IBTimes.ID – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut bahwa silaturahmi harus dapat menumbuhkan rasa welas asih, murah hati, dan persaudaraan abadi. Pada saat yang sama, silaturahmi juga harus dapat meredam benih-benih kebencian dan dendam kesumat.
Menurutnya, silaturahmi adalah ajaran Islam yang luhur. Dalam Islam, silaturahmi telah menjadi tradisi keagamaan yang baik. Umat Islam harus bisa mengambil makna terdalam dari silaturahmi.
“Makna silaturahmi adalah mempertautkan persaudaraan. Apalagi, umat Islam saling diikat oleh iman. Bila silaturahmi diwujudkan sehari-hari, silaturahmi dapat menjadi kekuatan ruhani untuk menumbuhkan rasa welas asaih, murah hati, dan persaudaraan abadi,” ujarnya dalam kegiatan Halalbihalal & Silaturahmi Keluarga Besar Muhammadiyah, Sabtu (7/5/2022).
Haedar menyebut bahwa keluarga besar Muhammadiyah telah memiliki benih-benih kebaikan, karena setiap hari memupuk silaturahmi melalui organisasi. Kalaupun ada bagian yang terputus, maka dapat disambung kembali di hari kemudian.
Silaturahmi, imbuhnya, juga membuat kualitas taqwa terus meningkat. Ketaqwaan tidak bisa dinaikkan dengan cara sekali jadi. Taqwa merupakan ikhtiar ruhaniah, yang salah satunya cara memperkuatnya adalah melalui silaturahmi.
Allah Yang Maha Rahman menyayangi hamba-hamba yang merawat silaturahmi dan tidak memutuskannya, sebagaimana sabda Nabi yang artinya:
Allah SWT yang Maha Besar dan Maha Kuasa berfirman. “Aku adalah Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman). Aku membuat ikatan persaudaraan dan memberinya nama dari nama-Ku. Barangsiapa yang mempertahankan ikatan persaudaraan, maka Aku mempertahankan hubungan dengannya. Dan Aku akan memutus hubungan dengan siapa yang memutuskan silaturahmi.” (HR Abu Dawud).
Di antara ciri “Ulul Albab” yang disebutkan Allah dalam Alquran ialah mereka yang menjalin silaturahmi dan tidak memutuskannya. Selain itu, Nabi meletakkan silaturahmi satu matarantai dengan perintah ibadah, shalat, dan zakat sebagaimana sabdanya:
“Beribadahlah pada Allah SWT dengan sempurna jangan syirik, dirikanlah sholat, tunaikan zakat, dan jalinlah silaturahmi dengan orangtua dan saudara.” (HR Bukhari).
Menurut Haedar, silaturahmi dimulai dari menyambung hal-hal yang sudah tersambung dengan baik dalam “habluminannas” atau relasi sosial kemanusiaan, termasuk dengan lingkungan sekitar. Kemudian menyambung relasi yang terputus untuk saling memaafkan, berdamai, bersatu, serta memperbaiki hal yang selama ini bermasalah antar sesama.
Nabi SAW bersabda yang artinya:
“Silaturahmi bukanlah sekadar saling membalas kebaikan. Tetapi seorang yang berusaha menjalin hubungan baik ketika seseorang memutuskan tali persaudaraan dengan menyambungnya kembali” (HR Bukhari).
“Bila ada masalah dan retak sesama kita yang bersifat personal maupun kolektif di lingkungan Persyarikatan, umat Islam, bangsa, dan relasi dengan bangsa lain maka bagaimana dengan spirit silaturahmi berusaha dicari solusi dan direkat kembali sehingga kehidupan berjalan menjadi lebih baik. Silaturahmi dapat mengobati penyakit dengki, benci, dan kesumat hati yang sering menjadi benih perselisihan, pertengkaran, pembelahan, dan permusuhan antar pribadi maupun kolektif,” ujar Haedar.
Ia menyebut bahwa dalam kehidupan bangsa dan negara, taqwa dan iman harus diimplementasikan menjadi kesalehan kolektif. Kesalehan kolektif adalah manifestasi dari ajaran Islam yang esensial.
“Belakangan, kita menyaksikan umat Islam menunjukkan semarak dan syiar keislaman yang luar biasa. Baik di Indonesia maupun di luar negeri. Keislaman di ruang publik semakin meluas. Suasana yang bagus tersebut harus terus dirawat,” imbuhnya.
Keislaman di ruang publik, menurutnya bisa menjadi modal dasar untuk menanamkan nilai-nilai keislaman dari tingkat yang verbal dan simbolik menuju tingkat hakiki dan esensial. Sehingga keislaman masyarakat menjadi harmoni antara kulit dan isi. Antara syiar dan substansi. Antara hal-hal yang individual dan sosial.
Pasca ramadhan, umat Islam harus mampu mengharmoniskan kedua sifat tersebut. Bersamaan dengan itu, keislaman yang dihadirkan juga harus merupakan keislaman yang membawa gerak kemajuan peradaban.
Haedar juga berpesan agar umat Islam menjadikan puasa yang telah dilalui sebagai mujahadah atau jalan spiritual untuk meningkatkan kualitas uswah hasanah dalam kehidupan. Uswah hasanah dalam beragama yang terintegrasi antara beraqidah, beribadah, berakhlak, dan bermuamalah-dunyawiyah secara lebih berkualitas.
“Semoga kita menjadi insan-insan bertaqwa berkualitas tertinggi yang dibuktikan dalam pikiran, lisan, ujaran, dan tindakan, disertai keteladanan yang sejalan antara kata dan perbuatan,” imbuhnya.
Reporter: Yusuf