Inspiring

Anak Muda Harus Menimba Ilmu dan Hikmah dari Buya Syafii

4 Mins read

Anda dan saya masih terhitung muda. Kita bagian dari generasi muda bangsa Indonesia. Meski tiap hari belajar dan bekerja, tak berarti Anda yang muda sudah bisa segalanya. Jika begitu, maka kita harus sadar diri.

Sadar diri bahwa kita masih perlu bimbingan para guru. Kaum muda Indonesia patut bersyukur kepada Tuhan, karena salah satu guru itu masih berada di tengah-tengah kita. Buya Syafii panggilannya.

Saya sendiri bukan orang Muhammadiyah. Kayaknya juga bukan NU. Tapi, karisma dan hikmah para guru dari dua jam’iyyah utama Indonesia itu tak bisa dihalangi mempengaruhi kami yang bukan siapa-siapa ini.

Buya Syafii bukan sembarang tokoh. Murid pemikir legendaris Fazlur Rahman ini tak henti-hentinya bertutur dengan hikmah. Saya rasa, Buya memanggil-manggil kita, generasi muda, supaya segera ingat, bahwa kita punya tugas peradaban yang tidak ringan.

Menyadari Ketertinggalan Kita

Sebagai Muslim, setidaknya kita punya rasa bangga atas keislaman kita. Barangkali itu salah satu ekspresi rasa syukur mendapat hidayah Tuhan. Tapi, menurut Buya Syafii, jangan berlama-lama terlena dalam rasa bangga itu. Bisa jadi ia semu. Bisa jadi kita hanya terjebak romantisisme (Buya Syafii, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, 2018).

Bukan tanpa alasan Buya bicara begini. Bagi Buya, lihat saja, kondisi dunia Islam berabad-abad lamanya mengalami keterpurukan. Ambil contoh Indonesia. Bukan contoh sepele, karena kita punya penduduk Muslim terbanyak di dunia. Intoleransi, hate-speech, pelanggaran lalu lintas, korupsi, ketidakadilan ekonomi, politik tak bermoral, masalah kebersihan, tidak disiplin, kemalasan, dan masih banyak lagi.

Mungkin ada barokah pada diri Buya karena lama berguru kepada Fazlur Rahman. Seperti gurunya itu, Buya tajam melihat dan menganalisa kondisi dunia Islam menggunakan ayat-ayat suci.

Kenyataannya, bagi Buya Syafii, umat Islam selama ini tidak cukup bertanggung jawab menjalankan amanah wahyu. Keterbelakangan kita adalah akibat kesalahan kita sendiri, karena tidak menghayati pesan-pesan Tuhan.

Baca Juga  Akhir Hidup Abu Dzar al-Ghifari, Sahabat yang Melawan Para Penimbun Harta

Sama seperti Buya, Ali Allawi (2009) juga berpendapat bahwa salah kita sendiri sehingga kita kehilangan elan vital kreativitas peradaban Islam. Sama seperti Buya, guru kita yang lainnya, Dawam Rahardjo (2012) juga berpendapat bahwa krisis kemanusiaan, masalah etika politik, ketidakadilan ekonomi, dan disintegrasi sosial berpangkal dari rendahnya kualitas sumber daya manusia di dunia Islam, termasuk Indonesia.

***

Nasihat Buya untuk kita adalah bahwa menjadi Muslim saja tidak cukup. Beramal fiqhiyyah dan berpikir i’tiqadiyyah saja belum cukup. Religiusitas kita meski terwujud dalam pemikiran kemanusiaan dan praktik etika yang beradab.

Tak ada artinya menjadi Muslim jika ucapannya kasar, perilakunya kotor, mencuri hak orang lain, memanfaatkan uang negara untuk kelompok dan keluarga sendiri, dan menebar kebencian atas sesama manusia.

Bukankah kita saksikan sendiri bagaimana perang demi perang terjadi di dunia Islam modern? Menurut Ahmet T. Kuru (2019) kita seharusnya menyudahi sikap acuh atas fenomena kekerasan di dunia Islam ini. Sebab, faktanya, eskalasi kekerasan itu makin meningkat.

Buya sangat sedih melihat hari ini masih ada di antara kita yang ribut karena perbedaan Sunni-Syi’ah, perbedaan pendapat fiqhiyyah dan i’tiqadiyyah, atau perbedaan dukungan politik. Buya heran, mengapa umat ini sangat intens dalam bertengkar?

Bagi Buya, ini juga menjelaskan mengapa energi kita akhirnya habis dalam konflik internal, sehingga tak tersisa lagi untuk memikirkan cara membangun dunia yang lebih adil dan humanis.

Anda bisa jadi akan bilang begini, “Sudahlah, jangan lihat kekurangannya saja, dunia Islam juga ada lebihnya. Lihat saja Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab, mereka maju sekali.

Mewakili Buya, saya akan bilang begini, “Sudahlah, menurut Buya, kemajuan itu bukan diukur dari beton-beton yang dibangun, atau dollar yang dikumpul. Kemajuan itu apabila sebuah bangsa dan peradaban bisa menyumbang perdamaian bagi dunia. Apakah Saudi itu penyumbang kedamaian?

Baca Juga  Yang Tetap dan Yang Berubah dari Buya Syafii

Benang Merah Al-Qur’an Menurut Buya Syafii

Membaca salah satu buku Buya, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018), membuat siapa pun akan menemukan kesamaan visi dan gaya dengan buku Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran.

Fazlur Rahman, dalam bukunya itu menjelaskan tema dan ide utama yang dibawa oleh wahyu. Di antaranya adalah ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan. Buya menyebut itu semua dengan istilah “benang merah Al-Qur’an”.

Nah, masalahnya, benang merah itu tak lagi tampak penting di mata kita. Siapa pun akan heran melihat pertikaian sektarian antara Sunni dan Syi’ah selama ini. Heran melihat intoleransi sebagian orang yang mengaku Muslim. Heran melihat ketertinggalan peradaban Islam. Padahal, benang merah kitab suci kita justru mengajarkan hal yang sebaliknya.

Ini kata-kata Buya sendiri: “Saat ini, terlihat betapa tajamnya kesenjangan sosial-ekonomi pada tataran global dan nasional. Kemudian tengoklah penduduk Muslim dengan jumlah sekitar 1.6 miliar manusia di seluruh dunia adalah di antara umat yang lumpuh dan hina, tidak mampu berbuat apa-apa untuk mempertautkan kesenjangan itu, karena masalah internal mereka benar-benar sangat memprihatinkan.”

Buya belum selesai. Beliau melanjutkan: “Secara teologis, umat ini terpecah-pecah dalam berbagai sekte sebagai buah pahit dari sengketa politik elite Arab-Muslim pada abad-abad permulaan. Adalah sebuah ironi yang memalukan, mengapa kemudian dalam bilangan kurun yang panjang, sengketa elite Arab itu diekspor ke seluruh komunitas Muslim di muka bumi sampai hari ini, termasuk ke Indonesia?

Nasihat Buya lagi, terutama kepada generasi muda, adalah bahwa kita harus membuka mata, dan akhirnya turun tangan mengatasi semua kemelut ini. Langkah pertama adalah mengakui secara jujur bahwa kita mengalami krisis. Dari sana, kaum muda harus serius menyumbangkan waktu, energi, uang, dan dirinya sendiri untuk menjadi pribadi Muslim yang adil, dan bersama-sama menciptakan masyarakat yang beradab.

Baca Juga  Al Jahiz: Ulama yang Berpikir Kritis dan Skeptis

Hidupkan Lagi Hukum Cinta

Bagi kaum muda Indonesia, Buya adalah rantai silsilah yang menyambungkan generasi kita dengan generasi pemikir besar masa silam. Seharusnya, kita berterima kasih sebab Buya telah menyumbangkan diri dan hartanya bagi ilmu. Masa mudanya habis dipakai berguru. Secara langsung, ia dididik oleh Fazlur Rahman. Dan, lewat cara lainnya, ia dicerahkan oleh pemikiran Sir Muhammad Iqbal.

Buya bukan sejarahwan biasa. Setiap telaah historisnya atas dunia Islam, bertujuan mencari saripati jiwa Islam untuk kemudian dipakai menciptakan dunia Islam modern yang lebih maju dan humanis. Di sinilah, salah satunya, peran Iqbal dalam diri Buya. Pemikiran filsuf dan penyair Muslim-Pakistan ini penuh corak humanis, kemajuan, dan cinta.

Menurut Buya, sejak abad ke-19 Iqbal berusaha, melalui puisi yang tajam, menyadarkan saudara Muslimnya agar bangkit dari kejatuhan. Melalui apa? Buya melanjutkan; melalui persatuan dan persaudaraan.

Sayang seribu sayang, Buya melihat puisi Iqbal memang dihafal dan dibaca, tetapi perubahan mendasar tak kunjung terjadi pada kita. Jangankan puisi Iqbal, Al-Qur’an sendiri dibaca dan dihafal, namun lebih sering kita khianati amanah persatuan dan persaudaraannya.

Buya sedih, mungkin menahan tangis. Kata Buya, “Puisi tinggal puisi, kelakuan tidak juga membaik. Pakistan yang mengklaim Iqbal sebagai miliknya, malah nyaris menjadi negara gagal.”

Mungkin Buya juga mau bilang begini: Ayat suci tinggal ayat suci, kelakuan tidak juga membaik. Dunia Islam yang mengklaim Al-Qur’an sebagai miliknya, malah nyaris menjadi peradaban gagal.

Akhirnya, kesedihan ini ditutup Buya dengan mengutip puisi indah Iqbal. Puisi yang sedih, namun tetap menitipkan harapan:

Sekalipun satu keluarga, kita merasa asing satu sama lain,

Ikat kembali dedaunan yang berserakan ini,

Hidupkan lagi hukum cinta!

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *