1405/1985 terjadi karena hasil perhitungan tidak sesuai dengan hasil rukyat di Lapangan. Pada saat itu, Sidang Isbat memutuskan berdasarkan istikmal. Hal yang sama pada kasus 1412/1993, perbedaan terjadi karena perbedaan hasil perhitungan Lajnah Falakiyah PBNU oleh K.H. Mahfudz Anwar yang menetapkan awal Syawal 1412 H jatuh pada hari Sabtu tanggal 4 April 1992 dan laporan hasil rukyat oleh K.H. Kamil Chayyan, K.H. M. Hisyam, dan K.H. Hasan Basri, dengan hasil perhitungan Badan Hisab Rukyat yang menyebutkan menurut hisab hakiki tahkiki dan hisab kontemporer posisi hilal pada hari Jum’at belum wujud.
Begitu pula berdasarkan laporan rukyat yang dilaksanakan oleh Departemen Agama RI di seluruh wilayah Indonesia tidak ada yang berhasil melihat hilal, sehingga Sidang Isbat awal Syawal 1412 pada hari Jum’at tanggal 3 April 1992 menetapkan Tanggal 1 Syawal 1412 jatuh pada hari Ahad, 5 April 1992 ditetapkan berdasarkan istikmal (Ramadan digenapkan 30 hari).
(Penulis bersama K.H. Irfan Zidny Ketua Lajnah Falakiah PBNU Era Gus Dur)
Keputusan Sidang Isbat Awal Syawal 1412 tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 85 Tahun 1992 ditandatangani Menteri Agama RI H. Munawir Sjadzali.
Selanjutnya, perbedaan yang terjadi pada tahun 1413/1993 dan 1414/1994 secara prinsip sama dengan kasus penentuan awal Syawal 1405/1985 dan 1412/1992, yaitu terjadi perbedaan hasil perhitungan dan laporan keberhasilan melihat hilal di Cakung dan Nambangan oleh NU, sedangkan berdasarkan Tim Departemen Agama posisi hilal belum wujud dan tidak ada yang berhasil melihat hilal sehingga Sidang Isbat Awal Syawal 1413/1993 dan Awal Syawal 1414/1994 menggunakan istikmal.
Berdasarkan kasus-kasus di atas, NU berlebaran lebih awal dibandingkan hasil Sidang Isbat yang diselenggarakan oleh Departemen Agama RI. Dengan kata lain, pihak NU tidak menerima hasil Sidang Isbat meskipun menggunakan istikmal.
Secara normatif, sikap NU ini terkesan tidak sesuai dengan hasil Keputusan Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1404/1983 yang diperkuat keputusan Munas Alim Ulama NU di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugian Cilacap 1408/1987 di atas. Namun menurut penuturan K.H. A. Salam Nawawi dan K.H. Sirril Wafa (14 Ramadan 1445/24 Maret 2024), penolakan NU terhadap hasil Sidang Isbat tersebut dikarenakan hasil rukyat NU dianulir karena tidak selaras dengan hisab yang akurat, maka NU memandang bahwa isbat istikmal oleh pemerintah diambil berdasarkan hisab. Sesuai keputusan MUNAS 1404/1983, NU lalu mengambil sikap yang tidak sejalan dengan isbat. Seiring perjalanan waktu, mulai tahun 1418/1998, PBNU mulai memberi tempat pada hisab akurat untuk mengontrol validitas laporan rukyat.
Pada era ini meskipun PBNU sering berbeda dengan keputusan Sidang Isbat yang dilakukan pihak pemerintah, tidak ditemukan wacana “hukmu al-Haakim ilzaamun wa yarfa’u al-khilaf ” (keputusan hakim mengikat dan mengangkat perbedaan) ” dan ketaatan kepada ulil amri” yang merujuk Q.S. An-Nisa’ ayat 59.
Selanjutnya, pada era Reformasi autentisitas dan kredibilitas Sidang Isbat mulai dipertanyakan berbagai kalangan. Salah satunya artikel berjudul “Autentisitas Itsbat” ditulis oleh Muh. Hadi Bashori dimuat di Harian Republika (2012). Menurutnya, forum Sidang Isbat cenderung mendiskriminasi dan mengintimidasi kelompok yang terlihat berseberangan dengan suara mayoritas. Tidak jarang cenderung membela salah satu pihak mayoritas.
Sejalan dengan pandangan Hadi Basori, Iip Wijayanto dalam artikelnya yang berjudul “Sidang Isbat, Masih Diperlukan?” dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat (2013) menyatakan dengan tegas “Sidang Isbat yang ujung-ujungnya jadi ajang unjuk dalil dan penghakiman satu pihak kepada pihak lain sebaiknya dihapuskan saja”.
Apalagi kadang justru memperuncing perbedaan di tengah-tengah umat Islam. Di sisi lain, ada pihak yang masih mendukung keberadaan Sidang Isbat untuk memberi kepastian kepada umat. Hal ini sebagaimana tercermin dalam artikel berjudul “Isbat Mazhab Negara” oleh Ismatillah A. Nuad dimuat di Harian Media Indonesia (2014). Pada era ini NU berbeda sikap. Awalnya menolak hasil keputusan Sidang Isbat meskipun ditentukan melalui metode Istikmal sesuai yang dipedomani. Kini pihak NU termasuk pendukung kuat keberadaan sidang Isbat.
Narasi yang dikembangkan adalah hukmu al-Haakim ilzaamun wa yarfa’u al-khilaf ” (keputusan hakim mengikat dan mengangkat perbedaan) ” dan ketaatan kepada ulil amri” yang merujuk Q.S. An-Nisa’ ayat 59. Dengan kata lain beda era beda kebijakan dalam merespons hasil keputusan Sidang Isbat.
Oleh karena itu, tidak salah jika ada pihak yang menyebutkan Sidang Isbat tergantung Menteri Agamanya. Dalam menyikapi keberadaan Sidang Isbat nampaknya perlu direnungkan kembali sikap K.H. A. Ghozalie Masroeri Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (wafat 25 Jumadil Akhir 1441/19 Februari 2020) yang menyatakan “kewajiban taat melaksanakan keputusan pemerintah sifatnya tidak mutlak, yakni sepanjang keputusan itu didasarkan pada pendapat yang mu’tamad, jika tidak didasarkan pendapat yang mu’tamad maka keputusan itu dapat ditolak.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana diceritakan Salahuddin Wahid dalam artikelnya berjudul “Perbedaan, Rahmat, atau Bencana” dimuat di Harian Republika (2000) juga mengingatkan agar negara tidak campur tangan dalam urusan agama termasuk penetapan awal Ramadan dan Syawal.
Dalam konteks ini, sikap Menteri Agama RI Gus Yaqut dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal belum sepenuhnya menjiwai pemikiran Gus Dur. Meskipun demikian, langkah yang ditempuh sudah sesuai. Upaya moderasi dalam penentuan awal bulan kamariah tidak boleh berhenti hanya sebatas saling menghormati antara pengguna hisab dan rukyat.
Moderasi ini perlu diarahkan dan ditingkatkan ke arah unifikasi atau integrasi hisab dan rukyat dalam bingkai sebuah sistem kalender Islam yang mapan. Denny JA pendiri Lingkaran Survei Indonesia beberapa waktu yang lalu menyatakan perlunya Kalender Islam Global bagi umat Islam. Terlepas validitas pernyataan tersebut, saatnya Menteri Agama RI melakukan terobosan dan landasan bagi upaya mewujudkan kalender Islam pemersatu ke depan.
Mengapa memilih Kalender Islam Global? Upaya mewujudkan Kalender Islam Lokal dan Regional sudah lama dilakukan namun hasil belum sesuai harapan, mengapa? Karena yang dilakukan baru sebatas mencari titik temu antara hisab dan rukyat sehingga perbedaan antar anggota MABIMS tidak bisa dihindari.
Contoh kongkret perbedaan antar anggota MABIMS, misalnya ketika menggunakan kriteria IR 2,3,8 terjadi perbedaan dalam menentukan Awal Syawal 1432 H, Awal Jumadil Akhir 1435 H, Awal Ramadan 1440 H, dan Awal Syawal 1440 H. Begitu pula ketika menggunakan kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS 3,6.4 antar anggota MABIMS berbeda dalam menentukan Awal Syawal 1443 H. Sekiranya kriteria MABIMS bisa menyatukan wilayah regional belum tentu bisa menyatukan tingkat global. Sebaliknya jika wilayah global yang dituju dan bisa diwujudkan maka problem lokal dan regional secara otomatis bisa diselesaikan.
Bagi Indonesia, penerimaan terhadap konsep Kalender Islam Global adalah kompromi yang terbaik antara pengguna hisab dan rukyat. Masing-masing pihak diposisikan sama. Inilah moderasi yang sesungguhnya. Kehadiran Kalender Islam Global menjaga keseimbangan dan keadilan bagi muslim seluruh dunia melalui syarat “Tidak boleh menunda dan tidak boleh memaksa“. Artinya, penentuan awal bulan kamariah tidak semata-mata mempertimbangkan wilayah yang sudah masuk. Tetapi juga memperhatikan wilayah yang belum masuk. Adanya syarat ini menjaga agar umur bulan tidak kurang dari 29 hari dan lebih dari 30 hari. Dengan demikian, konsep Kalender Islam Global sesuai pesan Rasulullah Saw yang menyebutkan umur bulan kamariah adalah 29 hari atau 30 hari.
Uji sahih telah dilakukan selama 100 tahun tidak ditemukan umur bulan kamariah yang kurang dari 29 hari dan tidak ada yang lebih dari 30 hari. Selanjutnya, kriteria yang digunakan Kalender Islam Global 5,8 terbuka untuk diperbaiki sesuai tuntutan zaman dan hasil riset terbaru. Inilah peluang bagi para pemburu hilal untuk mewakafkan diri melakukan observasi secara berkelanjutan dan terdokumentasi secara baik agar dapat dijadikan sumber data sekaligus berkontribusi dalam merumuskan kriteria baru.
Tugas mulia ini perlu memperoleh perhatian dari Kementerian Agama RI dan pihak-pihak terkait sebagai langkah awal memajukan sains dan teknologi. Sekiranya konsep Kalender Islam Global diadopsi oleh Pemerintah Indonesia, apakah Sidang Isbat masih diperlukan? Tentu saja perlu dipertimbangkan berbagai pandangan yang berkembang di masyarakat dengan memperhatikan nilai kemaslahatan bersama. Dengan demikian, kehadiran Sidang Isbat diterima semua pihak dengan gembira. Langkah ini dilakukan untuk mendayung ukhuwah dan mengikis perbedaan.
Editor: Soleh