Akal dan Tingkatannya
Secara etimologi, menurut Ibrahim Musthofa, akal dapat didefinisikan dengan sesuatu yang berfungsi untuk berpikir, berdalil, dan menyusun gambaran-gambaran suatu masalah dan pembenarannya serta pembeda antara baik dan buruk atau yang hak dan yang batil (Lihat: Ibrahim Musthafa, Al-Mu’jam, [Istambul: Maktabah Islamiyah], halaman 616-617).
Imam Al-Ghazali membagi akal menjadi dua kelompok, yaitu akal gharîziy yang merupakan pembawaan yang ada pada diri manusia seperti sifat yang menjadikan manusia berbeda dengan hewan. Akal ini telah siap menerima teori-teori ilmu dan memanajemen produk-produk yang ada dalam alam pikir.
Tidak hanya itu saja, yang kedua, akal gharîziy berisi pengetahuan tentang realita yang mampu membedakan mana perkara yang mungkin, mustahil, dan ja’iz. Seperti ilmu tentang dua itu lebih banyak dari satu. Dan satu orang tidak mungkin dapat menempati tempat yang berbeda dalam waktu yang sama.
Adapun jenis yang kedua adalah akal yang diperoleh dengan usaha, atau yang biasa dikenal dengan sebutan akal muktasabi. Yang pertama, akal ini berisi ilmu-ilmu yang diperoleh dari al-tajarub (proses/eksperimen) terhadap situasi dan kejadian yang pernah dialami oleh seseorang.
Setelah ditempa oleh berbagai pengalaman yang dialami seseorang, akal muktasabi yang kedua dapat memperoleh kemampuan mengetahui dan mempertimbangkan segala konsekuensi yang muncul akibat perbuatannya. Bahkan, meskipun seseorang tersebut belum melakukan perbuatannya.
Apabila seseorang sudah memiliki empat kemampuan ini, serta orang tersebut dapat mengendalikan syahwat yang mengajak kepada kenikmatan yang bersifat semu, maka ia bisa disebut ‘aqil (orang yang berakal). Dan siapa saja yang tidak memiliki sifat ini, maka disebut Ghabiy (orang yang bodoh) (Lihat: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulûm al- Dîn, [Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah], halaman 84-85).
Fungsi Akal Terhadap Dalil naqli
Akal menjadi saksi atas dalil naqli. Akal berfungsi untuk menganalisis dan berpikir dan menggali makna yang terkandung dalam nash-nash syara’. Tanpa akal, semua hukum dan hikmah yang terkandung tidak akan ditemukan. Dan dengan akal, dalil naqli menjadi kokoh dengan hujjah yang kuat.
Meskipun demikian, fungsi akal tidak boleh diterima begitu saja. Sebab, masih memerlukan kajian-kajian yang bersifat komperhensif agar bisa menghasilkan produk hukum yang memberikan maslahat dan sesuai dengan kebutuhan maupun tuntutan zaman yang terus berkembang.
Namun perlu diingat, akal memiliki fungsi untuk membuktikan kebenaran hukum syara’ bukan sebagai sumber hukum syara’. Namun meski begitu, hasil penalaran akal yang sehat dan benar pasti tidak akan keluar dan bertentangan dengan apa yang di tetapkan oleh dalil naqli.
Tidak hanya itu, akal juga bukan segala-galanya. Karena akal sendiri memiliki ruang lingkup yang terbatas yang tidak dapat dijangkaunya. Al-Ghazali melihat ada suatu ruang dalam bidang amaliah yang terdapat bidang yang haram dimasuki oleh akal.
Misalkan dalam masalah mengetahui hukum terinci dari ibadah-ibadah syar’iyah, akal tidak dapat mengetahui mengapa jumlah sujud dalam setiap 1 rakaat shalat ada dua, shalat shubuh jumlahnya hanya dua rakaat lebih sedikit dari shalat dhuhur, dan seterusnya.
Kedudukan Akal dan Dalil naqli
Menurut Al-Ghazali, secara teoritis, akal dan syara’ tidak bertentangan secara hakiki. Karena semuanya adalah anugerah petunjuk dari Allah. Begitu juga dari segi praktis, tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah, semuanya saling melengkapi dan mendukung.
Lebih jelasnya lagi, Imam Al-Ghazali memberikan perumpamaan akal sebagai penglihatan yang sehat. Sedangkan Al-Qur’an bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainnya saling membutuhkan, kecuali orang-orang yang bodoh (Lihat: Al-Ghazali dalam muqaddimah kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah], halaman 4).
Perumpamaan orang yang berpegangan dengan Al-Qur’an tetapi ia mengabaikan peran akal, sama halnya dengan melihat cahaya matahari dengan menutup kedua matanya. Sehingga, tiada bedanya mereka dengan orang yang buta.
Begitu juga sebaliknya, orang yang berpegang teguh dengan akal namun ia mengabaikan diri dari cahaya Al-Qur’an, sama halnya dengan orang memiliki penglihatan yang sehat namun berjalan dalam kegelapan tanpa petunjuk dan sia-sialah penglihatan yang ia miliki.
Bahkan Imam Al-Ghazali menyerukan pentingnya penggabungan ilmu-ilmu akal dan ilmu-ilmu agama. Seperti halnya termaktub dalam muqaddimah kitab Al-Mustashfa tentang korelasi ilmu fikih dan ushul fikih karena ilmu ini mengambil dalil naqli dan akal yang bersih secara bersama-sama.
Sikap Tawasuth
Al-Ghazali mendudukan akal dan naql secara sejajar dan seimbang dan tidak saling bertentangan. Ia memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dapat dijangkau akal dengan menggeser makna hakiki kepada makna batin atau majaznya (mentakwil) bila ada dalil yang kuat akan kemustahilan makna lahir.
Dengan sikap ini pula, Al-Ghazali tidak hanya mengambil makna tersurat saja seperti golongan Hasywiyah dan Karamiyah, dan tidak pula mengambil makna batin sebagaimana aliran Bathiniyah. Akan tetapi mengambil kedua makna secara bersamaan.
Menurut Muhammad Imarah, sikap mengambil jalan tengah ini merupakan sebuah konsep yang melambangkan titik sistematis di antara dua kutub. Sikap jalan tengah ini merupakan simbol keseimbangan antara dua sisi yang berlawanan dan kebenaran di antara dua kebatilan [Lihat: Muhammad Imarah, Al-Wasathiyah Hajar az-Zawiyah fir-Ru’yah al-Islamiyah, hlm. 27].
Rasionalitas Islami itu merupakan konsep pemikiran yang mendalam dan menyeluruh penggabungan antara akal dan naql. Di mana kita harus membaca naql dengan ‘aql dan menilai akal dengan naql. Dengan demikian, rasionalitas islami tidak lepas dari pertimbangan akal dan juga tidak lepas dari petunjuk naql.