Istilah “industri pendidikan” memang bisa memiliki konotasi negatif tergantung pada konteks penggunaannya. Dalam beberapa kasus, istilah ini dapat menunjukkan pandangan bahwa pendidikan telah menjadi bisnis yang lebih berfokus pada keuntungan finansial ketimbang pada pengembangan siswa secara holistik.
Padahal sekolah seharusnya menjadi tempat untuk mengembangkan potensi dan keterampilan siswa secara holistik. Namun, pada kenyataannya, banyak sekolah yang beroperasi lebih mirip seperti industri, fokus pada prestasi dan pengakuan daripada pengembangan siswa secara menyeluruh.
Fenomena ini mencakup berbagai aspek, mulai dari seleksi siswa berprestasi, pungutan liar, manipulasi akreditasi, hingga beban administratif yang mengalihkan fokus guru. Tulisan ini mengkritisi beberapa aspek negatif dari industrialisasi pendidikan di sekolah-sekolah dan mengeksplorasi apakah fenomena ini wajar terjadi.
Hanya Menerima Siswa Berprestasi: Mengabaikan Potensi Besar
Banyak sekolah unggulan di Indonesia hanya menerima siswa berprestasi dengan tujuan untuk mengangkat nama sekolah dan memberikan pengakuan bagi para guru yang ingin menumpang tenar. Siswa-siswa ini sering kali sudah berprestasi sejak di jenjang sekolah sebelumnya.
Misalnya, sebuah SMA favorit hanya menerima siswa yang memiliki nilai tes yang tinggi atau yang telah menjuarai berbagai kompetisi akademik. Kebijakan ini menimbulkan ketidakadilan karena mengabaikan siswa lain yang mungkin memiliki potensi besar namun belum memiliki kesempatan untuk menunjukkan prestasi mereka.
Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk mengembangkan kemampuan semua siswa, bukan hanya mereka yang sudah berprestasi. Sebagai contoh, SMA di Jawa Timur hanya menerima siswa dengan nilai rapor tertinggi dari seluruh SMP di kota tersebut. Akibatnya, siswa-siswa dengan potensi besar namun nilai yang kurang menonjol terpaksa mencari sekolah lain yang mungkin tidak memiliki fasilitas dan pengajaran sebaik SMA tersebut.
Padahal, sekolah seharusnya mampu mengubah siswa yang kurang berprestasi menjadi siswa yang berprestasi, membuktikan bahwa sekolah adalah tempat pembelajaran, pendidikan, dan pengembangan potensi.
Pungutan Liar: Mengikis Kepercayaan Terhadap Institusi Pendidikan
Pungutan liar atau pungli di lingkungan sekolah telah menjadi masalah yang meresahkan. Dengan berbagai nama seperti “infak komite” atau “iuran pendidikan,” pungutan ini sering kali diwajibkan dan nominalnya sudah ditentukan. Padahal, biaya pendidikan seharusnya sudah ditanggung oleh pemerintah melalui berbagai program seperti BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Praktik ini tidak hanya membebani orang tua, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan.
Contoh kasus yang relevan adalah di sebuah SMA negeri yang meminta “sumbangan sukarela” sebesar Rp 1 juta per siswa untuk pembangunan fasilitas sekolah. Meskipun disebut “sukarela,” pungutan ini ternyata diwajibkan. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022, praktik pungli di sekolah-sekolah negeri masih marak terjadi, dengan modus yang beragam dan sering kali terselubung dalam berbagai kegiatan resmi sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana sekolah masih perlu ditingkatkan.
Mengejar Akreditasi Tinggi dengan Manipulasi Administrasi
Banyak sekolah yang mengejar akreditasi tinggi dengan semangat manipulatif, melakukan segala cara untuk memperbaiki citra administratif mereka demi mendapat pengakuan formal. Praktik manipulasi ini tidak hanya merugikan siswa dan orang tua, tetapi juga merusak integritas sistem pendidikan secara keseluruhan. Akreditasi seharusnya mencerminkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya, bukan hasil manipulasi administratif.
Contoh kasus yang relevan adalah sebuah SMK di Yogyakarta yang memalsukan data kehadiran siswa dan laporan kegiatan sekolah untuk mendapatkan akreditasi A. Meski berhasil mendapatkan akreditasi tersebut, kualitas pendidikan di sekolah ini tidak mencerminkan nilai yang tinggi. Menurut Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M), kasus manipulasi data ini bukanlah insiden yang terisolasi. Banyak sekolah lain juga melakukan praktik serupa demi mendapatkan pengakuan dan dana tambahan dari pemerintah.
Beban Administratif yang Berlebihan: Mengalihkan Fokus Guru dari Mengajar
Guru sering kali dihadapkan pada beban administratif yang berlebihan, mulai dari laporan harian, rekapitulasi data, hingga berbagai kegiatan administratif lainnya. Akibatnya, mereka kehilangan fokus untuk mendidik dan memberikan perhatian lebih kepada siswa.
Padahal, peran utama seorang guru adalah mendidik, membimbing, dan memberikan perhatian yang cukup kepada siswa agar mereka dapat berkembang dengan baik. Seorang guru di sebuah SMP di Jawa Barat yang mengaku tidak masuk sekolah karena harus memancing ikan untuk kebutuhan makan keluarganya karena gaji yang diterima tidak mencukupi.
Banyaknya tugas administratif membuat guru ini kesulitan untuk fokus pada mengajar dan memberikan perhatian lebih kepada siswanya. Menurut data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sekitar 60% waktu kerja guru di sekolah digunakan untuk menyelesaikan tugas administratif, bukan untuk mengajar atau mendidik siswa.
Peran Pengawas Sekolah: Mengawasi dengan Serius dan Berintegritas
Peran pengawas sekolah sangat penting dalam memastikan bahwa sekolah menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Namun, sering kali pengawas sekolah tidak menjalankan tanggung jawab mereka dengan serius, terpengaruh oleh sogokan dan tekanan dari atasan.
Pengawas sekolah wajib menjalankan SOP sebagai bentuk tanggung jawab, bukan berdalih bahwa kesalahan terletak pada “sistem pendidikan.” Yang membuat sistem tersebut adalah para atasan di pemerintahan, sehingga tanggung jawab harus diambil secara kolektif dan personal.
Pengawas sekolah di sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang terlibat dalam praktik korupsi, menerima sogokan dari kepala sekolah untuk meloloskan audit tanpa pemeriksaan yang sebenarnya. Praktik semacam ini menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem pengawasan pendidikan agar lebih transparan dan akuntabel.
Apakah Industrialisasi Pendidikan Ini Wajar Terjadi?
Industrialisasi pendidikan bisa dilihat sebagai respons terhadap tekanan kompetisi global dan kebutuhan untuk meningkatkan standar pendidikan. Namun, ketika orientasi pendidikan bergeser dari pengembangan siswa secara holistik ke pengejaran prestasi dan legitimasi formal, hal ini menjadi masalah. Sistem pendidikan seharusnya fokus pada pengembangan potensi setiap siswa, bukan hanya mereka yang sudah berprestasi.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah bisa diambil. Pertama, sekolah harus membuka pintu bagi siswa dengan berbagai tingkat prestasi, memberikan mereka kesempatan yang sama untuk berkembang. Kedua, pemerintah harus mengawasi dan mengatur pungutan di sekolah dengan ketat untuk mencegah praktik pungli. Ketiga, proses akreditasi harus dibuat lebih transparan dan berbasis pada kualitas pendidikan yang sebenarnya, bukan manipulasi administratif.
Keempat, beban administratif guru harus dikurangi sehingga mereka dapat fokus pada tugas utama mereka dalam mendidik siswa. Kelima, pengawas sekolah harus menjalankan tugas mereka dengan integritas tinggi, menghindari sogokan dan tekanan dari atasan, serta memastikan bahwa sekolah benar-benar berfungsi sebagai institusi pendidikan yang adil dan berkualitas.
Editor: Soleh