Feature

Sikap untuk Teman yang Merasa Gagal

2 Mins read
Oleh: Afthonul Afif*

Kemarin sore seorang teman mengirim pesan bertubi-tubi ke WA saya. Dia memberitahu saya bahwa dia sedang berada dalam kondisi emosi yang sulit. Pemicunya adalah kegagalannya dalam sebuah ujian seleksi yang baginya sangat penting dan menentukan hidupnya.

Dia merasa tidak pantas mendapatkan kegagalan itu, sebab dia merasa bahwa persiapan yang dia lakukan jauh lebih berbobot dibanding tingkat kesulitan ujian yang dia ikuti. Dia juga merasa tidak mengalami hambatan berarti selama mengikuti ujian itu. Dia lalu meminta izin untuk menelepon saya untuk menceritakan kondisinya secara lebih leluasa. Tanpa pikir panjang saya mengiyakan.

Ketika dia menceritakan kekecewaannya, saya berusaha untuk tidak memastikan apakah yang dia ceritakan benar adanya. Saya hanya mencoba menjadi pendengar yang baik saja, sebab pikir saya inilah sesuatu yang paling dia butuhkan saat itu. Terus terang saya bingung harus memberikan tanggapan apa.

Selain karena saya mengenalnya sebagai pribadi yang cemerlang di bidangnya, saya juga merasa tidak perlu berbuat konyol dengan memberikan tanggapan balik dalam pernyataan-pernyataan normatif dan klise. Ini tentu sangat tidak berguna buatnya. Selama hampir satu jam saya hanya menyediakan telinga saya untuk mendengarkannya saja.

Ketika giliran dia meminta tanggapan, saya bilang saya perlu waktu untuk memberikan tanggapan yang tepat. Dia pun menutup telepon dan menunggu janji saya, segera. Namun baru dini hari tadi saya bisa memberikan tanggapan. Saya berkirim pesan ke WA teman saya untuk mengecek email. Demikian isi tanggapan saya.

Pertama-tama saya memintanya untuk tidak menilai jerih payah persiapannya sebelum ujian, itu hanya akan membuatnya berpikir bahwa dunia sedang tidak adil kepadanya. Saya juga memintanya untuk tidak membayangkan bahwa ada hikmah di balik kegagalannya, sebab ini berpotensi akan menimbulkan kedukaan yang tertunda. Saya hanya memintanya untuk menerima perasaannya sejujur-jujurnya.

Baca Juga  Menuju Indonesia Unggul: Optimalisasi Pendidikan Nonformal

Bila itu menimbulkan sensasi sakit, rasakan itu sesakit-sakitnya. Intinya, “berikan perasaanmu untuk merasakan kekecewaan secara cukup dan pantas. Tidak perlu menghindar dan malu. Bila perlu bayangkan perasaan sakit itu sanggup melepuhkan permukaan kulitmu.”

Saya tidak menawarkan solusi apa-apa. Melengkapi tanggapan balik saya, saya hanya menyertakan review atas sejumlah studi saja. Saya merasa dia lebih cocok dengan cara saya ini, sebab saya tahu dia adalah pribadi dengan kapasitas intelektual yang cemerlang. Saya tahu dia tidak suka dinasehati, bahkan cenderung meremehkannya.

Saya lanjutkan tanggapan saya.

Ketika perasaan kita membayangkan kondisi yang lebih baik karena hari ini kita dalam kondisi sebaliknya, ia tidak selalu menjadi petunjuk bahwa kita benar-benar akan sesuai dengan kondisi yang kita bayangkan saat ia benar-benar terjadi.

Ambil contoh, mengapa kita memejamkan mata saat kita membayangkan suatu kejadian atau benda, dan menutup telinga ketika kita ingin mengingat sebuah lagu? Kita melakukan ini karena otak kita harus menggunakan korteks visual dan auditori untuk menampilkan imajinasi baik visual maupun auditori. Ketika bagian itu sudah sibuk dengan tugas utama mereka dalam kehidupan nyata hari ini, mereka tidak suka dengan pekerjaan membayangkan.

Kita tidak mudah membayangkan seekor kodok ketika kita sedang sibuk mengamati cicak kawin, karena aktivitas melihat ini telah mengaktifkan komponen-komponen dalam otak yang diperlukan oleh imajinasi. Dengan kata lain, ketika kita meminta otak kita menyaksikan benda nyata dan benda imajiner secara bersamaan, otak kita biasanya memberikan kesempatan pertama pada benda nyata, baru sisanya pada benda imajiner.

Otak menganggap bahwa tugas utamanya adalah melihat benda nyata. Sehingga keinginan kita untuk meminjam korteks visual guna membayangkan benda imajiner barang sebentar saja akan ditolak mentah-mentah. Andai otak kita tidak memiliki kebiasaan mendahulukan yang nyata ini (reality first policy), maka akan terjadi lebih banyak kecelakaan lalu lintas. Sebab kita akan menerabas lampu merah hanya karena kita kebetulan membayangkan lampu hijau. Ini sama dengan, misalnya, kita menolak ajakan teman kita untuk nonton bioskop minggu depan bahkan jika itu adalah film yang kita sukai setelah dia hari ini menghilangkan laptop kita.

Baca Juga  Covid-19 dan Kematian

Otak kita terlalu sibuk memikirkan hilangnya data-data penting sehingga menolak membayangkan keasyikan menonton film. Kejadian-kejadian masa mendatang mungkin meminta izin untuk mengakses daerah-daerah emosi pada otak kita, namun peristiwa-peristiwa masa sekarang hampir selalu menghalangi akses tersebut.

Jadi, sebagai teman saya hanya bisa menyarankan, “Nikmatilah kesedihanmu dulu hingga otakmu bosan memikirkannya.”

*) Penulis dan pemerhati isu-isu psikologi. Pengkaji ilmu keperilakuan.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds