Mungkin kata sinkretisme masih belum begitu familiar di telinga kita. Sedangkan kata pluralisme sepertinya sudah banyak dibincangkan akhir-akhir ini. Lalu, apakah benar jika sinkretisme dikatakan sebagai buah dari kegagalan kita memahami pluralisme? Jadi, bagaimana agar tidak salah dalam memahami pluralisme?
Sinkretisme
Menurut KBBI, sinkretisme adalah paham baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya. Dalam KBBI juga diberi contoh dengan kalimat ‘Upacara Syiwa Buddha adalah ungkapan sinkretisme agama Buddha dan Hindu.
Intinya, sinkretisme kini dipahami sebagai proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. Pada sinkretisme terjadi proses pencampuran berbagai unsur aliran atau paham. Sehingga hasil yang didapatkan dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian dan keseimbangan.
Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama. Dengan demikian, menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.
Sinkretisme pun umumnya terjadi dalam sastra, musik, juga memperwakilkan seni dan lain ekspresi budaya. Sinkretisme mungkin juga terjadi dalam arsitektur dan sinkretik politik, meskipun dalam istilah klasifikasi politik memiliki arti sedikit berbeda.
Di antara bentuk gerakan sinkretisme adalah gnosticisme yang mencampurkan antara filsafat Yunani, agama Yahudi dan agama Kristen di Eropa dan Amerika Utara. Ada juga aliran Buddha Mahayana yang merupakan pencampuran antara ajaran agama Budha dengan Hindu pemuja Dewa Syiwa.
Pluralisme
Mendengar kata pluralisme, mungkin beberapa dari kita tertuju ingatannya kepada sosok Presiden RI ke-4, sang bapak pluralisme. Beliau adalah K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dikenal dengan nama Gus Dur.
Di saat kondisi negeri seperti ini, mungkin sosok seperti beliau sangat dirindukan. Seorang figur aspirin yang dapat memberi ketenangan antar umat, dan pastinya dengan beberapa jokes nyentrik beliau.
Indonesia, negara yang memiliki beraneka keberagaman: suku, bahasa, budaya, dan agama. Di tengah keberagaman tersebut, kita masih (mungkin) bisa menjaga kerukunan antar sesama, walaupun akhir-akhir ini tidak jarang pula perbedaan menjadi bara api pemicu permasalahan.
Entah itu perbedaan suku, suporter sepakbola, dan yang terpanas tahun lalu adalah disebabkan karena perbedaan pilihan 01 dan 02 atau dengan sebutan rivalitas yaitu “cebong dan kampret”.
Tak jarang pula konflik antar umat beragama terjadi di Indonesia. Seperti konflik yang terkenal dengan Tragedi Poso, konflik Tanjungbadai, konflik pembakaran masjid di Papua dan masih banyak lagi yang mungkin tidak tersorot media.
Salah Tafsir
Hillary Clinton (mantan senator Amerika Serikat) pernah mengatakan “If you want to know whether Islam, democracy, modernity, and women rights can co-exist, go to Indonesia“. Jika anda ingin tahu apakah Islam, demokrasi, modernitas, dan hak perempuan dapat hidup berdampingan, pergilah ke Indonesia.
Kalimat tersebut menggambarkan tentang Indonesia yang terbuka untuk semua. Walaupun kita tidak mengetahui makna dibalik ucapan tersebut, namun secara tekstual kalimat tersebut merupakan sebuah apresiasi terhadap Indonesia yang dimana perbedaan dapat hidup berdampingan.
Dewasa ini, di tengah keberagaman (keberagaman agama khususnya), kita ditenangkan dengan kata pluralisme. Sebuah kata yang baik, yang dapat menjadi mata air perdamaian antar perbedaan. Namun di sisi lain dapat menjadi pemudar kepercayaan akan agama jika salah menafsirkannya.
Mengutip perkataan dari Prof. Din Syamsuddin, dewasa ini masyarakat Indonesia sering mengalami gagal paham tentang makna dari pluralisme. Dimana pluralisme ditafsirkan bahwa seluruh agama itu sama karena menuju suatu yang sama hanya saja dengan cara yang berbeda.
Pemahaman seperti itulah yang disebut dengan sinkretisme. Dimana kita menyamakan semua agama, sehingga tidak jarang membuat pudarnya kepercayaan akan agama itu sendiri. Atau bahkan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah baru.
Rekonstruksi Pluralisme
Hemat penulis, ada tiga poin penting dalam mengkonstruksi kembali pemahaman tentang pluralisme:
Pertama, kita harus menyadari sesadar-sadarnya bahwa kita (pemeluk antar agama) memang berbeda, dan untuk itu perdamaian perlu diciptakan. Karena sejatinya toleransi tercipta disebabkan karena adanya perbedaan.
Jika kita terjebak dalam pemahaman sinkretisme, maka beberapa sentimen-sentimen yang mungkin muncul adalah “Jika memang semua agama itu sama, lantas mengapa anda tidak masuk agama saya, atau mengapa anda yang beragama Kristen tidak masuk Islam, toh juga semua agama itu memiliki tujuan yang sama, begitu pula sebaliknya”.
Atau pertanyaan lain yang mungkin muncul adalah “Jjika memang semua agama sama, lantas mengapa Indonesia hanya mengakui enam agama saja? mengapa tidak semua agama dan keyakinan diakui dan diperbolehkan, sebab semua menuju hal yang sama”.
Hal inilah yang dirasa akan menimbulkan permasalahan baru apabila terjebak dalam pemahaman sinkretisme.
Kedua, tiap-tiap umat beragama harus mendalami pemahaman dan nilai-nilai yang terkandung dalam agamanya masing-masing. Di sini kita semua yakin dan bersepakat bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan dan perdamaian antar sesama, namun ego setiap pemeluknya seringkali sulit untuk menerimanya.
Seperti halnya di dalam Islam, tidak ada perintah untuk menyakiti orang yang tak bersalah. Jangankan untuk menyakiti, paksaan kepada orang lain untuk mempercayai Islam saja tidak diperkenankan.
Ketiga, setiap kita harus menyadari betul bahwa kita adalah manusia yang tercipta untuk memanusiakan manusia, selain karena kita manusia tidak bisa hidup sendiri.
Landasan ketiga ini setidaknya mengamankan poin pertama dan kedua dari teori absurditas Albert Camus bahwa “Dunia ini kenyataannya adalah sesuatu yang absurd, kita saja yang berusaha untuk berteori dan menjadikannya rapi”.
Agama selalu dijadikan sumber kedamaian, padahal seringkali agama menjadi sumber kekacauan. Maka, poin ketiga ini dirasa dapat meredam pendapat tersebut.
Berdamailah!
Pada akhirnya, penulis mengajak kepada para pembaca untuk bersama-sama memupuk rasa persaudaraan di atas perbedaan. Bukankah rumah yang megah berdiri di atas pondasi yang kokoh? Dan pondasi yang kokoh tidaklah terbuat dari satu unsur sejenis, melainkan dari beberapa unsur dan menjadi satu. Itulah kita, Indonesia.
Jika tak bisa berdamai karena keyakinan yang berbeda, maka berdamailah karena kita adalah manusia“
Editor: Rifqy N.A./Nabhan